Suara.com - Kebijakan bebas masker di luar ruangan mulai diterapkan di Indonesia sejak Rabu (18/05). Langkah ini digadang-gadang pemerintah Indonesia sebagai "awal transisi dari pandemi menuju endemi".
Namun pakar epidemiologi menyebut pemerintah "terlalu cepat" menempuh kebijakan ini.
Sebab, imbas dari kebijakan ini dikhawatirkan akan menimbulkan gelombang baru kasus Covid-19 di tengah cakupan vaksinasi ketiga yang relatif rendah - sekitar 20% secara nasional.
Sementara negara-negara lain, baru melonggarkan kebijakan masker setelah cakupan vaksinasi untuk populasi umum dan rentan, masing-masing di atas 50% dan 80%.
Baca Juga: Wali Kota Eva Dwiana Wajibkan Pakai Masker di Perkantoran dan Sekolah
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban, mengaku meski kebijakan pelonggaran masker "sudah tepat" tetapi ada "beberapa catatan untuk lebih hati-hati".
Pasalnya, kasus harian diperkirakan naik menyusul mobilisasi 77 juta warga Indonesia selama libur panjang Idulfitri awal Mei silam.
"Kebijakan sekarang tepat, namun harus dimonitor harian, terutama dalam waktu dua sampai empat minggu lagi, itu berarti dua bulan dari [masa] mudik. Kalau ada lonjakan tentu sebaiknya dilakukan PPKM lagi," kata Zubairi kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Rabu (18/05).
Baca juga:
- Jokowi perbolehkan warga lepas masker di luar ruangan, tak wajib tes PCR atau Antigen saat bepergian
- Ketika masker menjadi 'teman setia' kita
- Apakah antibodi 'nakal' mendorong Covid-19 yang parah?
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, memastikan bahwa pemerintah "tetap memonitor indikator-indikator penanganan pandemi" dalam langkah-langkah transisi menuju endemi, termasuk penerapan PPKM yang masih terus diberlakukan, mengejar target cakupan vaksinasi dosis lengkap 70% pada akhir Juni dan melaksanakan vaksinasi ketika hingga akhir tahun.
Baca Juga: Presiden Jokowi Longgarkan Pemakaian Masker, Moeldoko: Jangan Gembira Berlebihan
Sebelumnya, penerapan protokol kesehatan berkaitan dengan masker diberlakukan dengan ketat di kota-kota besar, seperti di Jakarta. Tapi di daerah, kepatuhan pemakaian masker terbilang minim.
Masyarakat sudah lama tak patuhi aturan masker
Kawasan Bundaran Hotel Indonesia di jantung kota Jakarta pada Rabu (18/05) sore seperti biasa ramai dengan lalu-lalang kendaraan.
Kendati hujan mengguyur ibu kota sore itu, tak sedikit warga ibu kota hilir mudik di trotoar sepanjang jalan setelah bekerja di gedung-gedung perkantoran di Jalan Sudirman.
Namun pemandangan yang berbeda adalah jika sehari sebelumnya tampak setiap orang mengenakan masker sebagai protokol kesehatan menangkal virus corona, kali ini, sebagian warga tampak melenggang tanpa masker di wajahnya.
Pemerintah baru saja menerapkan relaksasi kebijakan Covid-19, tak lagi mewajibkan warganya mengenakan masker di luar ruangan.
Kebijakan yang disambut hangat oleh Citra, warga Jakarta yang ditemui BBC News Indonesia.
Kendati sudah dibebaskan dari kewajiban memakai masker, Citra tetap mengenakannya.
"Aku sebenarnya sebelum pandemi pun itu sudah sering pakai masker karena lebih karena debu dan lain-lain. Mungkin setelah kebijakan ini pun aku cenderung akan pakai masker. Justru lebih menunggu kebijakan di dalam ruangan yang enggak pakai masker, kalau aku."
"[Itu] menunjukkan kalau udah selesai nih pandeminya," lanjut Citra.
Senada, kawan Citra yang bernama Lele, mengaku enggan melepas kebiasaannya memakai masker di luar ruangan.
"Kalau misalnya orang sudah kebiasaan lebih dari 21 hari, pasti terus akan dilakukan. Nah makanya, secara enggak sadar masker jadi bagian hidup kita," ujarnya.
Selama lebih dari dua tahun terjebak dalam pandemi Covid-19, ia tak absen mengenakan masker di tiap aktivitas sehari-hari.
Hal yang menurutnya dilakukan sebagai langkah antisipasi supaya terhindar dari virus yang berbahaya itu.
Saat ini, kasus Covid-19 di DKI Jakarta mengalami tren penurunan dengan positivity rate 1,3% - di bawah positivity rate nasional dengan angka 1,63%.
Adapun cakupan vaksinasi pertama dan kedua di DKI Jakarta telah melebihi target, dengan cakupan vaksin ketiga sebanyak 45,22%, menurut data pada 17 Mei 2022.
Namun, Roni Chaniago, warga Padang, Sumatera Barat, mengaku kebijakan lepas masker di luar ruangan ini tak istimewa bagi mereka.
Pasalnya, sudah sejak lama warga di wilayah ini tak mengenakan masker dalam aktivitas mereka sehari-hari.
"Ya seperti yang kita lihat aja lah, saya aja enggak pakai masker kan. Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan membolehkan enggak pakai masker saya sudah enggak pakai masker," aku Roni.
Senada, Melati Oktawina, perempuan berusia 29 tahun yang tinggal di Padang menyebut sudah banyak masyarakat yang tidak patuh terhadap prokes penggunaan masker.
"Karena kalau tetap ada kebijakannya, masyarakat di lapangan pun, terpantau sudah tidak mematuhi aturan tersebut," ujar Melati tahun yang mengaku belum mendapatkan vaksin ketiga ini.
Winda, warga Padang yang lain, mengaku penerapan penggunaan masker selama lebih dari tua tahun pandemi membuatnya merasa "sesak nafas" dan "bosan".
"Waktu awal-awal pandemi semua rata-rata pakai masker kalau keluar rumah, cuma udah setahun enam bulan ini sudah jarang," akunya. Saat ini Winda baru satu kali mendapat vaksin.
"Tidak begitu banyak yang pakai masker lagi, kecuali dalam tempat-tempat tertentu yang mewajibkan pakai masker," tambahnya.
Di ruang-ruang publik di Padang, tampak hampir semua warga tak lagi mengenakan masker.
Kendati kepatuhan protokol kesehatan yang rendah, cakupan vaksinasi dosis ketiga di Sumatra Barat juga masih rendah, sebanyak 13,31% dari total penduduk.
Itu artinya, sebagian besar penduduk hanya mengandalkan pada vaksin dosis kedua (dengan cakupan 71,83%) dan dosis pertama (93,24%) supaya tak terpapar virus corona.
'Kondisi pandemi terkendali'
Presiden Joko Widodo pada Selasa (17/05) mengumumkan kebijakan lepas masker di luar ruangan secara nasional, dengan memperhatikan "kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang semakin terkendali".
Meski begitu, Jokowi tetap meminta masyarakat menggunakan masker di luar ruangan, apabila terjadi kepadatan.
Namun untuk kegiatan di ruangan tertutup dan transportasi publik, Jokowi menyatakan warga tetap harus menggunakan masker. Begitu pula bagi masyarakat yang masuk kategori rentan, lanjut usia, atau memiliki penyakit komorbid maka saya tetap menyarankan untuk memakai masker saat beraktivitas.
"Demikian juga bagi masyarakat yang mengalami gejala batuk dan pilek maka tetap harus menggunakan masker ketika melakukan aktivitas," lanjut Jokowi dalam pernyataan yang disiarkan akun Sekretariat Presiden RI di YouTube.
Kebijakan bebas masker di luar ruangan, bersama dengan dikecualikannya kewajiban tes PCR antigen bagi pelaku perjalanan - jika sudah melakukan vaksin dosis ketiga - diklaim Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai "langkah awal transisi dari pandemi menjadi endemi".
"Yang nanti kalau kita lihat kedepannya kondisi penularan kasus Covid-19 makin lama makin terkendali, yang masuk rumah sakit makin lama makin sedikit, kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan dirinya sendiri itu juga semakin tinggi, kita bisa melakukan langkah relaksasi lainnya yang secara bertahap akan membuat hidup kita kembali normal," ujar Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers Selasa (17/05) malam, beberapa jam setelah pengumuman Presiden Jokowi.
Lebih jauh, Budi menjelaskan alasan pemerintah melonggarkan kebijakan pemakaian masker dan secara bertahap melakukan program-program transisi menuju endemi antara lain Indonesia "tidak mengalami kasus yang tinggi" dan "imunitas masyarakat terhadap varian baru sudah relatif cukup baik".
Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan menunjukkan proporsi penduduk yang mempunyai antibodi SARS COV-2 di Jawa dan Bali mencapai 99%, lebih tinggi dari survei serupa yang dilakukan pada Desember silam, dengan angka 93%.
"Ini disebabkan kombinasi karena adanya percepatan dari vaksinasi, tapi juga karena memang penularan Omicron yang jauh lebih tinggi dari Delta - 20% di atas Delta - sehingga banyak juga masyarakat kita yang tertular, sehingga memiliki antibodi yang berasal dari infeksi," jelas Budi.
Ia menambahkan, tak hanya jumlah populasi masyarkat yang memiliki antibodi lebih banyak, tapi mereka juga memiliki kadar antibodi lebih tinggi.
"Jadi kalau bulan Desember rata-rata kadar antibodinya dalam ratusan, [sekitar] 500 - 600, tapi begitu di bulan Maret kita ukur untuk grup yang sama, kadar antibodinya naik ke ribuan, mungkin 7.000 - 8.000."
"Ini membuktikan masyarakat kita selain antibodinya tumbuh banyak tapi juga kadar antibodinya naik lebih tinggi," kata dia.
Baca juga:
- Antibodi terhadap virus corona 'dapat bertahan setidaknya enam bulan'
- Winter, llama yang dapat menjadi kunci mencari obat untuk penyembuhan Covid-19
Menurut Budi, ini karena banyak masyarakat yang sudah divaksinasi kemudian terkena Omicron. Di sisi lain, lanjutnya, hasil riset di seluruh dunia membuktikan kombinasi, ditambah infeksi, membentuk apa yang di kalangan sains sebut sebagai superimmunity.
"Jadi kadar kekebalannya tinggi dan bisa bertahan lam. Jadi orang-orang yang sudah pernah divaksin dan terkena [Covid-19], selain itu melindungi bersangkutan masuk rumah sakti, itu juga membangun superimmunity," jelas Budi.
Merujuk pada parameter-parameter ini, Budi mengungkapkan, pemerintah Indonesia melihat bahwa masyarakat indonesia sudah memiliki daya tahun tarhadap varian baru yang sekarang sedang beredar di seluruh dunia dengan cukup baik.
Selain itu, secara ilmiah dan praktis sudah dibuktikan dengankasus yang menurun untuk varian yang sama dibanding negara-negara lain yang kasusnya lebih tinggi.
"Sehingga dengan demikian, kita bisa bertahan mulai melakukan langkah-langkah transisi awal dari pandemi ke endemi," kata Budi.
'Jangankan booster, dosis kedua saja masih jadi PR besar'
Namun epidemiolog dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, menyebut kebijakan ini "terlalu cepat". Sebab, tak semua daerah memiliki imunitas yang sama.
"Bali punya modal yang cukup, dengan modal booster yang jauh lebih baik dari rata-rata nasional. Juga Jakarta. Tapi kalau bicara level nasional, belum lah, kita masih punya PR. Selain di beberapa daerah, di luar daerah khususnya, jangankan cakupan booster, dosis kedua saja masih jadi PR besar," jelas Dicky.
Lebih jauh Dicky melanjutkan, negara-negara lain membebaskan warganya dari kewajiban masker di luar ruangan setelah cakupan booster - vaksin dosis ketiga - lebih dari 50%.
"Setidaknya yang harus dirujuk itu sebetulnya bukan dua dosis, tapi booster pada populasi umum harusnya 50% ke atas dan [populasi] yang rawan, seperti lansia, minimal 80%," ujar Dicky.
Baca juga:
- Vaksin booster: kenapa ahli kesehatan khawatir akan mengacaukan target vaksinasi lansia?
- Rencana vaksin booster berbayar, 'gratis saja tidak mau, apalagi bayar'
- Vaksin booster untuk nakes tidak sampai 1% dari target 1,4 juta: 'Kami bertanya-tanya kenapa lambat sekali?'
Kombinasi cakupan vaksinasi, perilaku sehat masyarakat dan kondisi udara, kata dia, akan membuat "pelonggaran masker menjadi kecil risiko".
Merujuk data Kementerian Kesehatan per 18 Maret 2022, capaian vaksin ketiga masyarakat umum dan rentan baru mencapai 21,35%, sementara capaian dosis ketiga untuk populasi lansia, baru mencapai 19,99%.
Pakar epidemiologi dari Universitas Sriwijaya, Najmah Usman, mengakui bahwa cakupan vaksinasi ketiga sebesar 20%, merujuk kalkulas epidemiologis - dianggap "terlalu dini" untuk melonggarkan pemakaian masker.
Namun menurutnya, faktor-faktor lain tak bisa diabaikan.
"Menurut saya, dari sisi epidemiologi, kita sudah mencapai tahap imunitas berkelompok, sehingga risiko kematian dan kesakitan berkurang karena adanya imunitas, baik imunitas yang diperoleh dari vaksin Covid-19, maupun alamiah - sembuh dari Covid-19, baik yang bergejala ringan maupun bergejala berat," kata dia.
Oleh sebab itu, Najma menyebut bahwa kebijakan pelonggaran masker ini berarti "penanganan Covid-19 sudah berhasil" dan kini kita mengalami masa post-pandemic (paskapandemi).
"Membuka masker berarti juga segala aktivitas online, baik kerja dan sekolah, sebentar lagi akan kembali luring atau tatap muka," kata dia.
Namun, lanjut Najma, yang menjadi catatan adalah kelompok risiko tinggi - seperti orang-orang dengan comorbid dan kelompok rentan - disarankan untuk tetap menggunakan masker baik di dalam dan luar ruangan untuk menghindari penularan.
"Karena kita enggak tahu ya virus ini terus bermutasi sehingga diharapkan tetap jaga masker di daerah crowded atau yang agak ramai untuk melindungi diri sendiri, terutama lansia dan orang dengan comorbid, yan bisa meningkatkan risiko kematian jika tertular Covid-19," ujar Najmah.
Waspadai lonjakan kasus
Meski mendukung kebijakan pemerintah, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban, mewanti-wanti pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 pasca-Idulfitri, yang baru akan terlihat dua bulan setelah hari Idulfitri.
"Tolong jangan lupa, kita Indonesia belum lama ini ada mudik yang [berjumlah] lebih dari 77 juta, jadi meski risiko penularan sedikit, kalau kali 70-80 juta tentu angkanya akan bermakna, walaupun itu bisa dikoreksi dengan vaksinasi," kata Zubairi.
Betapapun, Menteri Kesehatan Budi Sadikin memastikan bahwa situasi Covid-19 di Indonesia "masih terkendali".
Baca juga:
- Lonjakan Covid-19 di Indonesia diprediksi sampai awal Juli, daerah lain bisa menyusul Kudus
- Lonjakan Covid-19 Indonesia: 'Tak ada pilihan lain selain rem darurat', kata peneliti
- Ketika Lebaran kalahkan ketakutan akan Covid-19: 'Kalau sudah terjangkit saya pasrah saja' kata warga yang ikut berdesakan belanja Lebaran
"Sampai sekarang kita belum melihat adanya kenaikan kasus. Kalau ditanya apakah akan ada atau tidak, feeling saya ada, karena mobilitas naik lebih tinggi."
"Tetapi selama dibawa treshold positivity rate 5% dan kita juga monitor tiap minggu reproduction rate-nya yang sekarang sudah 1 atau di bawah 1, harusnya ini masih terkendali.
Merujuk pada pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kata Budi, biasanya indikasi kenaikan terjadi 27 - 34 hari sesudah hari raya.
"Kalau hari raya-nya 2 Mei, ya kita lihat di akhir bulan ini deh. Insya Allah tidak ada kenaikan yang signifikan," cetusnya.
Indonesia mengikuti jejak beberapa negara lain yang telah membuat kebijakan tak lagi mewajibkan masker pada kegiatan luar ruangan, seperti Italia, Singapura, Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
--
Laporan tambahan oleh Albert Chaniago, wartawan di Padang, Sumatra Barat.