Cerita Sewu Dino Lengkap, Kisah yang Lebih Mengerikan dari KKN di Desa Penari!

Kamis, 19 Mei 2022 | 20:23 WIB
Cerita Sewu Dino Lengkap, Kisah yang Lebih Mengerikan dari KKN di Desa Penari!
Cerita Sewu Dino Lengkap Lebih Mengerikan dari KKN di Desa Penari (Twitter/SimpleMan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Setelah menyajikan kisah KKN di Desa Penari yang banyak menyita perhatian masyarakat hingga diakat ke layar lebar, akun Twitter SimpleMan juga membagikan beberapa cerita horor yang merupakan pengalaman nyata seseorang, salah satunya cerita Sewu Dino yang juga dibagaikan pada 2019 lalu. Simak cerita Sewu Dino lengkap berikut ini. 

Baru-baru ini, Sewu Dino atau dalam bahasa Indonesia artinya Seribu Hari digadang-gadang menjadi thread horor selanjutnya yang akan difilmkan. Banyak netizen menyebut bahwa cerita Sewu Dino lebih menyeramkan dibandingkan KKN di Desa Penari karena mengangkat tema santet yang mengerikan.  Seperti apa cerita Sewu Dino lengkap?

Bagi yang penasaran, berikut ini kami berikan cerita Sewu Dino lengkap yang dikutip dari akun Twitter SimpleMan. 

Cerita Sewu Dino Lengkap 

Baca Juga: Link Nonton Sewu Dino, Film Horor Diangkat dari Cuitan Viral SimpleMan

Cerita horor Sewu Dino terjadi pada 2001, berawal dari seorang gadis desa bernama Sri yang ingin merantau ke kota karena himpitan ekonomi. Karena keterbatasan keahlian dan dia hanya lulusan SD, Sri memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi seorang Asisten Rumah Tangga (ART). Ia kemudian mendaftar ke agen ART yang terkenal banyak menyalurkan tenaga kerja kesejumlah pencari kerja. 

Awalnya ayah Sri menentang keinginannya untuk bekerja di luar kota, namun mengingat keadaan ekonominya yang mengalami kesulitan ia lantas mengizinkan anak perempuannya itu untuk bekerja. Singkat cerita Sri telah tiba di rumah agen penyalur ART. Tidak hanya Sri di sana, ada beberapa orang yang siap bekerja. 

Sebelum bertemu dengan bos yang akan memperkerjakannya, calon ART terlebih dulu harus mengikuti sejumlah seleksi termasuk Sri. Pada saat giliran Sri, ia diberi sebuah pertanyaan yang cukup aneh menurutnya. 

"Sri, bener, awakmu lahir pas dino jum'at kliwon"(Sri, ini benar, kamu lahir jumat kliwon) 

Sri yg mendengar pertanyaan itu, awalnya kaget, namun dengan tergagap, Sri bisa menjawabnya. Memang benar, ia lahir di hari kliwon tapi dia tidak tahu bila hari itu hari Jumat. Si pemilk jasa mengangguk seakan ia menemukan apa yg ia cari, bagi Sri itu sebuah pertanyaan aneh. 

Baca Juga: Penuh Makna, Ini 3 Pelajaran Hidup dari Film Horor Terbaru Sewu Dino

"Hayangati ya Sri" (hari lahir kamu istimewa ya Sri) kata si pemilik jasa. 

Lalu kemudian, ia membawa Sri keruangan lain yg lebih besar dan ebih megah. Ia di minta untuk menunggu. Di sana sudah ada 2 orang yg sudah duduk  lebih dahulu. Selama berjam-jam, Sri menunggu disana. 

Ia lantas mengobrol dengan 2 orang yg duduk itu, namanya adalah Erna dan Dini. Usiannya tidak jauh dari Sri, masih muda, dan belum menikah. Entah sampai mana mereka bicara, tiba-tiba si pemilik jasa memanggil salah satu dari mereka. 

