Suara.com - WHO tetapkan kasus hepatitis akut pada anak sebagai kejadian luar biasa. Epidemiolog menilai fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mampu sediakan akses deteksi dini masih sangat sedikit.
Dugaan kasus hepatitis akut pada anak di Indonesia mencapai 14 kasus pada 17 Mei 2022. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat dari 14 kasus tersebut, 1 kasus berstatus probable atau diduga kuat terinfeksi dan 13 kasus pending classification atau gejala sama tapi belum ada hasil pemeriksaan.
''Perubahan jumlah kasus dari hari sebelumnya tanggal 15 atau 16 Mei itu ada pengurangan kasus di probable. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan terakhir dia sepsis bakteri, sehingga dia kasusnya discarded,'' jelas Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, pada konferensi pers Kementerian Kesehatan RI, Rabu (18/05).
Sementara dari 13 kasus yang berstatus pending classification, 7 kasus berada di Jakarta, dan 3 kasus berasal dari Jawa Timur. Hingga saat ini tercatat 6 pasien meninggal dunia. Gejala umum yang terjadi pada 14 pasien yakni demam, berkurangnya nafsu makan, hingga muntah.
Sejauh ini Kemenkes belum menemukan adanya kasus positif terkonfirmasi hepatitis misterius ini. Secara global, hingga 13 Mei 2022 Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada 20 negara yang telah melaporkan kasus hepatitis akut.
Kasus terbanyak ada di Inggris dan Amerika Serikat. WHO telah menetapkan kasus hepatitis akut pada anak sebagai kejadian luar biasa atau KLB. Pada awal Mei 2022, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika serikat atau CDC menyelidiki 109 anak-anak dengan hepatitis yang belum diketahui asalnya di 25 negara bagian. Hasilnya, lebih dari setengah pasien dinyatakan positif adenovirus yang diduga menjadi penyebab hepatitis akut.
Akses deteksi dini dinilai lemah Merespon kasus hepatitis akut yang terjadi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan edaran agar fasilitas layanan layanan kesehatan dapat waspada terhadap kasus ini. Namun epidemiolog menilai bahwa minimnya kapasitas tes di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti klinik, puskesmas, atau dokter umum menjadi masalah.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, menyebut saat ini fasilitas untuk melakukan deteksi dini di fasilitas kesehatan tingkat pertama belum berjalan. Hal ini menyebabkan potensi pasien baru akan mendapatkan layanan kesehatan setelah mengalami kasus berat.
"Permasalahannya, di puskesmas-puskesmas dan dokter mandiri, saat ini tidak punya fasilitas yang memadai misalnya untuk cek SGOT dan SGPT, atau misalnya tes hepatitis dari A sampai E. Sejauh ini mungkin hanya di Jakarta yang sudah bisa. Tapi di luar itu belum sepenuhnya bisa," ujar Masdalina Pane kepada DW Indonesia.
Baca Juga: Catat, Ini 4 Perbedaan Hepatitis Akut dan Hepatitis Biasa
Kemenkes telah menerbitkan tata laksana hepatitis akut pada anak yang belum diketahui penyebabnya di fasilitas pelayanan kesehatan. Salah satunya dengan menunjuk laboratorium nasional di Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) untuk menerima seluruh rujukan sampel pasien yang diduga hepatitis. Selain itu, pemerintah juga memperkuat deteksi dengan melakukan penyelidikan epidemiologi.