Aktivis LGBTQ Sayangkan Permintaan Maaf dan Penghapusan Konten Ragil-Fred

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 12 Mei 2022 | 12:54 WIB
Aktivis LGBTQ Sayangkan Permintaan Maaf dan Penghapusan Konten Ragil-Fred
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keputusan Deddy Corbuzier yang meminta maaf setelah menghapus podcast atau siniarnya yang menampilkan pasangan homoseksual Ragil Mahardika-Frederick Vollert disayangkan oleh sejumlah aktivis LGBT karena dianggap "seolah membenarkan sentimen, stigma, dan diskriminasi" terhadap kelompok tersebut.

Video berjudul "Tutorial Jadi G4y di Indo - Kami happy loh.. - Ragil and Fred" itu diunggah di channel Youtube Deddy Corbuzier yang memiliki 18,6 juta pelanggan pada Sabtu (07/05). Ragil Mahardika merupakan pria asal Medan yang kini telah menjadi warga negara Jerman. Dia menikah dengan Frederick Vollert pada 2018.

Video yang menceritakan kehidupan Ragil-Fred sebagai pasangan homoseksual itu kemudian menuai kontroversi di media sosial, yang menurut analisis Ismail Fahmi dari Drone Emprit, lebih banyak dikecam ketimbang didukung sampai akhirnya muncul tagar #UnsubscribePodcastCorbuzier.

https://twitter.com/ddtisna/status/1523625368338731010?s=20&t=5GvpjAH4LlcO7hySyGxTag

Baca Juga: Deddy Corbuzier Dan LGBT Di Mata Mahfud MD, Bicara Soal Sanksi Heteronom Dan Otonom

Menurut Ismail, siniar tersebut juga memicu perdebatan yang lebih luas terkait isu LGBTQ secara umum hingga sentimen terhadap komunitas LGBT di media sosial pun meningkat selama beberapa hari terakhir.

https://twitter.com/edgarhamas/status/1523450073971306498?s=20&t=4BUGMRamjZM3b0YWuY2I5A

Setelah kecaman luas itu muncul, Deddy pun meminta maaf dan dalam podcast, Deddy mengatakan dia tidak berniat mengkampanyekan LGBT dan menyatakan bahwa dia "tidak akan mendukung hal tersebut".

"Sejak awal saya bilang tidak mendukung LGBT. Saya hanya melihat mereka sebagai manusia, Hanya membuka fakta bahwa mereka ada di sekitar kita dan saya pribadi merasa tidak berhak men-judge mereka," kata Deddy dikutip dari akun Instagram-nya.

Baca juga:

Baca Juga: Undang 2 Pemersatu Rakyat Usai Ribut LGBT, Deddy Corbuzier Dianggap 'Cuci Tangan'

Bagi aktivis LGBT dari Crisis Response Mechanism (CRM), sebuah konsorsium yang menangani krisis terhadap kelompok minoritas seksual dan gender, Riska Carolina, kejadian ini dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi dan tekanan bagi komunitas LGBTQ.

"Saya agak menyayangkan aja, berani mengundang tapi di-take down begitu saja, jadi yang masyarakat lihat bahwa cancel culture itu dampaknya nyata," kata Riska kepada BBC News Indonesia.

"Permintaan maaf Deddy seakan mengajarkan masyarakat Indonesia bahwa sentimen, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok rentan dengan identitas gender yang berbeda itu adalah sesuatu yang dibenarkan."

Lebih luas dari itu, Riska khawatir kejadian ini akan menutup ruang diskusi terkait isu seksualitas dan gender, bahkan melanggengkan diskriminasi yang selama ini menghantui komunitas LGBTQ.

Picu peningkatan sentimen negatif terhadap LGBTQ

Analis media sosial sekaligus pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengatakan sejak siniar Deddy Corbuzier diunggah, perbincangan terkait LGBTQ di Twitter meningkat pesat dan mencapai puncaknya pada Selasa (10/05).

Drone Emprit menemukan bahwa terdapat sekitar 70.000 kicauan di Twitter dan 2.000 konten di media terkait LGBTQ sejak Minggu (08/05).

"Petanya itu banyak yang kontra, mereka ikut membahas soal LGBT yang di-drive oleh Deddy Corbuzier. Ada yang pro, tapi masih kalah masif dibandingkan yang kontra dan menyuarakan penolakan LGBT," kata Ismail kepada BBC News Indonesia.

Penolakan itu kemudian berujung pada munculnya tagar #UnsubscribePodcastCorbuzier yang sempat menjadi topik populer di Twitter. Menurut Ismail, ada minimal 20.000 kicauan menggunakan tagar tersebut.

https://twitter.com/ismailfahmi/status/1524193573238755328?s=20&t=5GvpjAH4LlcO7hySyGxTag

Ismail juga mengatakan bahwa tagar tersebut muncul secara organik. Salah satu pemengaruh dalam wacana yang kontra LGBTQ adalah akun milik Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis.

Perbincangan terkait siniar Deddy Corbuzier ini pun, lanjut dia, berimplikasi pada meningkatnya sentimen negatif terhadap LGBTQ.

"Mulai banyak stigma negatif muncul lagi dengan cukup kuat. Cukup banyak di netizen itu menganggap ada semacam dana dari asing, internasional, ada upaya supaya ini masuk di Indonesia, ini jadinya kan ada dugaan-dugaan semacam itu," jelas Ismail.