Erna adalah orang pertama yang dipanggil, disusul dengan Dini. Kini tinggal Sri sendirian yang duduk di ruang tunggu. Disela-sela kebosanannya menunggu, Sri melihat pemandangan di luar melalui jendela. Ia melihat banyak mobil yang terparkir, padahal sebelumnya tidak ada. 

kini tiba giliran Sri yg di panggil, dengan ragu ia keluar berjalan menuju ruangan tadi yang sekarang ada si pemilik jasa dengan seorang wanita. Dia memakai pakaian adat, kebaya, lengkap dengan sanggul dan duduk anggun menatap Sri dari ujung kepala hingga mata kaki. 

Sri di minta untuk duduk kemudian, si pemilik jasa memperkanalkan siapa wanita anggun itu namanya Kembang Krasa. Rupannya ia adalah pemilik rumah makan yang saat itu terkenal sekali seantero jawa timur. Sebegitu terkenalnya, kekayaannya, tidak perlu lagi di pertannyakan. 

Sri hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu. 

"angkaten sirahmu ndok, ra usah wedi ngunu mbah ki wes tuwek, ra usah hormat koyok ngunu" (angkat kepalamu nak, tidak usah takut begitu, mbah ini sudah tua loh, tidak perlu sehormat itu) 

Sri hanya mengangguk dan ia tidak membuang rasa segannya seperti yg di perintahkan. Tibalah saat mbah Krasa,  mengajukan beberapa pertanyaan yg sama. Mulai dari lahir, weton, penanggalan yang bahkan Sri sendiri bingung untuk menjawabnya. Puncaknya, saat ia menyentuh tangan Sri dan si mbaj tersenyum. 

"ndok, gelem kerjo ambek mbah" (nak, kamu mau kerja sama saya) Sri pun mengangguk. 

"jalok piro, bayaranmu sak wulane" (kamu minta berapa untuk gajimu dalam sebulan?) tanya mbah Krasa. 

Sri bingung menjawabnya, kemudian, dengan gugup, ia mengatakannya. "700 ewu mbah, nek saget" (700 ribu nek, kalau bisa) 

Sri sempat melirik wanita itu, terlihat ia tetap anggun dengan senyumannya. 

"700 ewu" (700 ribu) katannya. "yo opo, nek tak kek'i sak wulane, 5 yuto" (bagaimana bila setiap bulan aku kasih kamu 5 juta) Sri kaget bukan maen, karena gaji PRT tahun itu rata-rata cuma 500 ribu. 

Sri pun setuju, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Bahkan ketika si wanita sudah pergi, si pemilik jasa tidak akan memungut uang sepersen pun dari Sri. Hal ini membuat serentetan kejadian ini menjadi semakin aneh. Lekerjaan macam apa yg di gaji setinggi itu, tanya Sri dibenaknya yang membuat ia mulai ragu. 

Namun Sri meyakinkan kapan lagi ia mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi itu. Dalam hati kecil Sri, ia ingin melihat terlebih dahulu pekerjaan apa yg di berikan kepadanya. Keesokan harinnya, ia pergi ke rumah mbah Krasa. Di sana, ia melihat Erna dan Dini, mereka sama-sama terkejut satu sama lain. 

Seperti sebelumnya mereka duduk menunggi giliran dipanggil, kali ini mereka akan diseleksi oleh semua anggota keluarga Karsa yang berjumlah 7 orang. Saat tiba giliran Sri dipanggil, ia diberi pertanyaan. 

"ngeten mbak, kulo bade tandet, sampean purun, nyambut ten mriki, soale onok pantangan'e nak sampeyan purun, pantangane ra isok di cabut maneh" (begini mbak, saya mau tanya dulu, anda setuju bekerja disini karena ada larangan keras bila anda sudah menerimannya, larangannya tidak akan bisa dicabut) kata seorang wanita yg lebih muda. Umurnya berkisar sekitar 30'an. 

"larangan nopo nggih mbak" (larangan seperti apa?) 

Sri bisa melihat gelagat aneh, karena mereka saling memandang satu sama lain seakan pertanyaan Sri tidak perlu mereka jawab. 

Mbah Krasa berdiri dari tempatnya, ia lalu berbisik pada Sri "uripmu bakal dijamin, nek awakmu gelem ndok, tapi nek awakmu gak gelem, mbah gak mekso" (hidupmu akan terjamin bila kamu mau, tapi saya tidak mau memaksa kalau kamu tidak mau) 

Tidak ada jawaban dari pertanyaan Sri. Namun, Sri memberi jawaban pada saat itu juga. 

"nggih, kulo purun" (iya, saya mau) 

Sri pun melangkah pergi, ia menemui Dini dan Erna. Rupannya, mereka semua diterima bekerja di sini. di sini? adalah pertanyaan yg akan membuat mereka kebingungan, terutama, saat malam mereka tiba. Malam itu, ketika mereka semua sudah datang di rumah ini. 

Tampak mbah Krasa sudah menunggu bersama anggota keluarga lain. Di sini, ia menjelaskan bahwa mereka bertiga akan di tugaskan di sebuah rumah lain. Sebuah rumah yg sangat jauh berada di dalam sebuah hutan. 

Sri dan yg lain bingung, tidak ada penjelasan ini sebelumnya, namun mereka sudah berjanji mau menerima pekerjaan ini. Rumah macam apa yg di maksud pun Sri tidak mengerti. Ada sebuah mobil yg sudah siap mengantar mereka, di sana sopir mereka akan menjelaskan pekerjaannya. 

Mobil sudah bergerak, Sri, Erna dan Dini masih terlihat kagetsatu sama lain. Tidak ada yg bicara, bingung, Sri memberanikan diri bertanya kepada sopir. Namun sopir, memberi isyarat bahwa mereka tidak boleh bicara terlebih dulu seakan-akan mereka di buntuti sesuatu. 

Ada kejadian menarik yang membuat Sri semakin curiga, setiap persimpanga si sopir berhenti mengambil sesuatu dari belakang meletakkannya di tengah jalan. Seperti bunga-di dalam kotak yg terbuat dari daun pisang. Hal itu, menimbulkan kecurigaan apa yang sebenarnya ia lakukan. 

Keanehan itu terus menerus dilakukan, sampai akhirnya mobil sudah meninggalkan kota jauhbdan perlahan mulai memasuki area hutan. Jam menunjukkan pukul 12 malam saat kegelapan hutan mulai menyelimuti mereka. Tidak terbayangkan bahwa mereka, akan tinggal di dalam hutan segelap itu. 

Kiri kanan pepohonan dengan semak belukar. Mobil terus berjalan, sampai tiba di sebuah jalan setapak, perlahan mobil melesat masuk. Di atas jalan setapak yang di tumbuhi rumputan liar mobil terus menerabas memaksa masuk. 

Sri dan yang lain, mulai merasa tidak nyaman dengan ini. Setelah jauh masuk ke dalam hutan, mobil berhenti di sebuah semak dan pohon yang tidak lagi bisa di lalui mobil. Ada kejadian aneh, dimana ada satu pohon yang tidak terlalu besar tumbang begitu saja. Si sopir keluar dari mobil, menyingkirkan pohon tumbang itu dan darisana ada jalan. 

Setelah melewati jalan yang naik turun, mereka sampai di sebuah rumah gubuk terbuat dari kayu yang di susun serampangan atapnya tidak terlalu tinggi. Terlihat sangat kumuh, bahkan lebih kumuh dari rumah Sri. Dari sana, muncul seorang pria tua, yang seperti sudah menunggu mereka semua. 

Tampak dari luar, bapak itu sudah uzur bahkan carannya berjalan saja seperti kewalahan menyangga badannya sendiri. Ia tidak bicara banyak, hanya memperkenalkan namannya. Pak Ageng, katannya, lalu ia mengajak Sri dan yang lain masuk ke rumah itu ia menunntunya masuk ke kamar. 

Di sana ada satu kamar itu, Sri dan yang kaget bukan maen. Karena tepat di atas ranjang ada sebuah peti mati dan keranda mayat. Di dalamnya, ada seorang gadis muda yg mungkin masih SMU. Ia memejamkan matannya, di badannya  melihat nanah busuk dan garis lebam hitam. 

"nami kulo Tamin, kulo ngertos akeh sing kepingin njenengan2 takokno, enten opo sing kedaden nang kene" (nama saya Tamin, saya mengerti, pasti banyak yg ingin kalian tanyakan tentang apa yg barusaja kalian lihat disini) 

Si pria tua itu membungkuk, sebelum melangkah keluar kamar 

"onok opo asline nang kene" (ada apa sih sebenarnya ini) kata Dini, ia tidak bisa mengalihkan pandanganya pada gadis itu. 

Matanya terpejam, di kurung oleh bambu kuning yg di bentuk menyerupai keranda mayat. Sri dan yg lain, yakin ada sebuah rahasia di tempat ini, namun apa itu? 

Saat-saat kebingungan itu, Sri melangkah mundur, ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yg entah siapa dan kenapa ada disini. Ia berniat mencari tahu, dan bertanya langsung kepada sopir yg mengantar mereka. Sampai, langkahnya terhenti menakala ia mendengar si sopir berbicara. 

"gik, opo gak onok sing jelasno nang cah iku mau, kerjo opo nang kene, kok koyok'ane kaget ngunu" (Gik, apa gak ada yg ngasih tau mereka, pekerjaan apa yg sebenarnya di janjikan disini, kok tampaknya mereka terkejut sekali) 

Si sopir mulai bicara. "dereng mbah, ngapunten" (belum mbah, maaf) 

"awakmu langsung balik tah, gak mene a?" (loh, kamu mau langsung pulang tah, apa gak besok saja) tanya si mbah. 

"mboten mbah, mbenjeng kulo kudu ngantar ibuk" (tidak mbah, besok saya harus mengantar ibu) 

"yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku" 

(ya sudah, hati hati, takutnya ada itu) 

"iku" batin Sri, apa maksud kalimat itu, apa yg mengikuti sebenarnya dan ada apa semua ini. Banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri. Sebelum, si mbah tiba-tiba bicara. 

"metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu" (keluar saja nak, saya tau kamu ada disitu) 

Sri melangkah keluar, melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang. 

"celuk'en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo sedoyo onok nang kene" (panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada disini) 

Sri pun memanggil yg lain. Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk. Sementara Sri dan yang lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini. 

Suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini. 

"aku isih iling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso" (aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa) "koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!" (seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu 

Terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!) wajah mbah Tamin menegang, kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yang lain begidik ngeri. 

"cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar"(anak kecil itu Dela, dia yang di kamar) 

"SANTET?" ucap Sri dan yg lain bersamaan wajah Sri dan yg lain semakin menegang. 

"iyo, mangkane, cah iku di gowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane" (iya, karena itu dia di smebunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya) 

"sak iki, tak uruki tugas'e njenengan kabeh yo" (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini) 

Mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yg lain mengikutinya. Ia berjalan disamping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yg di susun. mMemang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yg hanya dari lampu petromax selain itu, kegelapan yang ada dimana-mana. 

Ia berhenti tepat di belakang rumah, ada sebuah pagar bambu. Di mana, di dalamnya ada sebuah sumur. Di sana, tempat untuk mandi dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini. Termasuk untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yang terbaring tak bergerak. 

Sudah 3 hari berlalu, Sri, Dini dan Erna, bergantian mengurus Dela. Mulai memandikanya, memberinya minuman. Gadis itu lebih seperti gadis yang tengah koma di bandingkan gadis yang di santet entah oleh siapa dan bagaimana latar ceritanya masih terlalu awam untuk tahu, pikir Sri. 

Suatu sore, Mbah Tamin akan pergi. Ia berpesan kepada Sri dan yang lainya, untuk tetap menjalankan tugasnya dan tidak melupakan pantangan yang sudah ia ucapkan. Salah satunya, untuk tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu. 

Tidak lupa, mbah Tamin juga berpesan untuk tidak membukakan pintu pada malam ini. Siapapun dan bagaimanapun, jangan membuka pintu ucap mbah Tamin, sebelum ia pergi melangkah menembus pepohonan hutan. Sri yang mendengarnya, merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu. 

Hari sudah gelap, Sri menutup pintu dan jendela. Lalu pergi ke kamar disana ia melihat Dini sudah tidur. Di sampingnya Erna tengah meringis menahan sakit. 

"koen kenek opo Er?" (kamu kenapa Er) tanya Sri, 

"Sri, aku oleh jaluk tulung" (Sri, aku boleh minta tolong tidak) 

"jalok tolong opo?" (minta tolong apa?) 

"engkok bengi, wayahku ngadusi Dela, isok mok ganteni, mene, wayahmu tak ganteni" (malam ini giliranku memandikan Dela, bisa kamu gantikan, besok, ganti aku yg gantikan kamu) 

Awalnya, Sri keberatan namun melihat kondisi Erna Sri setuju. Setelah menerima permintaan Erna, Sri bersiap mengambil air. Ia lupa bahwa air di gentong dapur sudah habis. Terpaksa ia membuka pintu, bersiap untuk menimba air dari sumur. 

Meski awalnya ragu, Sri mematung di depan pintu. Lalu perlahan membukanya dan ia pun keluar. Entah perasaan tidak enak macam apa yang Sri rasakan. Malam ini, lebih hening dari biasanya tidak terdengar suara binatang malam. Seakan membawa ketakutan Sri yang selama ini ia tahan menyeruak keluar. 

Sri melangkah keluar, ia cepat-cepat pergi ke sumur menimbanya. Lalu kembali, tapi dari sudut mata Sri jauh di salah satu pohon besar di samping pagar bambu kamar mandi Sri melihat ada wajah yang mengamati. Saat Sri menatapnya, wajah itu menghilang, Sri terdiam cukup lama. Namun, ia tetap melanjutkan tujuanya ia harus cepat melakukan tugasnya. 

Sri segera menimba air dengan cepat, tidak lupa matanya awas menatap sekeliling. Seakan ia sedang di kejar sesuatu setelah semua selesai Sri berlari dan mengunci pintu. Perasaan lega langsung di rasakan oleh Sri. kini, ia melangkah menuju kamar Dela. 

Sri meletakkan airnya, taburan kembang sudah ia lakukan. Kini, Sri membuka keranda Bambu kuning, mulai membasuh tubuh Erna dengan handuk kecil. Ia masih tertuju pada perut besarnya yang kata Erna di hamili oleh mbah Tamin. Namun, Sri tidak percaya ia selalu menyangkal ucapan itu. 

Sri terus membasuhnya hingga sampai ke tanganya yang penuh luka borok. Di sana, Sri terdiam ia lupa belum mengikat tangan dan kaki Erna. Saat Sri baru menyadarinya, ia menatap Erna membuka mata, tersenyum menyeringai,melotot menatap Sri. 

Dela 

Kaget, Sri beringsut mundur namun Dela mencekik leher Sri kuat-kuat. Ia mengangah, menunjukkan gigi hitamnya yg membusuk. Terjadi pergulatan hebat antara Sri dan Dela, Sri hanya berusaha melepaskan cekikan Dela yg kuat sekali membuatnya hampir meregang nyawa. 

"sopo koen ndok?" (siapa kamu nak?) tanya Dela, suaranya berat, nyaris menyerupai suara seorang wanita tua. 

"nang ndi iki ndok?" (dimana ini nak) 

Sri masih mencoba melepaskan cengkraman kuat itu. Namun Dela, terus menyeringai, air liurnya menetes matanya putih ia tersenyum. 

"jawab nek di takoni ndok" (jawab kalau di tanya!!) 

"sinten njenengan" (siapa anda) tanya Sri terbata-bata, nafasnya mulai sesak, 

Dela tertawa semakin keras, membuat Sri menangis ketakutan. Sebelum Erna masuk ke kamar karena keributan itu, ia bingung melihat Dela terbangun. 

"onok opo iki Sri, kok Dela kok Dela" (ada apa ini sri, kenapa Dela, kenapa Dela) bingung, Dela menyeringai melihat Erna sebelum akhirnya melepaskan cekikan itu. Ia melompat ke atas ranjang, merangkak kemudian seakan tertawa kegirangan. Dela berteriak, "cah kliwon kabeh" (ternyata anak kelahiran kliwon semua) 

Dela masih tertawa, Sri beringsut mundur. Sementara Erna masih bingung dan shock, melihat wajah Dela yg semengerikan itu. Dela terus melihat Sri dan Erna bergantian. 

"percuma, sewu dinone arek iki bakal entek" (percuma, seribu harinya anak ini akan segera habis) 

"koen kabeh mek dadi tumbal gawe cah iki," (kalian hanya jadi tumbal untuk anak ini) Dela tertawa terus menerus, sebelum Sri melompat dan mencengkram Dela. Ia mengguyur Dela dengan air kembang itu, Dela berteriak kesakitan. 

"koen lapo!! jupukno Tali ireng iku," (kamu ngapain!! ambilkan tali hitam itu) teriak Sri pada Erna. Erna yg sempat kebingungan, bergegas mengambil tali itu, Sri mengikatnya tepat di lehernya. 

"onok opo iki Sri" (ada apa ini Sri) Erna ikut menahan tubuh Dela yg meronta 

Sebelum akhirnya Dela menjadi tenang dan ia kemudian tertidur kembali. Sri baru mengikat tali itu dengan benar, ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya menutupnya dengan keranda bambu kuning. Wajah Erna dan Sri masih tidak percaya atas apa yg baru saja terjadi. 

Erna mulai menangis. "aku kepingin muleh" (aku ingin pulang) 

Sri tidak berkomentar, ia sadar bahwa sekarang ia juga ingin pulang. Hanya saja bila bukan karena sudah terikat dan pasti ada resiko yg sudah menunggu bila mereka pulang. Lantas, apa yg di sembunyikan oleh si mbah. 

Sri menceritakan semuanya kepada Erna, ia lalai dalam menjalankan tugasnya, karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tanganya terlebih dulu. Namun gara-gara itu, Sri menyadari Santet macam apa, yg memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa. 

Sri jadi ingat cerita bapak, Santet bukan hal baru disini. Namun, untuk melaksanakan santet di butuhkan kebencian yg melebihi akal. Bila benar itu, kebencian macam apa yg bisa dan setega ini dilakukan oleh orang. Hanya untuk mengambil nyawa dari anak yg tidak tahu apa-apa. 

Namun di balik semua itu, santet ini adalah kali pertama Sri lihat seperti ada teka-teki, seakan ada yg di tutupi pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya. Namun apa, Sri tidak tahu apapun dari keluarga ini dan kenapa anak ini sebegitu berharganya. Sampai, Sri teringat. 

"Sewu dinone" (seribu harinya) kata Sri lirih, ia melirik menatap  Erna, 

"Er, ojok ngomong awakmu lahir jumat kliwon" (Er jangn bilang kamu lahir di hari jumat kliwon) 

Erna yg mendengarnya, kaget "awakmu pisan?) (kamu juga) 

Sri merasa ngeri, sekarang ia tahu sesuatu. Namun, ada satu lagi yg harus ia cari kebenaranya. Bila benar pertanyaanya lengkap, begitupun jawabanya tidak hanya Dela yg hidup di ujung maut. Tapi mereka bertiga semua,m terjerat dalam satu garis weton yg sama. Sejahat itu keluarga ini untuk harga nyawa mereka semua. 

Terdengar suara ketukan pintu, Sri dan Erna pun langsung berdiri. 

"mbah Tamin muleh Sri, ayo takon mbah asu iku, pokoke kudu  di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki" (Mbah tamin pulang Sri, ayo kita tanya orang tua anj*ng itu, dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak gila ini" 

Erna pergi, Sri baru ingat pesan mbah Tamin. Ia langsung bergegas bersiap menghentikan Erna, Sri lari mengejar Erna. Untungnya, ia masih sempat mencengkram lengan Erna mereka terdiam di depan pintu rumah. Suara ketukan itu, terdengar lagi, setiap ketukanya, terdiri dari 3 ketukan, 

Semakin lama, ketukanya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Sampai, tidak ada ketukan lagi. Erna dan Sri saling berpandangan bingung keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu. Sebelum sesuatu menggebrak pintu dengan keras, hingga membuat mereka tersentak. 

Mereka hanya diam, berusaha tidak bersuara. Lalu dari belakang, seseorang melangkah masuk. Dini, melihat 2 temanya, terlihat kacau balau. Ia bingung, kemudian berujar "ga krungu mbah Tamin nyelok ta, ndang di bukak lawange" (kalian gak denger mbah tamin manggil, buka pintunya). 

"he, ojok ngawor koen" (jangan ngawur kamu) celoteh Erna, namun Dini memaksa, bahkan Sri yg memegang tanganya. Dini pelototi, sampe akhirnya mereka mengalah. 

Dini membuka pintu, di sana mbah Tamin berdiri. Ia hanya diam, menatap mereka semua. Sebelum melangkah masuk ke rumah anehnya, malam itu wajah mbah Tamin tampak merah padam ia tidak berbicara kepada mereka. Tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung di buka padahal ia sudah memanggil-manggil daritadi. 

Namun, Sri merasa mbah Tamin tahu bahwa ia baru saja lalai terhadap Dela. Sri dan yg lain mengikuti mbah Tamin. Beliu, masuk ke dalam kamar Dela. Lalu perlahan, ia membuka keranda bambu kuning. Ia membukanya, kali ini tanpa mengikat Dela terlebih dahulu seakan ingin mengulang kesalahan Sri. 

Hanya Sri dan Erna yang memandang hal itu dengan ngeri. Sri mendekat perlahan, seakan ingin melihat lebih dekat apa yg orang tua itu lakukan. Lalu, tiba-tiba mata Dela terbuka, ia melihat mbah Tamin. Menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil. 

"Loro ki, loro" (sakit ki, sakit sekali) 

Dela hanya menangis. 

Mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela, berusaha menenangkanya. Pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yg saling mengasihi. Namun, Sri masih belum mengerti kenapa seakan Dela yang ini berbeda dengan Dela yg Sri dan Erna temui tadi. Apa yang terjadi sebenarnya? 

"sing sabar yo nduk, mari iki puncak lorohmu" (sabar ya nak, sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu) ucap mbah Tamin, ia masih mengelus rambut Dela. 

Lalu, Dela melirik Sri dan yg lain yang hanya diam mematung, tatapanya seakan mengucapkan "terimakasih sudah mau merawat saya" 

Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan tali Dela, tergambar wajah sedih disana. Ia masuk ke dapur, mengambil sebuah kain putih besar. Saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras ia berulang kali mengatkan. 

"ojok ki, ojok balekno aku nang kono" (jangan ki, jangan kembalikan saya kesana) 

Namun mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh Dela yg meronta-ronta. Terakhir, mbah Tamin membakar kemenyan sebelum memegang kepala Dela dan terdengar suara raungan yang mengguncangkan seisi rumah itu. 

Sri dan Erna sampai beringsut mundur, sosok didalam kain itu terus meraung layaknya iblis yang Sri saksikan tadi. Kali ini Dini tampak terguncang bingung ada apa sebenarnya disini. Terdengar suara marah dari dalam kain. ia adalah wujud tadi yang Sri saksikan, "Menungso bejat" (manusia berengsek) 

Mbah Tamin terus menekan kepalanya, membuat suara itu semakin menjerit marah. Setelah kurang lebih 5 menit mbah Tamin melakukan itu perlahan, sosok itu mulai tertidur dan mbah Tamin membuka kain itu ia melihat Dela memejamkan matanya. 

"Sri, Erna, melok aku" (kalian ikut saya) kata mbah Tamin memanggil mereka. Sementara Dini, tetap di kamar hanya dia yg belum mengerti apa yang terjadi disini. Mbah Tamin duduk di teras rumah, kegelapan hutan benar-benar mencekam kala itu. Sri dan Erna berdiri, menunggu, sebelum mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan. 

"awakmu isok ndelok ikuh" (kalian bisa melihatnya) 

"nopo to mbah" (apa ya mbah) kata Sri, bingung. 

"mrene" (kesini) 

mbah Tamin, menempelkan jemarinya, menekan mata Sri sengatan ketika mbah Tamin menekan mata Sri. Membuat pengelihatanya memudar perlahan. Setelan mencoba memfokuskan matanya, Sri melihat lagi apa yang di tunjuk mbah Tamin. 

Bagai petir di siang bolong, Sri melihat banyak sekali makhluk yang tidak bisa dia gambarkan kengerianya mungkin ada ratusan atau ribuan. Seakan mengepung rumah butuh waktu lama, sampai Sri akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya. Sehingga mbah Tamin menutup kembali pengelihatan itu mencabut sesuatu dari ubun-ubun Sri dengan mata menerawang ia mengatakan kepada Sri. 

"Sedo bengi mangkuk nang rogo iku ngunu undangan gawe lelembut" (raga yang di buat mati adalah sebuah undangan bagi makhluk seperti mereka) kata mbah Tamin. 

"awakmu lali, perintahku Sri, iku ngunu bahaya, isok mateni Dela, ojok sampe lali maneh yo Sri" (kamu lupa dengan perintahku, itu sangat berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan ulangi ya) 

Erna yang sedari diam saja,a ikut berbicara. "mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh Sri" (Mbah tolong kasih tahu, apa yg terjadi sama Dela, kok bisa bisanya, dia mau bunuh saya dan Sri) 

Mbah Tamin duduk lagi, lalu mengatakan "berarti wes ndelok" (berarti kamu sudah lihat) 

"iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok, mergane cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo, Santet sewu dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati" 

(itu adalah Cayajati, yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa karena ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami isteri, santet seribu hari, hanya di miliki oleh orang yang siap menanggung dosa, dan siap mati bersama) 

Sri dan Erna masih terlihat bingung, ia tidak mengerti. Mbah Tamin menerawang jauh, menatap sisi hutan tergelap yang Sri saksikan dengan mata kepala sendiri. Mereka tidak sendirian di hutan ini.

dengan suara berat mbah Tamin mengatakanya. 

"terlalu awam, kango ngerti iki" (terlalu awal untuk mengerti ini) 

"intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual kanggo mateni sak keluarga sampe sekabehe keturunan iku entek" (intinya, ilmu santet seribu hari, adalah pembuka ritual, untuk menghabisi satu garis keluarga sampai habis keseluruhanya) 

Setelah percakapan itu, mbah Tamin melangkah masuk ke dalam kamar. Mengunci pintunya, membiarkan semua kejadian itu meluap begitu saja. Dengan pertanyaan besar yang masih menggantung di atas pikiran Sri dan Erna?! 

Kejadian-kejadian aneh dan mencekam terus terjadi sepanjang mereka bekerja di sana. Hingga pada akhirnya, Sri mengetahui penyebab dari santet yang ditujukan ke keluarga Dela. 

Untuk mengetahui cerita selengkapnya, Anda bisa langsung membaca thread Twitter SimpleMan. Berikut ini link bacanya: 

Link Baca Cerita Sewu Dino Lengkap KLIK DI SINI 

Itulah tadi ulasan mengenai cerita Sewu Dino lengkap. Selamat membaca! 

Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI