Suara.com - Partai pro-Iran, Hizbullah, berpeluang mengamankan porsi mayoritas di parlemen melalui pemilu di Lebanon. Kendati krisis ekonomi yang kian menjalar, pusat kekuasaan di Beirut masih didominasi oleh kekuatan politik lama.
Pada Minggu (15/05), warga Lebanon akan mencoblos untuk pertama kali sejak didera krisis ekonomi. Pemilu digelar di tengah pantauan donor internasional yang menyaratkan reformasi struktural di Beirut sebagai jaminan kucuran dana bantuan.
Tingkat partisipasi diprediksi akan rendah, meski krisis yang kian melumpuhkan perekonomian nasional.
Analis meyakini, kandidat yang mendukung reformasi akan berpeluang menang kali ini. Namun sistem sektarian di Lebanon, yang membagi jatah kursi di parlemen kepada 11 kelompok agama, dinilai membatasi gerakan menuju perubahan dan membentoni kekuasaan partai-partai besar.
Baca Juga: Rakyat Lebanon Terancam Kelaparan Akibat Perang di Ukraina
Pada pemilu legislatif 2018 lalu, kelompok Syiah Hizbullah menggalang koalisi mayoritas, termasuk dengan partai Kristen, Gerakan Patriotik Bebas (FPM), yang bermodalkan 71 dari 128 kursi di parlemen.
Hasil tersebut menyeret Beirut semakin mendekat ke Iran dan sekaligus menjauhi Arab Saudi, adidaya regional lain yang mendukung kelompok Sunni. Hizbullah sendiri meyakini hasil pemilu 2022 tidak akan membawa banyak perubahan.
Tantangan ekonomi Apapun hasilnya, analis mengatakan Lebanon bakal menghadapi periode kelumpuhan menyusul tarik-ulur kekuasaan antarpartai setelah pemilu. Hal ini dikhawatirkan bisa memperlambat upaya reformasi.
Pemerintah di Beirut sejauh ini sudah menyepakati kerangka bantuan ekonomi senilai USD 3 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi, kucuran dana bergantung pada seberapa cepat Lebanon mengimplementasikan langkah reformasi.
Menurut PBB, sebanyak 80 persen penduduk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Krisis tidak hanya melumat lapangan kerja, tetapi juga memicu kelangkaan pangan, bahan bakar dan pemadaman berkala listrik.
Baca Juga: Militan Lebanon dan Israel Saling Serang di Perbatasan
Kebangkrutan negara di Lebanon termasuk krsis ekonomi paling parah sejak pertengahan abad ke19, kata Bank Dunia.
"Lebanon harus menunjukkan komitmen dan membangun kredibilitas melalui langkah-langkah reformasi, sebelum dunia internasional bisa mengucurkan dana bantuan,” kata Wakil Perdana Menteri, Saade Chami, kepada AFP.
"Bolanya ada di tangan kami,” imbuhnya. Dominasi elit lama Sumber Reuters di Beirut meyakini, Perdana Menteri Najib Mikati berpeluang terpilih kembali melalui koalisi bersama Hizbullah. Rabu (12/05) kemarin, dia mengatakan siap kembali menjabat perdana menteri jika proses pembentukan kabinet berlangsung cepat.
Prospek berlanjutnya kekuasaan Hizbullah diyakini akan menjadi isu besar dalam pemilu kali ini. Bekas PM Fouad Siniora, rival politik Hizbullah yang kini berkampanye untuk partai Sunni, mengatakan "tren terpenting adalah politik yang semakin terpecah-belah setelah pemilu, antara pro- atau anti-Hizbullah,” kata dia.
Dia menyerukan warga Lebanon untuk mengusir Iran dengan mencoblos, "dan mempertahankan ke-Arab-an Lebanon.”
Namun bagi Nabil Bou Monsef, Pemimpin Redaksi Harian Annahar, kedigdayaan elektroal Hizbullah turut bersumber pada kegagalan kelompok oposisi.
"Kelas politik ini mampu bangkit kembali karena kekuatan oposisi ambruk, dan tidak tahu bagaimana membenahi diri,” kata dia. rzn/yf (rtr,afp,ap)