Sunda Wiwitan dan Rencana Eksekusi Tanah Adat di Kuningan: Kami Menolak

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 18 Mei 2022 | 12:03 WIB
Sunda Wiwitan dan Rencana Eksekusi Tanah Adat di Kuningan: Kami Menolak
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masalah yang menimpa kelompok Sunda Wiwitan di Kuningan, Jabar, yang lahan tanah adatnya direncanakan akan dieksekusi otoritas terkait di wilayah itu, Rabu (18/05), makin menguatkan alasan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

Selama RUU itu belum disahkan, persoalan seperti ini dikhawatirkan akan terulang kembali pada masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Rencana eksekusi lahan di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang diklaim sebagai tanah adat masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan itu terjadi setelah Mahkamah Agung memenangkan pihak penggugat.

Enam tahun lalu, Pengadilan Negeri (PN) Kuningan sudah memerintahkan eksekusi lahan, namun gagal, setelah ditolak masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di sana.

Baca Juga: Belajar Toleransi dari Penganut Sunda Wiwitan dan Umat Muslim di Cireundeu

Tetapi April lalu, PN Kuningan kembali memerintahkan otoritas terkait untuk melakukan eksekusi di lahan tersebut, setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) memenangkan pihak penggugat.

MA memenangkan alasan pihak penggugat yang menganggap persoalan ini semata "sengketa waris" keluarga.

Klaim ini ditolak masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan yang berkukuh lahan itu adalah tanah adat dan menganggap putusan majelis hakim itu sebagai "kesalahan".

Mereka mengaku memiliki bukti-bukti di balik status tanah adat atas lahan seluas sekitar 224 meter persegi.

Untuk itulah, mereka menyatakan akan melakukan "perlawanan" atas rencana eksekusi.

Baca Juga: Polemik Makam Leluhur, Komnas HAM Mediasi Pemkab Kuningan dan Sunda Wiwitan

Baca juga:

Mengapa masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan menolak eksekusi?

Rencana eksekusi berdasarkan perintah PN Kuningan atas lahan di Desa Cigugur itu diungkap pertama kali oleh masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan di media sosial.

Disebutkan, pada 22 April 2022, PN Kuningan mengeluarkan surat perintah pelaksanaan pencocokan (constatering) dan sita eksekusi, yang akan dilakukan pada Rabu (18/05).

BBC News Indonesia, Selasa (17/05), telah menghubungi PN Kuningan untuk mengkonfirmasi waktu dan alasan putusan eksekusi.

Melalui sambungan telepon, Kepala Humas PN Kuningan, Hans Prayugotama, mengaku "belum menerima informasi" dari panitera atau juru sita.

Atas rencana eksekusi ini, masyarakat Karuhun Sunda Wiwitan menyatakan "menolak secara tegas" dan "tidak memberikan ruang dalam eksekusi".

"Menolak dengan tegas karena PN Kuningan melakukan framing hanya dengan membahas lewat cara pandang hukum waris perorangan atau pribadi," kata Okky Satrio Djati, petugas adat (girang pangaping) masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan, kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/05).

Padahal, lahan itu adalah tanah adat Mayasih milik komunal "yang dijaga dan dikelola secara bersama" dan bukan milik pribadi-pribadi, katanya.

"Nah, cara pandang ini yang kami mengatakan framing mereka dalam melihat masalah ini, salah," tambahnya.

Okky menganggap majelis hakim "keliru memahami objectum litis-nya".

"Karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris, padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi pada masyarakat hukum adat," jelasnya.

Okky menegaskan pihaknya memiliki bukti-bukti bahwa lahan itu merupakan tanah adat milik komunitas Karuhun Sunda Wiwitan.

"Kami punya persil dan itu milik pupuhu kami yang pertama. Lantas ada surat penetapan dari pupuhu kedua.

"Generasi tahun 1964 dan 1976, [lahan] itu diberikan kepada sekitar 12 tokoh masyarakat. Dari tokoh masyarakat itu, mereka membentuk yayasan pendidikan," ungkapnya.

Yayasan inilah, tambahnya, yang berhak mengelola bersama masyarakat.

"Jadi tidak boleh diperjualbelikan, tapi digunakan untuk kepentingan bersama," ujar Okky.

Apa alasan pihak penggugat?

Sampai Selasa (17/05) malam, BBC News Indonesia belum berhasil menghubungi pihak penggugat, Jaka Rumantaka.

Namun, seperti dikutip Tempo.co pada 10 Oktober 2017, dalam klafirikasi di Dewan Pers, Jaka Rumantaka mengklaim lahan itu "milik ibunya".

Dia mengaku, pada 1980, tanah itu kemudian diberikan oleh adik ibunya kepada dua orang.

Kelak Jaka mengaku melayangkan gugatan kepada dua orang tersebut. Gugatan inilah yang dimenangkan PN Kuningan.

Klaim Jaka inilah yang dipertanyakan komunitas Karuhun Sunda Wiwitan. Seperti dilaporkan Tempo.co (10 Oktober 2017), mereka menganggap "putusan tersebut tidak mempertimbangkan amanat leluhur dan aspek sejarah, sosial, dan budaya."

BBC Indonesia telah menghubungi PN Kuningan untuk mengklarifikasi alasan putusan, namun kepala humasnya, Hans Prayugotama mengaku "belum menerima informasi" tentang persoalan ini.

Baca juga:

Kenapa persoalan tanah adat sering muncul?

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan, kasus yang dialami komunitas Sunda Wiwitan di Kuningan, makin menguatkan alasan untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

"Belum ada UU yang secara khusus dibuat dan digunakan sebagai panduan untuk negara mengadministrasi masyarakat adat," kata Rukka kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/05).

UU yang ada, lanjutnya, barulah "sepotong-potong" alias sektoral.

Hal senada juga diutarakan Ketua Pusat Pengembangan Hukum Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Imam Kuswahyono.

Dia mengatakan, kasus tanah adat di Kuningan bisa terjadi, karena "ada ketidakjelasan norma yang digunakan dalam mengatur obyek yang disengketakan".

"Inilah yang menjadi PR bagi pemerintah atau negara, bagaimana segera melakukan pembenahan dan pembaruan terhadap pengakuan secara Konstitusional dan operasional dari masyarakat adat," kata Imam kepada BBC News Indonesia, Selasa (17/05).

Selama itu belum disahkan, menurut Rukka dan Imam, persoalan seperti ini akan terulang kembali di masyarakat adat lainnya di Indonesia.

Rukka menilai, apa yang menimpa masyarakat Sunda Wiwitan di Kuningan, memperlihatkan, belum ada mekanisme yang secara utuh memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk pendaftaran tanah-tanah kolektif.

"Padahal, orang makin banyak perlu tanah, dan terbuka untuk pendaftaran, bahkan bikin sertifikat, di mana tanah-tanah dipotong menjadi tanah individu atau pribadi, dan kemudian inilah yang terjadi," jelasnya.

Dari kasus tanah adat Sunda Wiwitan, Rukka mengatakan, sistem pengaturan, pengakuan dan perlindungan pertanahan dan aset agraria di Indonesia "tidak memberikan peluang kepada masyarakat adat untuk bisa memastikan perlindungan terhadap tanah-tanah kolektif, sehingga sertifikat-sertifikat individu bisa muncul.

"Dan kemudian klaim-klaim individu, meskipun atas tanah yang diwariskan bahwa itu adalah tanah kolektif, itu kemudian bisa terjadi," jelas Rukka.

Hal ini makin dipersulit oleh sistem hukum di Indonesia yang disebutnya "sangat positivistik", yaitu "hanya bisa dibuktikan dengan sertifikat atau dokumen lainnya".

"Dan dokumen-dokumen sebelum Indonesia ada, itu sama-sekali tidak dipertimbangkan. Jadi sejarah asal-usul tanah itu tidak menjadi pertimbangan pengadilan," paparnya.

"Dan ini menjadi persoalan sangat pelik dan ini bukan kasus pertama kali, dan mereka hadapi setiap hari."

Bagaimanapun, menurut Imam Kuswahyono, pemerintah dan DPR belum menjadikan RUU masyarakat adat sebagai "prioritas".

Namun demikian, diakuinya, ada kelemahan pada pembuktian pada tanah-tanah adat di Indonesia.

"Karena pada umumnya hak-hak mereka yang sudah dimiliki secara turun-temurun, itu tidak memiliki alat bukti yang valid dan kuat. Atau tidak memiliki sertifikat."

"Nah titik lemah itu justru semakin dimanfaatkan investor bersama pemerintah untuk menguasai tanah-tanah milik hukum adat," ujarnya.

Baca juga:

Jelang eksekusi, apa jalan keluar yang ditawarkan?

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan, kasus tanah adat Sunda Wiwitan di Kuningan "harus diluruskan".

"Harus dilihat kembali, dibuka kembali masalahnya, karena menurut kami banyak sekali kejanggalannya," kata Rukka.

Menurutnya, susah bagi masyarakat adat untuk membuktikannya, karena sistem hukumnya "tidak terbuka" untuk bisa memberikan peluang kepada syarat-syarat pembuktian oleh masyarakat adat.

"Saya meminta supaya eksekusinya dipending (ditunda) dulu, dan kemudian dilihat kembali sejarah asal-usulan tanah itu," kata Rukka.

Sementara, Ketua Pusat Pengembangan Hukum Agraria, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Imam Kuswahyono, mengatakan, pihak tergugat dapat melayangkan upaya hukum peninjauan kembali (PK) asal mereka memilih bukti baru (novum).

"Ini untuk menunda eksekusi," kata Imam.

Upaya lainnya, lanjutnya, adalah menggalang dukungan dari kalangan LSM dan akademisi.

"Misalnya, membuat surat kepada presiden dan lembaga negara untuk mendapat prioritas perhatian untuk melihat kasus ini secara jernih," katanya.

"Dan tentu saja, pemerintah dan DPR untuk segera menggolkan RUU masyarakat adat," tandas Imam Kuswahyono.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI