Suara.com - Larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng ternyata membawa dampak negatif kepada petani kelapa sawit Indonesia, tak hanya pelaku usaha. Larangan ekspor CPO juga membawa dampak bagi 3 juta petani kelapa sawit di Indonesia.
Kinerja makro ekonomi Indonesia pun ikut terancam. Hal itu karena penurunan devisa ekspor sehingga bisa menjadi faktor yang menekan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan kepada pemerintah supaya secepatnya mencabut larangan ekspor CPO. Hal itu karena kebijakan larangan ekspor CPO lebih banyak membawa dampak negatif, alih-alih bisa menjadi strategi pengendali harga minyak goreng.
“Kelebihan pasokan minyak sawit yang selama ini terserap di pasar ekspor tidak mungkin bisa diserap di pasar domestik. Segera cabut larangan tersebut,” kata Bhima di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Baca Juga: Forum Kades Pertanyakan Dasar Polisi Menangkap 34 Petani saat Panen Massal
Dia mengatakan salah satu dampak nyata dari kebijakan larangan ekspor tersebut adalah penurunan harga TBS (tandan buah segar) petani kelapa sawit.
Dampak negatif lainnya, rendahnya penyerapan CPO akibat larangan ekspor membuat harga TBS tertekan. Bahkan, sejumlah pabrik kelapa sawit dalam waktu dekat akan sulit menerima TBS dari petani karena tanki-tanki penyimpanan CPO yang mulai penuh.
Dari pantauan di lapangan, penurunan harga TBS kelapa sawit terjadi di hampir seluruh wilayah setelah pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya dua pekan lalu.
Harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram di Sumatra Selatan. Sementara itu di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram menjadi sekitar Rp2.900 per kilogram.
Penurunan harga TBS juga terjadi di wilayah sentra perkebunan kelapa sawit lainnya seperti Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi.
Baca Juga: Tegas, Kapolri Bakal Tindak Pihak yang Melanggar Kebijakan Larangan Ekspor CPO
Bhima menilai bahwa kebijakan larangan ekspor CPO ini tidak efektif untuk menjamin stabilitas harga minyak goreng.
“Kebijakan larangan ekspor ini tidak efektif menjamin stabilitas harga minyak goreng karena masalah minyak goreng sebetulnya adalah persoalan distribusi bukan bahan baku,” kata Bhima.
Selain membawa dampak negatif kepada petani kelapa sawit, kinerja makro ekonomi Indonesia juga terancam. Tahun 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai 35 miliar dolar AS atau lebih dari Rp500 triliun dan sawit menjadi komoditas penyumbang devisa ekspor terbesar.
Selain dari devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan bagi kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.
Penurunan pendapatan ekspor minyak sawit ini tentu berpotensi menekan surplus neraca perdagangan dan mengancam stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
“Dengan harga CPO di pasar internasional yang sangat tinggi sementara di pasar domestik rendah akibat kelebihan pasokan, akan memicu terjadinya penyelundupan. Ini akan membuat dinamika industri minyak sawit nasional semakin rumit dan runyam,” kata Bhima.
Sementara itu Prof Petro Paganini, pakar komoditas dari John Cabot University Roma Italia, mengatakan di tengah kelangkaan minyak nabati global akibat perang Rusia dan Ukraina, dunia tidak punya pilihan lain kecuali mencari minyak sawit.
Bahkan di negara-negara Eropa, berbagai perusahaan makanan sudah mulai menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku dan beberapa produk makanan di Eropa sudah menghapus label “palm oil free”.
“Tidak bisa dielakkan bahwa dunia membutuhkan minyak sawit. Apalagi jika dunia memiliki perhatian terhadap isu-isu keberlanjutan, pilihannya adalah dengan mengembangkan minyak sawit karena tanaman kelapa sawit jauh lebih produktif dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya,” kata Pietro dalam diskusi dengan para pemangku kepentingan industri minyak sawit Indonesia di Jakarta, Rabu (11/5). [ANTARA]