Baca juga:

Di sisi lain, meski siniar tersebut telah dihapus oleh Deddy, Ismail mengatakan cuplikan-cuplikan dari video tersebut masih kerap muncul di For You Page (FYP) Tiktok.

Ini mengindikasikan bahwa secara algoritma, banyak pengguna media sosial yang berminat dan mencari konten tersebut.

Akhirnya, kata Ismail, muncul Streisand Effect di mana informasi terkait pasangan gay yang oleh mayoritas warganet tidak ingin tersebar, justru malah menjadi populer dan diketahui secara luas.

'Kami hanya ingin mendapat hak yang sama'

Aktivis LGBTQ dari CRM Riska Carolina mengatakan kejadian ini menunjukkan betapa sulitnya membangun ruang untuk mendiskusikan isu minoritas gender dan seksualitas.

Kelompok LGBTQ, kata dia, sulit mendapat ruang untuk berekspresi. Konten yang menyinggung isu LGBTQ kerap kali ditolak mentah-mentah bahkan dituding sebagai bentuk "kampanye".

Riska juga menyayangkan sikap Deddy yang menghapus video siniar bersama Ragil-Frederick, seraya meminta maaf dan menyatakan bahwa dia "tidak akan mendukung hal tersebut".

"Akibatnya ruang diskusi mengenai seksualitas menjadi berkurang, bahkan tidak ada. Kalau yang sebesar Deddy saja tidak bisa memberi platformnya kepada kelompok minoritas, saya khawatir ruang yang lain juga tertutup," kata Riska.

Perdebatan yang muncul di media sosial belakangan ini, lanjut dia, hanya lah gambaran kecil atas stigma negatif dan diskriminasi yang telah lama dirasakan kelompok LGBTQ di Indonesia.

Orientasi seksual dan identitas gender mereka kerap dipandang sebagai "penyakit" yang berujung pada persekusi dan kekerasan.

"Di ranah online seperti itu, orang kan membaca, menjadi punya prasangka lalu memperlakukan kami seolah menjadi warga negara kelas dua yang boleh dilakukan kekerasan dan diskriminasi," tutur dia.

"Padahal tidak sebegitu mengerikannya kami, kami sama seperti manusia pada umumnya. Kami hanya ingin mendapat hak yang sama, tidak ingin didiskriminasi apalagi mendapat kekerasan."

Aktivis LGBTQ dari Suara Kita, Hartoyo, juga menyayangkan bagaimana konten terkait LGBTQ yang diunggah Deddy, akhirnya menjadi kontraproduktif.

Dia menilai orientasi Deddy Corbuzier memproduksi siniar itu sejak awal adalah demi keuntungan ekonomi, bukan sebagai sarana edukasi yang menambah pemahaman masyarakat perihal hak-hak kelompok minoritas akan akses yang setara.

"Akhirnya masyarakat tidak bisa mendapat informasi dan edukasi yang benar, apa sih persoalan kemanusiaan pada teman-teman LGBTQ."

"Kalau seperti ini sudah menstigma dan menghakimi duluan, padahal ruang diskusi itu kan harus dibuka," kata Hartoyo.

Sedangkan seorang LGBT yang menolak namanya disebut, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa dia memilih menghindari perdebatan terkait hal ini di media sosial. Sebab, dia khawatir hal itu akan membuatnya tertekan.

"Aku enggak mau kesehatan jiwaku terganggu, kalau sudah terganggu bisa enggak bisa tidur, enggak produktif, nafsu makan hilang," katanya.

Peminggiran terhadap LGBTQ

Peneliti untuk media dan isu seksualitas dari Universitas Atmajaya, Dina Listiorini, mengatakan kasus Deddy Corbuzier tidak hanya mengamini nilai-nilai heteronormatif akan sentimen terhadap LGBTQ, namun juga meminggirkan kelompok LGBTQ atas motif ekonomi.

"Dalam kasus Deddy, peminggiran itu terjadi secara ekonomi, dia menghilangkan akses terkait pemikiran yang baru dan lebih mementingkan pengikutnya yang harus diselamatkan," kata Dina ketika dihubungi.

Padahal, kata dia, internet dipercaya sebagai media alternatif bagi kelompok mana pun untuk mendapat ruang. Namun peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak mudah untuk memanfaatkan ruang-ruang yang tersedia itu.

Apa yang terjadi usai disiarkannya siniar Deddy Corbuzier tersebut, ditambah dengan akumulasi kasus-kasus serupa sebelumnya, membuat diskriminasi terhadap LGBTQ sulit dihapuskan dan hak-hak mereka untuk mendapat akses dan penerimaan yang setara dengan warga negara lain sulit terpenuhi. Sebab, perdebatannya hanya sebatas pada urusan moral.

Sementara itu, pakar gender dan seksualitas dari Universitas Airlangga, Dede Oetomo, mengatakan tidak lagi heran perdebatan semacam ini yang sebetulnya telah terjadi berulang kali.

Mayoritas masyarakat Indonesia, lanjut dia, tidak memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai keragaman gender dan seksualitas. Hal itu dikonfirmasi dengan survei Pew Research bahnya hanya 9% orang Indonesia yang bisa menerima homoseksualitas.

"Mereka yang menentang di media sosial itu rata-rata hanya memandang satu realitas sesuai keyakinan mereka, sehingga tidak bisa menerima perbedaan dan pemikiran alternatif lainnya," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI