WHO Pertanyakan Pemberantasan Covid ke Titik Nol yang Dijalankan China

SiswantoABC Suara.Com
Jum'at, 13 Mei 2022 | 16:32 WIB
WHO Pertanyakan Pemberantasan Covid ke Titik Nol yang Dijalankan China
Ilustrasi covid-19 (Pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan kebijakan "nol toleransi" terhadap COVID yang dianut China bukan kebijakan yang bisa dilakukan dalam jangka panjang, melihat apa yang sudah diketahui mengenai virus tersebut sekarang.

Dalam komentar yang jarang dilakukan terhadap bagaimana pemerintah sebuah negara menjalankan kebijakan menangani pandemi COVID-19, Dirjen WHO tersebut mengatakan dalam 'briefing' kepada wartawan pendapat mereka tentang bagaimana "kebijakan itu tidak bisa berkelanjutan melihat perilaku virus dan apa yang kita antisipasi akan terjadi di masa depan".

"Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan pakar China dan kami mengatakan pendekatan sekarang bisa berkelanjutan. Saya kira perubahan kebijakan akan menjadi sangat penting."

Dia mengatakan bahwa bertambahnya pengetahuan mengenai virus dan teknologi yang sudah berkembang untuk memerangi virus juga menunjukkan perlunya strategi baru.

Baca Juga: Menhan Australia: Kehadiran Kapal mata-mata China di Lepas Pantai barat Wilayahnya Merupakan Bentuk Serangan

WHO: masalah HAM juga perlu dipertimbangkan

Pernyataan WHO ini muncul menyusul pernyataan para pemimpin China yang menegaskan akan terus menerapkan kebijakan ketat untuk memberantas COVID.

Pemerintah juga mengancam akan menindak warga yang memberikan kritik di dalam negeri, walau kebijakan ketat tersebut mulai berpengaruh terhadap negara dengan perekonomian kedua terbesar di dunia tersebut.

Berbicara setelah Dirjen Tedros, direktur keadaan darurat WHO Mike Ryan mengatakan dampak kebijakan "nol toleransi" terhadap hak asasi manusia juga perlu mendapat perhatian.

"Kami selalu mengatakan sebagai WHO bahwa kita harus menjalankan kebijakan yang seimbang dalam menanggulangi kasus dengan dampak yang dirasakan masyarakat, dampak terhadap ekonomi, dan ini memang bukan hal yang mudah dilakukan," kata Ryan.

Dia juga mengatakan bahwa secara keseluruhan China hanya mencatat 15 ribu kematian sejak virus ini pertama kali dideteksi di kota Wuhan akhir tahun 2019, jumlah yang relatif rendah dibandingkan korban hampir 1 juta orang di China, lebih dari 664 ribu orang di Brasil, dan lebih dari 524 ribu orang di India.

Baca Juga: Presiden China Xi Jinping Idap Aneurisma Otak, Mungkinkah Bisa Mengancam Jiwa?

Dengan keadaan seperti itu, Mike Ryan mengatakan bisa dimengerti bila China mengambil kebijakan ketat untuk mencegah penyebaran virus.

Omicron menguji pendekatan yang dilakukan China

Pendekatan "nol toleransi" yang dilakukan China meliputi serangkaian lockdown di beberapa kota, yang menimbukkan kemarahan dan juga kesulitan bagi banyak warga untuk bisa melakukan kegiatan sehari-hari.

Kebijakan tersebut juga mengundang kritik dari para ilmuwan sampai warga China sendiri.

Awalnya, banyak negara lain memberlakukan kebijakan lockdown China, namun sekarang sebagian sudah beralih ke kebijakan untuk hidup berdampingan dengan virus.

Terus berlanjutnya wabah juga menunjukkan betapa sulitnya mencegah penyebaran virus Omicron yang tingkat penyebarannya sangat tinggi.

Dalam kebijakan yang dilakukan China, pihak berwenang akan melakukan pembatasan pergerakan di kawasan yang sangat padat penduduk untuk menghentikan penyebaran kasus, walau kadang jumlah yang positif setelah tes hanya sedikit.

Lockdown di salah satu pusat keuangan penting di dunia Shanghai termasuk sangat ketat, karena warga hanya diizinkan untuk keluar dari kawasan pemukiman mereka untuk kegiatan seperti pergi ke rumah sakit saja.

Banyak di antara mereka bahkan tidak diizinkan untuk ke luar dari pintu rumah mereka dan berbicara dengan tetangga.

Kebijakan karantina China juga mendapatkan kecaman karena memisahkan anak-anak dari orang tua mereka dan menempatkan mereka yang tidak memiliki gejala dengan mereka yang memiliki gejala.

REUTERS

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI