Suara.com - Film KKN di Desa Penari masih saja menjadi sorotan masyarakat sejak awal penayangannya pada 30 April 2022 lalu. Film yang diangkat dari kisah nyata tersebut mampu menarik perhatian jutaan pasang mata. Sebelum menonton Anda bisa menyimak cerita KKN di Desa Penari asli lengkap terlebih dahulu berikut ini.
Seperti yang banyak diketahui, sebelum diangkat ke layar lebar, cerita KKN di Desa Penari pernah viral di Twitter. Cerita tersebut awalnya dibagikan oleh salah satu pengguna twitter dengan akun yang bernama @SimpleM81378523 pada 2019 silam. Seperti apa cerita KKN di Desa Penari asli lengkap?
Menurut pengunggah, cerita tersebut merupakan kisah nyata yang terjadi pada enam mahasiswa yang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) disebuah desa di Jawa pada 2009. Keenam mahasiswa tersebut bernama Ayu, Nur, Widya, Bima, Anton dan Wahyu. Lantas seperti apa cerita KKN di Desa Penari asli dan lengkap? Simak ulasannya berikut ini.
Cerita Lengkap KKN di Desa Penari Asli Lengkap
Baca Juga: 5 Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa, KKN di Desa Penari Salip Dilan?
Dikutip dari akun Twitter @SimpleMan berikut ini cerita KKN di Desa Penari asli dan lengkap:
Nur merupakan gadis yang memiliki cita-cita menempuh pendidikan di universitas yang ia impikan sejak kecil. Bulan demi bulan telah ia lalui, hingga akhirnya sampailah dia pada semester akhir yang menuntutnya untuk menyelesaikan tugas pengabdian kepada masyarakat atau dikenal dengan KKN.
Nur dan keenam temannya harus mencari tempat KKN sendiri lantaran mereka tidak berkesempatan untuk turut mengikuti KKN yang telah ditentukan dari kampus. Suatu malam, Ayu teman sefakultas Nur baru saja membicarakan rencananya. Ia telah memiliki tempat yang cocok untuk melakukan kegiatan KKN mereka dan Nur akan ikut dalam observasi pengenalan lokasi KKN.
Nur kemudian bersipa untuk keberangkatannya ke desa yang dimaksud Ayu. Disela-sela itu, Nur teringat bahwa ia harus segera memberi tahu rekannya yang lain. Karena KKN merupakan kegiatan yang harus diselesaikan secara bersama.
Wid, nang ndi?"
Baca Juga: Nessie Judge Tak Percaya KKN di Desa Penari Kisah Nyata, Netizen Nilai Alasannya Masuk Akal?
(Wid, dimana?)
"nang omah Nur, yo opo, wes oleh nggon KKN'e" (di rumah Nur, gimana, sudah dapat tempat KKN nya?) Tanya Widya.
"engko bengi Wid aku budal karo Ayu, doaken yo" (nanti malam Wid, aku berangkat sama Ayu, doakan ya)
"nggih. semoga ndang di acc ya"
"Aamiin" balas Ayu, mematikan telpon.
Hari-demi hari pun berlalu dan tiba saatnya Nur berangkat ke Desa yang menjadi lokasi KKN. Nur pun melihat mobil kijang yang berhenti, keluarlah Ayu sahabatnya disusul dengan seseorang laki-laki dibelakangnya. Nur membatin mungkin itu mas Ilham, kakak laki-laki Ayu yang akan mengntarkan mereka ke lokasi KKN.
"Ayo budal," ajak Ayu dengan langsung menggandeng Nur untuk masuk ke mobilnya.
Kemudian mas Ilham membawakan barang Nur menuju mobil. Tak lama setelah itu mobil pun melaju.
"Adoh gak yu?" (Jauh nggak yu?) Tanya Nur kepada Ayu.
"Paling 4 sampek 6 jam tergantung, ngebut ora ne" (Paling 4 sampai 6 jam tergantung ngebut tidaknya? Jawab Ayu.
"sing jelas, desa'ne apik, tak jamin, iseh alami. pokok'e cocok gawe proker sing adewe susun wingi" (yang jelas, desanya bagus, tak jamin, masih alami, pokoknya cocok buat proker yang kita susun kemarin)
Ayu terlihat begitu antusias menceritakan desa tersebut, sementara Nur, ia merasa tidak nyaman.
Sebenarnya banyak hal yang membuat Nur merasa bimbang, salah satunya tentang lokasi, waktu dan sebagainya. sSejujurnya, ini kali pertama Nur pergi ke arah etan (daerah Timur). Sebagai perempuan yang lahir di daerah kulon (daerah Barat) ia sudah banyak mendengar rumor tentang daerah etan, salah satunya tentang kemistisanya.
Keadaan mistis bukan hal yang baru bagi Nur, bahkan ia sudah kenyang dengan berbagai pengalaman akan hal tersebut. Saat menempuh pendidikanya sebagai seorang santriwati, ia sering mengabaikan perasaan tidak bisa yang mucul karena kebetulan semata. Namun anehnya malam ini, belum pernah Nur merasa setidak enaknya seperti saat itu
Benar saja, perasaan tidak aneh itu terus bertambah seiring dengan mobil yangv erus melaju. Salah satu pertanda buruk terjadi adalah ketika, sebelum memasuki kota J, dimana tujuanya kota B, Nur melihat kakek-kakek yang meminta uang di persimpangan ia seakan melihat Nur dengan tatapanya yang prihatin.
Tak hanya itu saja, si kakek, mengelengkan kepalanya seolah memberikan isyarat pada Nur yang ada didalam mobil, agar mengutungkan niatnya.
Namun, Nur, tidak bisa mengambil keputusan apapun, sebab ada temanya yang lain yang menunggu kabar baik dari observasi hari ini.
Hujan tiba-tiba saja turun, tanpa terasa, 4 jam lebih perjalanan tersebut telah ditempuh. Mobil berhenti di sebuah rest area yang sepi, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Di tengah hutan yang gelap, Nur mendengar yang memanggil-manggil namanya.
"Hutan. desa ini ada di dalam hutan" kata mas Ilham.
Nur tidak berkomentar, ia hanya berdiri di samping mobil yang berhenti di tepi sebuah jalan hutan ini. Hutan tetsebut merupakan sebuah hutan yang sudah di kenal oleh masyarakat Jawa Timur.
Tidak lama kemudian, terlihat nyala lampu dan suara motor. mas Ilham, melambaikan tanganya.
"iku wong deso'ne, melbu'ne deso kudu numpak motor, gak isok numpak mobil soale" (itu orang desanya, masuk desanya harus naik motor, mobil tidak bisa masuk soalnya)
Nur dan Ayu kemudian mengangguk, pertanda ia mengerti. Tanpa berpikir panjang, Nur sudah duduk di jok belakang seoeda dan mereka pun berangkat. Perjalanan kini mulai memasuki jalan setapak.
Dengan tanah yang tidak rata, membuat Nur harus memegang dengan kuat jaket bapak-bapak yang memboncengnya. Terlihat tanah masih lembab, di tambah dengan embun fajar juga sudah terlihat disana-sini memenuhi pepohonan rimbun.
Tiba-tiba Nur, melihat sesosok wanita yang sedang menari di atas batu. Seakan menyambut dirinya yang datag di desa tersebut. Penari itu kilatan matanya tajam, dengan paras elok nan cantik. Kemudan si Wanita, tersenyum seolah sedang menyambut tamu yang sudah ia tunggu.
Nur lalu melihatnya jalan lain, tetapi Nur terkejut mendapati si wanita sudah hilang tanpa jejak. Ia sadar bahwa dirinya sudah di sambut dengan sosok entah apa itu.
Setelah memasuki Desa, mas Ilham kemudian berpeluk kangen dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya yang ada di rumah. Pria itu terlihat ramah, dan murah senyum. Dengan menyambut tanganya, Nur mendengar si pria memperkenalkan diri.
"kulo, Prabu" (saya Prabu)
Kemudian Ilham menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminta izin diadakan kegiatan KKN di desa tersebut. Yang akan dilaksanakan adiknya, Ayu dan keenam rekannya termasuk Nur.
"Sepurane Ham, aku eroh yen kene wes kenal suwe, tapi deso iki gak tau lo digawe kegiatan KKN" (saya minta maaf ham, aku tahu kita sudah kenal lama, tapi desa ini tidak pernah lo di pakai untuk kegiatan KKN)
"tolong lah mas" kata mas Ilham.
Pada saat itu, pak Prabu dengn keras sudah menolaknya hingga suasana saat itu, menjadi tegang.
"GAK ISOK HAM" kata pak Prabu menekan perkataanya kepada mas Ilham dengan ekspresi yang tak terduga.
"ngeten loh pak, ngapunten, kulo nyuwun tolong, kulo bakal jogo sikap ten mriki, mboten neko-neko, tolong pak" (begini loh pak, maaf, saya minta tolong, saya akan menjaga sikan disini)
(saya tidak akan aneh-aneh. tolong pak) ucap Ayu membantu kakanya, matanya terlihat berlinangan air mata. Ia tidak pernah melihat Ayu sengotot ini sebelumnya. Terlihat mimik wajah pak Prabu yang sebelumnya mengeras, kini melunak.
"piro sing KKN ngko dek?" (berapa yang KKN nanti dek?)
Dengan semangat Ayu menjawab. "6 pak"
Setelah proses negosiasi berhasil, dengan persetujuan pak Prabu dan tentu saja, masyarakat sekitar, mereka resmi akan menjalankan KKN di desa tersebut. Disana ia juga sudah tahu proker apa saja yang akan menjadi wacana mereka selama disan, salah satunya yaitu kamar mandi dengan air sumur.
Ia tahu, masyarakat mendapatkan akses air hanya dari sungai yang ada di desa tersebut. Jadi ini menjadi ide mereka membuat sumur agar lebih efisien. D isela-sela tengah mereka membuat proker di desa tersebut.
Saat keliling desa, Nur terdiam melihat sebuah batu yang di tutupi oleh kain merah.Di bawahnya, ada sesajian lengkap dengan bau kemenyan.
Nur melihat di atas batu tersebut berdiri sosok hitam dengan mata tajam, menyala merah. Meski hari siang bolong, Nur bisa melihat dengan jelas kulitnya yang di tutup oleh bulu. Selain itu ia juga memiliki tanduk kerbau. Tak lama, mata mereka saling bertatapan satu sama lain, sebelum Nur mengatakan pada Ayu, bahwa, mereka harus pulang.
"lapo to Nur, kok gopoh men" (kenapa sih Nur, kok kamu buru buru pergi)
"kasihan mas Ilham, wes ngenteni" ucap Nur.
"yo wes, ayok" Ayu menimpali.
Mereka pun segera menaiki motor. Lalu Nur sebelum keluar dari desa itu melihat lagi sosok Genderuwo yang menyeramkan.
"Nur, jak'en Bima, yo, ambek Widya, engkok ambek kenalanku, kating" (Nur, ajak Bima, sama Widya, sama kenalanku kating) ucap Ayu didalam mobil.
"Bima, lapo ngejak-ngejak cah kui" (ngapain sih ngajak Bima)
"ben rame, kan wes kenal suwe" (biar rame, kan sudah kenal lama) sahut Ayu
"kok gak awakmu sing ngejak to" (kenapa bukan kamu saja yang ngajak) timpal Nur.
"kan awakmu biyen sak pondok'an, wes luwih suwe kenal" (kan kalian pernah satu pondok, jadi sudah kenal lebih lama) "pokok'e jak en arek iku yo" (pokoknya ajak anak itu ya).
"yo wes, iyo" *yaudah iya). Nur pun mengalah.
"tak telpone Widya, ben cepet di gawekno Proposal'e mumpung pihak kampus gurung ngerilis daftar KKN'e, gawat kalau pihak kampus wes ngerilis yo, mumpung wes oleh enggon KKN dewe" (aku telpon Widya, biar cepat di buatkan proposalnya sebelum pihak kampus merilis daftar KKN nya, bahaya jika pihak kampus sudah merilisnya. Lagian kita sudah dapat tempat KKNnya).
Perlahan, mobil mereka pun meninggalkan jalanan hutan itu. Nur dan Ayu, kembali ke kotanya, mempersiapkan semua, sebelum mereka nanti kembali lagi.
Pada siang hari, Nur melihat Widya dan Ayu di hari pembekalan sebelum keberangkatan KKN mereka. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya 2 orang yang turut bergabung dalam kelompok KKN mereka pun muncul, namanya adalah Wahyu dan Anton.
Mereka kembali membicarakan semua proker dan menentukan jadwal keberangkatannya. semua anak sudah setuju, termasuk Widya, yang hampir seharian terus menceritakan, bahwa ibunya memiliki firasat yang buruk pada tempat KKN mereka itu. Nur hanya diam dan mendengar, karena di dalam dirinya ia juga merasakan hal yang sama.
Malam keberangkatan, Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu dan Anton, sudah berkumpul, perjalanan di lanjutkan dengan mobil elf yang sudah mereka sewa sebelumnya untuk mengantarkan mereka ke hutan tempat pemberhentian dimana nanti mereka akan di jemput oleh warga desa.
Sementara Nur masih bisa melihat temanya, Widya yang memasang wajah tidak nyaman. Nur hanya bisa berdoa, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga. Akan tetapi, tidak ada yang tahu doa mana yang akan di ijabah oleh tuhan.
Di tengah perjalanan erimis mulai turun, Nur hanya melihat ke jalanan yang lengang. Tepat di pemberhentian lampu merah, ada seseorang menggebrak kaca mobil Elf'nya. Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur dari kursi mobil. Nur melihat pengemis tua yang terus menggebrak kaca mobil, membuat semua orang yang ada didalam mobil kebingungan.
Termasuk si sopir yang kemudian berteriak agar lelaki tua itu berhenti sembari melemparkan uang recehan. Dari bibir orang tua itu Nur melihat ia berucap
"ojok budal ndok" (jangan berangkat nak) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua.
Namun mereka menghiraukannya, hingga sampailah mereka ditempat pemberhentian. Setelah menunggu, terlihat rentetan cahaya motor mendekat dari seberang jalan setapak, lalu Nur mengatakanya. "iku wong deso sing nyusul rek" (itu orang dari desanya yang jemput kita kawan)
Tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan. Jalanan setapak, dengan lumpur karena gerimis, pohon besar dan gelap dengan kabut disana-sini, mewarnai sepanjang perjalanan mereka.
Saat itu, hanya terdengar suara motor berderu tanpa ada suara binatang malam atau yang lainnya. Namun, semua berubah ketika tiba-tiba saja dari jauh terdengar suara gamelan jawa. Suaranya terdengar sayup-sayup jauh. Namun, semakin lama semakin terdengar jelas. Nur pun mengamati tempat itu, kemudian aroma bunga melati tercium menyengat di hidungnya.
Ia masih mencari, dari mana sumber suara itu terdengar. Nur kemudian melihat seorang wanita menunduk dengan melenggok-lenggokan lhernya tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak. Dilanjtkan dengan ayunan gerakan tangan dan lenganya, yang bergerak seirama dengan suara gamelan, Nur menyadari bahwa wanita itu menari.
Ia menari di tengah malam, di tengah kegalapan hutan yang sunyi dan senyap. Terlihat gerakanya begitu anggun, meski motor terus bergerak melaju ke desa tukuan. Nur bisa melihat dengan jelas, ia menari dengan sangat mempesona, seakan-akan ia bertunjuk untuk sebuah panggung yang tidak bisa Nur lihat. Siapa yang menari di malam buta seperti ini. Nur pun terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian.
Ketika motor berhenti dan sampailah di desa, Nur tidak mengatakan apapun. Ia lantas melihat pak Prabu menyambut mereka. Saat pak Prabu mempersilahkan mereka ke tempat peristirahatan selama di desa ini, Widya tiba-tiba mengatakanya.
"Pak, kok Deso'ne pelosok men yo"
(Pak, kok desanya jauh sekali ya)
"pelosok yo opo to mbak, wong tekan dalam gede mek 30 menit loh" (pelosok darimana sih mbak, orang dari jalan raya hanya 30 menit saja lo)
Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, ia melihat wajah Ayu yg memerah entah karena malu atau apa. Mungkin, Ayu merasa Widya sudah mengatakan hal yang tidak sopan sebagai tamu.
Widya memang seharusnya tidak mengatakan hal itu ketika baru saja datang. Di tengah perdebadan antara Widya dan Ayu, tiba2 dari balik pohon jauh terluhat sosok hitam dengan mata merah seakan tengah mengintai mereka. sialnya, hanya Nur yang bisa melihat.
Akhirnya, perdebadan itu selesai Nur pun meninggalkan sosok itu yang terlihat masih mengintip dari balik pohon. Kemudian, ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang mau menampung mereka untuk ditinggali selama menjalankan tugas KKN mereka. Di rumah tersebut rupanya perdebadan Widya dan Ayu berlanjut.
"koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampe setengah jam iku mau" (kamu kok keras kepala, sudah dikasih tau, tadi gak sampai setengah jam)
Nur masih melihat, alih-alih menengahi, Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya sosok genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya. Namun, tiba-tibaWidya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa mengabaikanya.
"Awakmu mau krungu ta gak, onok suoro gamelan nang tengah alas mau?" (kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi?)
Namun ucapan Widya di tanggapi oleh Ayu dengan nada mengejek. "halah, palingan yo onok acara nang deso tetangga, opo maneh" (halah, paling tadi kebetulan ada yang mengadakan acara di desa sebelah, apalagi)
Nur, yang mendengar itu pun membantah perkataan Ayu.
"Yu, gak onok loh deso maneh nang kene. Jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek" (yu gak ada lagi desa lain di sini. Kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk)
Malam itu, berakhir, meski perdebadan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing. Nur kemudian ingin mengutarakanpertanda apa yang sudah menunggu mereka di desa tersebut.
"Yu, aku kepingin ngomong, wong loro ae, isok kan" (Yu, aku ingin ngomong, sebentar, bisa kan?)
"ngomong opo Nur?" (ngomong apa Nur) tanya Ayu,
Nur dan Ayu pergi ke pawon (dapur) dengan wajah Nur yang masih tegang. Ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah telah melihat sosok makhluk itu.
"Yu, aku takon. awakmu gak ngerasa aneh tah gok deso iki, awakmu jek iling, kok iso-isone pak Prabu sampek ngelarang keras, kene KKN nang kene. opo awakmu gak curiga blas tah"
(Yu, aku mau tanya, kamu gak ngerasa aneh'kah di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu sampai, melarang keras, kita KKN disini, apa kamu gak curiga)
"Opo seh maksudmu ngomong ngunu?!" (apa sih maksudmu ngomong kaya gitu?!) ucap Ayu ketus.
"bekne, pak Prabu nduwe alasan, lapo ngelarang awak dewe KKN nang kene" (ternyata, pak Prabu punya alasan, kenapa melarang kita KKN disini)
"nek awakmu ngomong ngene, soale perkoro Widya mau, ra masuk akal Nur, awakmu melu observasi nang kene kan ambek aku, opo onok sing aneh? gak kan. wes talah, mek pirang minggu tok ae loh" (kalau kamu ngomong begini karena perkara Widya tadi, gak masuk akal Nur kamu sendiri ikut aku observasi disini kan, apa ada yang aneh? gak kan, sudahlah, yoh cuma beberapa minggu aja loh)
Ayu pergi, meninggalkan Nur. Sementara Nur, tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat, Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang ghaib. Di sini Nur pun mengalah lagi.
"Nur" Widya memanggil, Nur pun menatap wajahnya yang sayu, tampak ia baru saja menangis. Tidak aneh memang, siapa yang tidak akan menangis bila merasakan hal yang bahkan tidak masuk akal seperti itu. "isok gak, aku jalok tulung" (bisa aku minta tolong) ucap Widya.
"tolong, ojok ceritakno yo, soal aku krungu gamelan mau, gak enak ambek warga kampung, kene kan tamu nang kene" (tolong jangan ceritakan ya, soal tadi, soal aku dengar gamelan, aku gak enak kalau sampai kedengaran warga desa, kita kan tamu disini) Nur pun hanya mengangguk.
Namun, sebelum Widya beranjak dari tempatnya, Nur tiba-tiba mengatakanya. "Wid, asline aku mau yo krungu suara iku mau, malah, aku ndelok onok penari'ne nang pinggir tulangan mau" (Wid, sebenarnya, aku juga mendengar suara gamelan itu, malahan aku melihat ada yang menari disana)
Widya yang mendengar itu dari Ayu, seakan tidak percaya. Mereka pum seketika terdiam cukup lama, bingung harus bereaksi seperti apa.
"Wes, Nur, jogo awak dewe-dewe yo, insyallah, gak bakal onok kejadian opo-opo nek kene hormat lan junjung unggah-ungguh selama nang kene"
"(sudah Nur, jaga diri baik-baik, ya, insyallah, gak bakal terjadi apa-apa, kalau kita hormat dan menjunjung sopan santun selama tinggal di tempat ini)" ucapan Widya setidaknya membuat Nur sedikit lebih legah.
Malam itu, Nur tidak menceritakan tentang sosok Hitam yang mengintai mereka. Pada Malam pertama, Nur, Ayu dan Widya tidur dalam satu kamar yang sama. Mereka sepakat untuk menggelar tikar, dengan posisi Nur ada di tengah. Sementara Ayu dan Widya ada disamping kanan dan kiri Nur.
Saat mejamkan mata terdengar binatang malam bersahut-sahutan, berlomba untuk menunjukkan eksistensinya. Nur tidak bisa tidur, kemudian ia melihat 2 sahabatnya sudah tertidur lelap, ia terjaga sendirian menatap langit-langit yang berupa genting hitam dengan sarang labah-labah.
Rumah desa, tentu saja begini, pikir Nur, memaklumi, sekat kamarpun tidak menyentuh langit kamar, jadi Nur bisa melihat celah disana. Ketika ia memikirkan kejadian hari ini, Nur tiba-tiba tersadar bahwa suara riuh binatang malam sudah tidak lagi terdengar lagi. Kini berganti dengan suara sunyi yang memekik membuat telinga Nur menjerit dalam ketakutan.
Perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja membuat Nur, lebih waspada. kketika pandanganya, mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, di tengah cahaya lampu petromax yang memancarkan sinar temaram, di sudut sekat kamar ada sosok bermata merah mengintipnya.
Nur tercekat, ia kemudian mundur menutupi wajahnya dengan selimut yang ia bawa. Penampakan wajahnya terbayang didalam kepala Nur. Dengan mengingatnya, benar-benar membuat debar jantung di dadanya, berdegup kencang. ia masih ingat, tanduk kerbau yang menempel di kepalanya serta pancaran amarahnya seolah membuat Nur semakin tersudut dalam ketakutan.
Dengan spontan, Nur pun mulai membaca ayat kursi. Namun, di setiap ia menyelesaikan satu panjatan doa, di ikuti oleh suara papan kayu yang di gebrak keras dengan serampangan.
Nur pun mulai menangis, ia tahu makhluk itu masih disana. Seakan tidak terima dengan apa yang ia lakukan, meminta bantuan kepada tuhan. Tepat ketika isi hati Nur menjerit, perlahan suara itu pun menghilang berganti dengan keheningan.
Nur terbangun ketika subuh memanggil, ia masih belum mengerti dengan kejadian semalam. Apakah itu mimpi atau benar-benar terjadi, yang ia tahu ia harus menjalankan tugasnya sebagai seorang muslimah yang taat. Ia kemudian mengerjakan sholat subuh.
Nur, berusaha meyakinkan dirinya tidak akan bercerita bahkan kepada 2 sahabatnya, atas apa yang barusaja menimpanya.
Pagi harinya pak Prabu mengumpulkan semua anak. mengatakan bahwa hari ini, ia akan memperkenalkan keseluruhan desa dan mana saja yang bisa di jadikan proker untuk mereka kerjakan sesuai kesepakatan per anak di kelompok tersebut.
Pak Prabu menjelaskan sembari berjalan, sementara menyusuri desa anak-anak mengikutinya. Mereka merasa tidak ada yang menarik dari penjelasan pak Prabu tentang desa itu, bahkan pak Prabu terkesan seakan menyembunyikan sejarah desa itu.
Hal ini membuat Nur semakin curiga, selain hal-hal umum, hanya Wahyu katingnya yang selalu menimpali ucapan pak Prabu dengan candaan, membuat tawa mereka pecah. Semua terasa alami, seperti KKN yang Nur bayangkan. Sampai akhirnya, mereka berhenti di sebuah tempat yang membuat Nur tidak nyaman. Yaiti ebuah pemakaman, di samping kanan kirinya banyak pohon beringin besar.
Selain itu, pemandangan di pemakaman itu juga terkesan sangat aneh. Setiap batu nisan ditutupi dengan kain hitam, membuat Nur dan semua orang merasa penasaran, apa alasanya?
Nur merasakan angin seperti mengelilinginya ia tahu ada yang tidak beres dengan tempat ini. Seakan-akan, tempat ini sudah menolak keberadaannya. Ada satu hal yang membuat Nur semakin curiga kepada pak Prabu, dimana tiba-tiba ia teringat oleh kalimat Wahyu.
Kemudian beliau melontarkan ucapan yang bernada mengancam seakan-akan, pak Prabu menjaga sesuatu yang sakral di tempat itu. Pak Prabu melarang mereka melewati sebuah gerbang atau gapura yang berada di tengah hutan. Jika mereka melanggarnya maka akan terjadi sesuatu pada mereka. Apa yang pak Prabu sebenarnya sembunyikan?
Untungnya, Bima langsung menengahi kejadian itu membuat pak Prabu kembali menjadi pak Prabu yang sebelumnya. Namun, Nur, seakan tahu ia tidak sanggup lagi mengikuti kegiatan keliling desa ini. Kemudian ia ijin pamit untuk kembali ke penginapan dan pak Prabu mengijinkanya.
Bima menawarkan diri untuk mengantar Nur. Sementara semua anak melanjutkan perjalanan mereka bersama pak Prabu. Nur dan Bima, berjalan kembali ke area rumah tempat mereka menginap.
"onok opo Nur? setan maneh?" (ada apa Nur? hantu lagi?)
Dari semua anak, memang tidak ada yang lebih mengenal Nur daripada si Bima temanya saat mondok dulu. Nur hanya menjawab seadanya, mungkin kesehatanya telah menurun, namun Bima tahu Nur berbohong.
"nang kuburan mau, rame ya" (di pemakaman tadi, rame ya)
Ucapan Bima tidak di gubris sama sekali oleh Nur, membuat Bima akhirnya menyerah. Di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba Bima menanyakan sesuatu yang membuat Nur curiga pada Bima.
"Nur, aku takok. Widya wes nduwe pacar rung?"
(Nur aku tanya, Widya itu sudah punya pacar apa belum sih?)
"piye?" (gimana?) tanya Nur lagi.
"kancamu" (temanmu) "Widya loh, wes onok pacar opo durung?" (Widya itu loh, sudah punya pacar apa belum?)
"takono dewe ae yo" (tanyakan sendiri saja ya) Nur tahu, Bima suka kepada Widya.
Nur yang menghabiskan siangnya di dalam kamar, terbangun ketika Ayu memanggilnya. Semua anak sudah berkumplul, dan Ayu menunjukkan proposal proker mana saja yang sudah di setujui pak Prab. Ayu, membagi menjadi 3 kelompok. Diantaranya dibagi menjadi Widya dengan Wahyu, Nur dengan Anton, sementara Bima dengan Ayu.
Semua anak sepakat, tidak ada yang memberi komentar banyak mengingat, Ayu yang paling berjasa sehingga bisa mendapatkan tempat KKN tanpa campur tangan pihak kampus. Lusa, adalah awal dari pelaksanaan proker mereka.
Sore telah tiba, ketika Nur baru saja selesai merapikan barangnya untuk persiapan proker kelompok, Widya masuk ke kamar.
"Nur, ados yok" (Nur, mandi yuk) ajak Widya.
"nang ndi?" (dimana?) tanya Nur.
"nang Bilik sebelah kali, cidek Sinden kui loh, eroh kan awakmu, kolam cilik" (di bilik sebelahnya sungai, ada sebuah bilik kecil, tahu kan, yang bangunanya kaya kolam itu loh) jelas Widya.
Nur tidak menjawab, namun setelah memikirkan bahwa ia belum mandi sejak pertama kali datang kesini, ia pun setuju. Dengan syarat, Nur menjadi yang pertama mandi.
Saat melewati sebuah mata air bernama Sinden, Nur sudah merasakan perasaan tidak nyaman. Sinden itu terdiri dari anak tangga yang di susun dengan batu bata merah, tampaknya bangunanya sudah sangat tua namun ada air jernih di dalamnya. Nur tidak pernah melihat ada yang menggunakan air itu.
Perhatian Nur tertuju pada bentuknya yang menyerupai candi kecil di belakangnya. Di pelataran candi terdapat sesajen menjadi hal yang sudah lumrah di tempat ini. Nur tidak melihat adanya gangguan saat ia mengamati Sinden itu.
Saat masuk, Nur langsung mencium aroma amis seperti aroma daging busuk, namun Nur mencoba memahami. Mengingat bilinya sendiri tidak terlihat seperti kamar mandi yang bersih, lantainya dari tanah, dan kiri-kanannya di penuhi lumut jadi Nur mencoba memakluminya.
Ia pun dengan segera membasuh badanya dengan air di dalam kendi, namun ada perasaan aneh ketika air membilas badanya. Seperti terdapat benda kecil yang mengganjal saat bersentuhan dengan kulit Nur. Ketika diperhatikan, ternyata yang ada di dalam kendi air itu penuh dengan rambut.
Nur kaget, ia pun istighfar terus menerus, sembari ia melangkah mundur. Ia mencoba memanggil Widya. namun anehnya tidak ada jawaban apapun dari Widya. Nur yang berselimut handuk, mencoba membuka pintu bilik, namun anehnya pintu itu seperti di tahan oleh orang yang ada di luar.
"Wid, bukak!! Wid bukak" teriak Nur, sembari menggedor pintu yang terbuat dari anyaman bambu.
Namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari Widya. Hingga Nur menyadari di belakangnya ada sosok Hitam itu besar sekali, sampai menyentuh langit bilik.
Nur pun memejamkan mata rapat-rapat dan pertama ia lakukan adalah istighfar. Sembari tanganya mencari batu di tanah bilik, ketika tanganya berhasil meraih sebuah batu, Nur melemparkan batu itu. Sembari mengucap doa yang di ajarkan gurunya bila bertemu lelembut sosok pun itu lenyap.
Butuh waktu untuk Nur menenangkan diri, ia tahu, ia sudah di incar. Namun kenapa ia di incar, ia merasa tidak melakukan apapun di tempat itu. Bahkan jika karena ia secara tidak sengaja melihat makhluk itu, seharunya bukan hanya Nur saja yang sial, tapi makhluk itu juga sial.
Tiba-tiba pintu pun terbuka, dimana Widya melihat Nur dengan ekspresi ganjil.
"lapo Wid?" (kenapa Wid?)
"He?" "gak popo" ucap Widya saat itu.
"wes ndang adus, ben aku sak iki seng jogo, cepetan yo, wes peteng" (ayo mandi, biar aku yang jaga, cepat ya, sudah mau malam)
Awalnya Widya tampak ragu,ia seperti mau mengurungkan niatnya untuk mandi. Tidak hanya itu, Widya seperti mau mengatakan sesuatu kepada Nur namun kemudian mengurungkanya, ia kemudian menutup pintu.
Ketika Nur, berjaga di luar, ia sayup-mendengar suara orang berkidung (menyanyi dalam bahasa Jawa). Merasa penasaran, Nur mulai mencari sumber suara dan berakhir pada gemah dari dalam Bilik. Nur pun takut hal buruk terjadi, Nur mencoba memanggil Widya menyuruhnya agar ia segera menyelesaikan mandinya. Namun Widya tidak menjawab teriakanya suara kidung itu, terdengar semakin jelas.
Dari samping bilik, Nur menemukan semak belukar ia mencoba melempar batu darisana. Namun, ia kaget saat tahu dibelakang bilik ada sesaji lengkap dengan bau kemenyan yang di bakar. Nur mencoba mengabaikanya dan tetap berusaha memanggil sahabatnya. Sampai ia menemukan sebuah celah untuk melihat ke dalam.
Nur melihatnya, namun yang ia lihat bukan Widya melainkan sosok wanita cantik yang diketahui ia adalah penari yang pertama ia lihat saat masuk desa tersebut.
Siapa yang bernyanyi? pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya.
“Nur, awakmu isok kidung jawa ya?” (Nur, kamu bisa bersenandung jawa ya?)
Nur mengamati Widya, kemudian, ia hanya diam. Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.
Listrik di desa ini menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari.
Widya masih teringat kejadian sore tadi. Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam. Di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
“mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar” (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh-
-darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar)
Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu
“Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!” (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana)
“guguk aku” (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
(jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut’i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada)
“lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!” (lah terus kamu tetap kesana)
“cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!” (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang)
Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau. Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya.
Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu, tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar. Ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur.
Keadaan rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya. Di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah keluar.
Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam. Sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depanya.
Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional. Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
“Nur” panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk terasa berdiri ketika memandangnya. Dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,
Tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu. Kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.
Sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua.
Widya menjerit sejadi-jadinya. Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya. Kemudian Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.
“bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!” (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-
disini seorang diri)
jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
“onok opo to ndok?” (ada apa sih nak?) kalimat itu lah yang pertama kali Widya dengar, si pemilik rumah tampak khawatir, namun Widya lebih tertuju pada Nur, ia juga memandang dirinya, mereka sama-sama termangu memandang satu sama lain.
kejadian itu, diakhiri dengan cerita Wahyu menceritakan semuanya, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu. Kemudian ia tidak sengaja melihat seseorang, sendirian, menari-nari di tanah lapang. Karena penasaran wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar bila yang menari itu adalah Widya.
Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar. Tidak ada yang berkomentar, si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah lagi, karena hari semakin larut.
Si pemilk rumah, berjanji akan menceritakan ini kepada pak Prabu. Namun ada satu hal, yang sengaja Wahyu tidak ceritakan, nanti, ia akan menjelaskan semuanya. Malam itu, benar-benar Malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi di sela tugas KKN mereka ke dalam situasi yang paling mencekam.
Semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu. Beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian, Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah. Namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mencari air minum.
Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali, namun tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari bila latar belakangnya saja bahwa ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.
Hari itu, pak Prabu meminta Widya, Ayu dan Wahyu, menemaninya Nur perg. Sementara ia masih harus mengerjakan proker individualnya. Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini di gunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.
Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari. Anehnya, kali ini Widya merasakan untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 1 jam, malah tidak sampai 30 menit. Lalu bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada malam ketika orang desa menjemput.
Rumah yang pak Prabu datangi, rupanya rumah seseorang. melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan. Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus di bandingkan rumah orang2 desa, hanya saja,
Ruumah itu berdiri di tengah sisi hutan belantara lain. Berpagar batu bata merah, dengan banyak bambu kuning. Rumah itu terlihat sangat tua, namun masih enak dipandang mata. Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti sudah tau bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung.
Tidak ada yang tahu nama kakek itu, namun pak Prabu memanggilnya mbah Buyut. Setelah pak Prabu selesai menceritakan semuanya, wajah mbah Buyut tampak biasa saja, tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang padahal membuat semua anak-anak masih tidak habis pikir.
Sesekali memang mbah Buyut terlihat menatap Widya, terkesan mencuri pandang. Namun ya begitu, hanya sekedar mencuri pandang saja, tidak lebih. Dengan suara serak, mbah Buyut pergi kedalam rumah. Beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.
“Monggo” (silahkan) kata beliau, matanya memandang Widya.
Melihat itu, Widya menolak, mengatakan dirinya tidak pernah meminum kopi. Namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang akhirnya berbuntut ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.
Kopinya manis, ada aroma melati didalamnya, yang awalnya Widya hanya mencoba-coba tanpa sadar, gelas kopi itu sudah kosong. Tidak hanya Widya, semua orang di tegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya
“tidak baik menolak pemberian tuan rumah”
semua akhirnya mencobanya berikutnya. Wahyu dan Ayu kaget setengah mati, sampai harus menyemburkan kopi yang ia teguk. Mimik wajahnya bingung, karena rasa kopinya tidak hanya pahit, tapi sangat pahit, sampai tidak bisa di tolerin masuk ke tenggorokan. Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
“begini” kata mbah Buyut, beliau menggunakan bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya kadang tidak bisa di pahami semua anak. Ada kalimat, penari dan penunggu, namun yang lainya tidak dapat di cerna. Ia menunjuk Widya tepat didepan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius.
Pak Prabu mendengarkan dengan seksama, lalu berpamitan pulang. Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaga Widya saja. Kunjungan itu sama sekali tidak di ketahui tujuanya, selama perjalanan, pak Prabu bercerita, tentang kopi.
kopi yang di hidangkan mbah Buyut tadi adalah Kopi ireng yang di racik khusus untuk memanggil Lelembut, Demit dan sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang belum pernah mencobanya, pasti akan memuntahkanya, namun, bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali.
Semua anak memandang Widya. namun pak Prabu segera mengatakan hal lain. “sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut’i” (mohon maaf ya nak, kamu, ada yang mengikuti). Selain mengatakan itu, pak Prabu juga mengatakan bahwa tidak perlu takut, karena Widya tidak akan serta merta di apa-apakan, hanya di ikuti saja, yang lebih penting. Widya tidak boleh dibiarkan sendirian, harus selalu ada yang menemaninya, untuk itu, pak Prabu punya gagasan.
Mulai malam ini, mereka akan tinggal dalam satu rumah, hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyam, pak Prabu hanya meminta satu hal, jangan melanggar etika dan norma saja. Pertemuan itu juga di minta untuk tidak di ceritakan ke siapapun lagi, bahkan Nur, Anton dan Bima.
tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung, cukup besar, dan bekas rumah keluarga yang merantau, sekaligus hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang di temui anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, kebanyakan anak-anak yang sudah akil baligh pasti pergi merantau.
Dibelakang rumah, ada watu item (Batu kali) cukup besar, dengan beberapa pohon pisang, dan di kelilingi, daun tuntas. Anton awalnya tidak setuju mereka pindah, karena atmoser rumahnya yang memang tidak enak dan itu bisa terlihat dari luar, namun ini, perintah dari pak Prabu. Setelah kejadian itu, Ayu sedikit menghindari Widya.
Widya paham akan hal itu, namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberi semangat agar tidak mencerna mentah2 pesan orang tua itu. Disini, Wahyu bercerita kejadian yang tidak ia ceritakan di malam kejadian itu.
“Wid, kancamu cah lanang iku, gak popo tah?” (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah?)
“maksud’e mas?”
“cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo garap proker tapi kok bengi?”
(temanmu itu, setiap larut malam keluar Wid, entah kemana, trus biasanya baru balik pagi, apa sedang mengerjakan prokernya tapi kok harus malam?)
“ra paham aku mas” (gak ngerti aku mas)
“trus” kata Wahyu “aku sering rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar”
(aku sering denger anak itu ngomong sendirian di dalam kamar)
“ra mungkin tah mas” (gak mungkin lah mas)
“sumpah!!” “gak iku tok, kadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan” (gak cuma itu, kadang dia tertawa sendirian, gila kali anak itu)
“Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh” (Bima itu religius, gak mungkin aneh-aneh)
“yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge aku eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek’e ndelok tekan cendelo, paham awakmu sak iki. gendeng cah iku”
(ya sudah, tanya Anton kalau gak percaya, malam sebelum kejadian itu, Bima sebenarnya ada di kejadian, dia cuma lihat kamu dari jendela, paham kamu sekarang, gila itu anak)
Widya diam lama, memproses kalimat itu, ia melihat Wahyu pergi dengan raut wajah kesal. Malam semua anak sudah berkumpul, Nur ada di kamar, dia sedang sholat.
Widya di ruang tengah sendirian, sedangkan Ayu, Wahyu dan Anton ngobrol di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.
sebelum, suara kidung terdengar lagi, suaranya dari arah pawon. (dapur)
untuk mencapai pawon, Widya melewati kamar, disana Nur sedang bersujud, semakin lama, suaranya semakin terdengar dengan jelas.
Pawon rumah ini hanya di tutup dengan tirai, saat Widya menyibak tirai, ia melihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
Widya mematung, diam, lama sekali, sampe Nur yang meneguk dari kendi melihatnya. Mata mereka saling memandang satu sama lain.
“Lapo Wid” (kenapa Wid?) tanya Nur.
Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya, sontak Widya langsung lari, dan melihat isi kamar, disana, tidak ada Nur.
“onok opo toh asline” (ada apa tah sebenarnya) tanya Nur yang sekarang di samping Widya, ia memegang bahu Widya. dingin. tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.
“lapo kok rame’ne” (kenapa kok rame sekali) tegur Ayu.
“gak eroh, cah iki ket maeng di jak ngomong ra njawab-njawab” (gak tau, anak ini di tanya daritadi gak jawab-jawab)
“lapo Wid?” Wahyu mendekati
“tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sih” (tanganmu kenapa gemetaran begini, ada apa sih?) tanya Anton.
“Nur, jupukno ngombe kunu loh, kok tambah meneng ae” (Nur ambilkan air gitu loh, kok malah diam saja) tegur Anton,
Nur kembali dengan teko kendi yang tadi, dia memberikanya pada Widya, dan Widya kemudian meneguknya, lalu, tiba-tiba Widya diam lagi, membuat semua orang bingung. Tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kananya, terangkat lalu masuk ke dalam mulut.
Di sana Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya. Semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. kaget.
Begitu penutup tekonya di buka, di dalamnya, ada segumpal rambut, benar-benar segumpal rambut dengan air di dalamnya.
Nur yang melihatnya langsung bereaksi. “aku mau yo ngombe teko kunu, gak eroh aku onok barang ngunu’ne” (tadi aku juga minum dari situ, gak tau ada begituanya).
Widya muntah sejadi-jadinya, saat keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan “awakmu di incer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut gak koro metu, iku biasane nek gak di santet yo di incer demit”
(kamu di incar ya Wid, kata mbahku, kalau tiba2 muncul rambut)
(itu biasanya kalau gak di santet ya di incar makhluk halus)
Nur, kemudian mengatakanya
“Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi aku wes ra ndelok gok mburimu maneh”(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari kemarin aku belum lihat dia di belakangmu)
Berhari-hari setelah pengakuan Nur itu, membuat Widya semakin was-was, ia jatuh sakit selama 3 hari, dan selama itu juga, Widya hanya terbaring di atas tikar kamar, Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya, karena katanya ia sudah salah mengatakanya, seharusnya ia menahan cerita itu.
Selama Widya terbaring sakit, ia seringkali di tinggal sendirian didalam rumah itu, dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah Widya lupakan. Semua di mulai ketika, ia hanya berbaring di atas tikar, Ayu dan Nur berpamitan akan memulai proker mereka.
Anak-anak cowok juga memulai proker mereka masing2, seharusnya, tidak ada satupun orang di rumah itu, namun, siang itu, terdengar suara sesuatu yang di pukuli, hal itu menimbulkan rasa penasaran, suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras, awalnya Widya menghiraukanya namun, semakin lama, Widya tidak tahan dan akhirnya memeriksanya.
suara itu terdengar ada di belakang rumah, tepat di samping pawon (dapur), maka Widya pergi kesana, saat ia sampai di pintu pawon, yang terbuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya mengintip.
Alangkah bingungnya Widya, melihat di antara pohon pisang, ada seorang bapak2, usianya berkisar antara 50’an, menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun, ia berdiri di antara pohon pisang, matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan Widya selama KKN.
Lama sekali, bapak itu berdiri mengawasi penginapan Widya, gerak-geriknya sangat mencurigakan, seperti ingin masuk ke rumah namun, bapak itu ragu-ragu.
ketakutan, tiba-tiba terasa di dalam diri Widya, kemudian, selang beberapa menit, bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.
Rasa lega, bapak itu pergi, Widya berniat kembali ke kamar, disana ia melihat Anton, baru saja masuk rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada Anton dan anak lain, karena keesokan harinya, peristiwa yang sama itu, kembali terulang..
di awali suara keras yang sama, Widya kembali mengintip, kali ini, bapak itu lebih berani, ia melihat kesana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha mengintip, dari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk, masalahnya, apa yang ingin dia cari disini.
memikirkan hal itu, Widya tiba-tiba seperti baru ingat, ia hanya di rumah ini sendirian, seorang wanita, sendirian di dalam rumah, dan seorang pria asing, mendekati rumah itu, apalagi kalau bukan
sesaat, ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu pawon, suara itu mengejutkanya
suara keras itu rupanya dari Batu di belakang pawon, keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang, Widya menyaksikanya sendiri, ada yang melempar batu cukup besar, tepat di Watu item (Batu kali) di belakang rumah.
Sehingga si bapak panik dan pergi, Widya ikut pergi. Widya melaporkanya pada pak Prabu, yang ikut kaget mendengarnya, di carilah si bapak itu, dan ketemu, rupanya dia adalah warga desa sana, ketika di tanya apa yang dia lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan sesuatu, yang entah benar atau tidak, bila ia melihat wanita
Wanita yang di lihat si bapak ini, mengenakan pakaian seperti dayang (penari) dan ia masuk rumah ini, namun karena beliau takut di sangka melakukan hal-hal tidak baik, ia memeriksanya diam-diam, tapi, di hari dimana ia lari tunggang langgang, ia melihat sesuatu di pawon rumah
ia melihat wanita itu di dalam pawon rumah, ia sedang menari dengan anggun, sesaat sebelum ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati, karena di balik sirat wajah wanita yang di sangka terlihat jelita itu, rupanya polos, rata tak ada bentuk.
apa yang di ucapkan si bapak memang tidak dapat di percaya, namun pak Prabu tidak punya bukti lebih jauh, maka pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, si bapak pun pergi,
namun, pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,
“onok sing nyoba ngbari sampeyan mbak” (ada yang mencoba memberi pesan sama kamu mbak)
“sinten pak?” (siapa pak?)
“mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item” (kakek-kakek penjaga batu kali itu)
setelah kejadian itu, Widya di minta ke rumah pak Prabu bila masih sakit.
namun, ada kejadian lagi, yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur, dan alasan kenapa rentetan semua kejadian ini, berhubungan satu sama lain.
Mohon Maaf, harusnya hari ini gw Free, udah siapin waktu juga, rencana awal mau namatin malam ini tapi tiba-tiba di suruh lembur lagi.
Dari situ, keanehan pun terus terjadi. Nur mulai merasakan teror yang menyerangnya. Disusul dengan teman-temannya. Di tambah dengan Bima dan Ayu yang melanggar peraturan dari pak Prabu. Mereka berbuat hal yang tidak pantas di tapak tilas.
Bima kemudian harus membuat perjanjian dengan Badarawuhi (makhluk ghaib yang menguasai desa tersebut) untuk membantunya memikat Widya. Syaratnya, Bima harus mengawini Badarawuhi tersebut
"Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ekor ular," kata Mbah Buyut pada Widya.
"salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab," sambungnya.
Sebelum Bima menghembuskan nafas terakhirnya, Widya dan Nur meminta kepada Mbah Buyut untuk membiarkan Bima dan Ayu berada di Desa Penari agar mereka berdua bisa diselamatkan dari Badarawuhi itu.
Namun, pihak dari keluarga Bima dan Ayu tidak ingin mereka berdua berada di Desa Penari tersebut dan tetap membawa mereka pulang ke rumahnya masing-masing untuk meminta bantuan dari pihak medis.
Hingga pada akhirnya Bima menghembuskan nafasnya setelah tiga hari pulang dari desa tersebut. Disusul Ayu yang meninggal 3 bulan kemudian. Diceritakan sukma mereka masih tertinggal di sana. Arwah Ayu pun dikisahkan masih harus terus menari untuk menebus kesalahannya.
Demikian tadi ulasan mengenai cerita KKN di Desa Penari asli lengkap. Semoga dapat menjawab rasa penasaran Anda mengenai kisah KKN di Desa Penari!
Kontributor : Putri Ayu Nanda Sari