Suara.com - Pengamat Ekonomi dan Politik, Ichsanuddin Noorsy menilai pemerintah masih mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait jaminan ketersediaan dan pemberian vaksin Covid-19 halal di Indonesia.
Noorsy menduga kekuatan bisnis dan mafia vaksin lah yang menyebabkan Kementerian Kesehatan mengabaikan putusan MA tersebut.
“Kalau kategorinya mafia, saya lihat ada semacam relasi dan hubungan antara oligarki di bidang bisnis dengan oligarki politik. Jadi semua berkaitan tentang kekuatan bisnis vaksin, tidak ada yang tidak berkaitan dengan kekuatan bisnis,” kata Noorsy, Jumat (13/5/2022).
Menurut Noorsy, semua kalangan boleh saja berbisnis akan tetapi jangan berbisnis yang menimbulkan masalah dan keributan bagi anak bangsa.
Baca Juga: 6 Daftar Harga Vaksin Lengkap untuk Anak, Segini Jika Dilakukan Mandiri
“Dalam pandangan saya bisnis boleh saja, tapi bisnis yang menyelamatkan manusia dong. Jangan bisnis yang kemudian menimbulkan masalah dan keributan,” ucapnya.
Dia menilai para mafia vaksin ini bekerja sama dengan elite pemerintahan yang dapat memberikan kekuatan memaksa terhadap rakyatnya.
“Modelnya adalah membangun dulu industri ketakutan, atau rekayasa ketakutan. Jadi ketakutan terhadap Covid jadi mereka membutuhkan vaksin. Nah ini terjadi kerja sama dengan oligarki politik yang (akhirnya) mengharuskan warga Negara divaksin,” kata Noorsy.
Putusan MA
Diketahui, dalam Putusan Mahkamah Agung (MA), Pemerintah wajib menyediakan vaksin Covid-19 berstatus halal bagi umat Muslim di Indonesia.
Baca Juga: Cegah Hepatitis Akut, Dokter Ingatkan Pentingnya Vaksin Hepatitis B buat Anak
Putusan MA tersebut merupakan hasil judicial review yang dimenangkan YKMI terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin.
Dalam salinan putusannya, MA menerangkan, pemerintah tidak bisa serta merta mamaksakan kehendaknya kepada warga negara Indonesia untuk divaksin dengan alasan apapun dan tanpa syarat.
Tindakan pemerintah yang menetapkan jenis vaksin belum (memperoleh sertifikat) halal ke masyarakat, khususnya umat Islam, berdasarkan bunyi salinan MA, adalah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dengan kondisi itu, MA berpandangan, pemerintah tidak konsisten dalam menetapkan jenis vaksin untuk pelaksanaan vaksinasi bagi masyarakat, khususnya terhadap umat Islam. Berdasarkan putusan MA, diatur dalam hak kebebasan beragama dan beribadah merupakan salah satu hak yang bersifat non derogable, artinya tidak dapat dikurang-kurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apapun.
Atas norma tersebut, jelas dan tegas membebankan kewajiban kepada negara agar menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah tersebut.
Sejauh ini pemerintah terus mendorong agar masyarakat memenuhi kebutuhan vaksin booster. Tapi demikian, vaksin booster yang disediakan pemerintah tidak berlabel halal yakni seperti AstraZeneca