Suara.com - Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua akan berlangsung, setelah Presiden Joko Widodo mengirim surat persetujuan kepada DPR. Namun pihak yang menolak pemekaran wilayah Papua juga masih terus bersuara. Seberapa jauh aspirasi mereka akan didengar?
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, mengatakan proses pembentukan perundangan memang harus bersifat transparan dan akuntabel, jadi tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pembahasan akan berlangsung tertutup.
"Siapapun berhak untuk terlibat, yang ingin RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) silakan saja. Jadi yang akan kita undang itu para akademisi, LSM. Yang pasti pemerintah daerah Papua sendiri, orang asli Papua, majelis (Majelis Rakyat Papua) juga," kata Guspardi.
Sebelum RUU pembentukan DOB benar-benar dibahas, pimpinan DPR akan mengagendakan rapat paripurna yang mengesahkan pembahasan RUU tersebut. Kemudian, Badan Legislasi (Baleg) akan menetapkan alat kelengkapan yang membahasnya RUU tersebut.
Baca Juga: Ultimatum Kapolda Papua Ke Kelompok Pendukung Demo Tolak DOB: Hentikan Aksi
Sementara itu, Majelis Rakyat Papua (MRP) mendesak pimpinan DPR agar tidak terburu-buru melakukan pembahasan tiga RUU pembentukan DOB di Provinsi Papua. Apalagi gugatan MRP terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan hal tersebut penting karena pembentukan DOB terjadi akibat adanya perubahan pada UU Otsus Papua.
"MRP berharap ditunda semuanya, menunggu putusan MK atau menunggu pencabutan moratoriumnya, serentak seluruh Indonesia," kata Timotius saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (19/05). Sampai saat ini pemerintah belum mencabut moratorium (pemberhentian sementara) pembentukan DOB.
Namun, DPR mengatakan pembahasan akan tetap dilakukan tanpa harus menunggu putusan MK. Pembahasan akan dilakukan secara parsial.
Baca juga:
Baca Juga: Papua Dapat Kuota 488 Orang Berangkat Haji, Terbang Melalui Embarkasi Makassar
- Pemekaran wilayah di Papua, apa bisa jadi solusi permasalahan yang ada?
- Gelombang demo warga Papua tolak pemekaran provinsi baru: Tidak dilibatkan, akan terasing, dan ancaman konflik horizontal
- Papua akan dimekarkan menjadi lima wilayah, kata Mahfud MD
Membuka partisipasi publik
Senada dengan DPR, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), sebagai salah satu pihak yang juga berperan dalam pembahasan RUU pembentukan DOB Papua, juga mengatakan semua proses itu bisa berjalanan beriringan.
"Kalau kami harus menunggu hasil dulu di sana, diterima atau ditolak, terus kami berjalan, itu berarti masyarakat Papua akan menderita sangat lama dengan kondisi-kondisi seperti itu. Jadi, ini akan berjalan paralel, sambil menunggu putusan," kata Valentinus Sudarjanto, Direktur Otsus Kemendagri.
Proses pembahasan RUU DOB Papua yang akan berjalan, kata Valentinus, bukan berarti mengesampingkan aspirasi pihak-pihak yang menolak pembentukan DOB seperti MRP, meski putusan MK mengenai gugatan MRP belum dihasilkan.
"Kalau memang dikatakan bahwasanya tuntutan itu diterima, berarti kita berhenti. Selesaikan? Kalau misalnya ditolak, berarti kan kita akan jalan, melanjutkan," ujarnya.
"Karena kita kan menghargai putusan MK dengan kondisi seperti itu," kata dia menambahkan.
Valentinus mengatakan Kemendagri akan menampung aspirasi dan partisipasi dari semua pihak terkait pembentukan DOB Papua. Termasuk dari kelompok-kelompok yang melakukan penolakan.
"Silakan, mereka mau memberikan masukan lewat apa saja silakan, bahkan demo pun kemarin kami masih terima dengan baik keseluruhan. Apa yang diberikan masukan kepada pemerintah, itu tetap kami terima dengan baik."
Guspardi juga mengatakan semua pihak akan didengar karena hal itu "dijamin undang-undang".
"Kalau enggak ada aksesnya atau enggak terbuka, itu bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Itu hak."
Kapan tenggat pembahasan?
Pada April lalu, beberapa media memberitakan DPR menargetkan RUU pembentukan DOB Papua rampung sebelum Juni 2022. Hal itu disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda.
Target itu berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, di mana ketika ada pembentukan provinsi baru harus ada pembentukan daerah pemilihan (dapil).
"Pembentukan dapil sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka akan ada penambahan kursi DPR termasuk penambahan dapil yang harus disesuaikan segera agar sinkron dengan tahapan Pemilu 2024 yang akan dilaksanakan," kata Rifqi, dikutip dari kantor berita Antara.
Namun, Guspardi mengatakan DPR belum menentukan target selesainya pembahasan RUU pembentukan DOB Papua.
"Kami bekerja sesuai dengan alur. Kalau sudah bisa kita selesaikan bulan Juni, ya alhamdulillah. Kalau bisa lebih cepat, kenapa tidak?" ujar Guspardi.
Terkait target mengejar momen Pilkada 2024, anggota fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyatakan pembahasan yang dilakukan DPR tidak berkaitan dengan itu.
"Kalau memang tidak ada lagi hal yang perlu dibahas, sudah, kita sahkan. Masalah itu, nanti kewenangan KPU lagi," kata dia.
Di sisi lain, Timotius Murib menilai proses terkait pembahasan RUU pembentukan DOB yang masih terus berlangsung saat ini menandakan pemerintah "melawan hukum" karena masih ada gugatan ke MK dan juga moratorium.
"Etika hukum kita itu seperti apa? Kami sedang proses di MK, salah satu pasal tentang DOB, tapi kemudian negara memaksakan. Presiden dan DPR ini kenapa melawan hukum Republik Indonesia? Ini yang jadi tanda tanya besar," ujar Timotius.
Pasal yang dimaksud Timotius adalah pasal 76 ayat 1 yang berbunyi: "Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten atau kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten atau kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang."
Namun, dalam perubahannya, Timotius menilai pemekaran di Papua bisa dilakukan tanpa ada persetujuan Majelis Rakyat Papua.
"Pemerintah pusat saat ini menggunakan ayat 2 itu, untuk memaksakan dan melawan aspirasi rakyat Papua," kata Timotius.
Penolakan masih bergulir
Sebelum Presiden Jokowi mengeluarkan surat presiden (Supres) pembentukan DOB dan mengirimnya ke DPR, gelombang demo penolakan masih terjadi di mana-mana, tidak hanya di Papua. Terakhir, demo serentak pada 10 Mei lalu, yang juga digelar di beberapa kota di Jawa, Bali, dan Sulawesi. Demo itu diinisiasi oleh Petisi Rakyat Papua atau PRP.
Bulan sebelumnya, demo penolakan pembentukan DOB sempat dilakukan beberapa kali, di antaranya Jayapura, Wamena, Paniai, dan Yahukimo. Bahkan, demo di Yahukimo pada Selasa (15/03) menelan koban jiwa. Dua orang dari massa aksi tewas terkena tembakan, dua luka-luka, satu orang sekarat, begitu juga satu petugas yang menjadi korban dari kepolisian.
Ketua Solidaritas Pemuda Peduli Yahukimo (Soppy), Otniel Sobolim mengatakan, aksi penolakan berpotensi semakin memanas, jika pemerintah pusat tetap bersikeras mengambil keputusan secara sepihak terkait DOB, tanpa melibatkan orang asli Papua.
"Karakter masyarakat di sini, mereka akan sangat merasa tidak dihargai jika tidak ada konfirmasi, sosialisasi atau penyaluran aspirasi suara mereka, itu sangat tidak diterima," kata Otniel, seperti diberitakan BBC News Indonesia pada Maret lalu.
Kepala Suku Kimyal di Yahukimo, Nopius Yalak mengatakan, mayoritas masyarakat akar rumput di Yahukimo yang terdiri dari 12 suku menolak rencana pemekaran wilayahnya.
"Karena 20 tahun otonomi khusus di Papua, tidak mampu mensejahterakan orang asli Papua, hanya elit-elit politik saja. Sekalipun ada pemekaran dan otonomi baru, itu tidak akan berdampak pada masyarakat asli Papua.
"Pengalaman 20 tahun Otsus Papua, masyarakat tidak mengalami perubahan dalam kehidupan, pendidikan, kesehatan, ekonomi. Sehingga masyarakat menolak Otsus jilid II ini sehingga muncul demo dan korban jiwa," katanya Nopius.
Wartawan Jubi, Yamoye Abeth, mengatakan demo penolakan pembentukan DOB terjadi di semua kabupaten di Papua. Biasanya, demo diikuti ribuan orang. Yamoye memperkirakan sekitar 70% warga menolak dan sisanya mendukung pembentukan DOB.
Sementara itu, MRP menyebut 28 kabupaten/kota menolak pembentukan DOB. Oleh sebab itu, MRP membawa aspirasi itu kepada beberapa pihak di pemerintahan.
Penolakan diterima dan mendapat dukungan
Pada April lalu, MRP menemui Manteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahmud MD, didampingi oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Aspirasi soal penolakan pembentukan DOB menjadi salah satu topik yang dibicarakan.
"Beliau sampaikan bahwa memang aspirasi penolakan dan yang menerima pembentukan DOB itu hampir merata, sehingga aspirasi yang disampaikan MRP, 'kami akan mempertimbangkan', itu menjawab soal itu," kata Timotius.
Sepekan setelahnya, MRP juga menemui DPR untuk meminta penundaan pembahasan pemekaran Papua. Wakil Ketua DPR Sufmi Daco Ahmad mengatakan akan mempertimbangkan aspirasi MRP itu dengan melakukan pembahasan secara parsial sambil menunggu putusan MK.
Timotius mengklaim dirinya juga telah mendapatkan dukungan dari beberapa petinggi partai terkait penundaan pembahasan RUU pembentukan DOB.
"Menteri BPN juga, beliau justru menyampaikan ke kami akan menghargai proses di MK. Jadi, sebaiknya DPR menunggu putusan MK. Beliau juga kan ketua PPP.
Kemudian juga Ketua Partai Golkar, Airlangga, kemudian PKS, PKB, Muhaimin, mereka semua pada prinsipnya sangat setuju dengan masukan dan saran MRP untuk menunda DOB sambil menunggu proses di Mahkamah Konstitusi, bahkan kalau bisa serentak saja setelah pencabutan moratorium," kata Timotius.