Suara.com - Ferdinand Marcos Jr alias "Bongbong" hampir dipastikan menjadi presiden Filipina, empat dekade setelah ayahnya dilengserkan dalam revolusi.
Kemenangan Bongbong akan membawa dinasti Marcos kembali berkuasa. Namun, mengapa nama keluarga itu begitu kontroversial?
Bongbong adalah satu-satunya putra mantan diktator Ferdinand Marcos Sr, yang menjabat presiden Filipina pada 1965 hingga 1986. Agar bisa memahami bagaimana keluarga ini bisa kembali ke kancah politik Filipina, penting untuk mengetahui kebangkitan dan kejatuhan mereka beberapa puluh tahun lalu.
Kisah tersebut sarat dengan drama, pembunuhan, rangkaian protes massal, pengasingan, dan ribuan sepatu buatan perancang mode ternama.
Baca Juga: Pilpres Filipina: Apa Makna Kebangkitan Dinasti Marcos?
Meski menjadi presiden sejak 1965, Marcos baru sepenuhnya mengendalikan Filipina pada 1972—setahun sebelum masa jabatannya yang kedua berakhir. Alih-alih bersiap lengser, Marcos justru menetapkan UU Darurat.
Hal ini membuat parlemen dibekukan, politisi oposisi ditahan, dan penyensoran total diterapkan. Marcos, yang sebelum menjabat presiden adalah seorang pengacara sukses, praktis mengendalikan pengadilan secara penuh.
Militer dan kepolisian, yang dia kendalikan secara penuh, menyiksa bahkan membunuh lawan-lawan politiknya—praktik yang terus berlanjut selama masa kekuasaannya.
Baca juga:
- Apa makna kebangkitan dinasti Marcos untuk Filipina?
- 'Politikus membayar saya untuk menyebarkan berita palsu'
- Apakah gerakan 'people power' dapat menciptakan perubahan?
Tahun-tahun setelah 1972 dikenang sebagai salah satu masa terkelam sepanjang sejarah Filipina. Jutaan orang hidup dalam kemiskinan parah, berbagai pelanggaran hak asasi manusia berlangsung, dan korupsi merajalela di tengah tumpukan utang negara.
Baca Juga: Penghitungan Suara Pemilu Filipina: Ferdinand Marcos Jr Memimpin Suara
Namun, di antara beragam insiden, pembunuhan pada suatu sore di bulan Agustus 1983 yang memicu kejatuhan Marcos.
Korbannya adalah pemimpin oposisi, Benigno Aquino, yang sebelumnya mengasingkan diri ke Amerika Serikat guna menghindari rezim Marcos.
Dia memutuskan kembali ke Filipina dengan tekad memulihkan demokrasi di negaranya. Tapi sesaat setelah pesawatnya mendarat di Bandara Manila, dia ditembak mati—walau terdapat pengamanan ketat yang digelar pemerintah Filipina.
Pembunuhan tersebut mengejutkan seantero negeri sekaligus memicu amarah dan duka banyak orang.
Puluhan ribu insan turun ke jalan-jalan di Manila dan kota lain untuk menghormati mendiang Benigno Aquino. Kedukaan ini dengan cepat berubah menjadi gerakan pro-demokrasi.
Mereka mendukung janda Aquino, Cory, untuk melawan Presiden Marcos dalam pemilu yang dipercepat pada 1986 untuk meredakan amarah rakyat.
Marcos mengklaim menang dalam pemilu tersebut walau hasilnya disengketakan karena terdapat beragam dugaan kecurangan.
Tuduhan ini kemudian memicu demonstrasi massal di seantero Filipina, yang belakangan disebut Revolusi Rakyat, People's Power dan menginspirasi banyak demonstrasi lainnya di dunia.
Aksi damai, yang berlangsung damai dan mendapat sokongan Gereja Katolik, pada akhirnya didukung para petinggi senior militer. Pasukan membangkang terhadap Marcos dan menolak melepas tembakan ke arah para pengunjuk rasa.
Setelah diprotes secara besar-besaran selama empat hari, keluarga Marcos kabur ke Hawaii menggunakan beberapa helikopter Amerika.
Bongbong, yang saat itu berusia 28 tahun dan baru merintis karier politik, ikut melarikan diri. Menurut catatan resmi Bea Cukai Amerika Serikat, keluarga Marcos membawa berpeti-peti barang berharga, termasuk perhiasan, busana mewah, dan banyak uang tunai.
Marcos meninggal dalam pengasingan di Hawaii tiga tahun berselang, pada 1989.
Marcos, istrinya—Imelda, dan kroni mereka diperkirakan menjarah uang negara sekitar US$10 miliar saat masih berkuasa. Hanya US$4 miliar yang pernah dikembalikan ke negara.
Imelda Marcos, mantan ratu kecantikan yang terkenal karena mengoleksi barang-barang mewah. Dia juga tersohor lantaran kerap berkeliling dunia untuk membeli sepatu-sepatu buatan sejumlah perancang mode terkenal.
Koleksi sepatunya mencapai 3.000 pasang yang sebagian ditemukan di Istana Kepresidenan setelah keluarganya kabur.
Setelah mereka kembali dari pengasingan pada 1990-an, Bongbong menggunakan kekayaan dan jaringan keluarganya untuk mewujudkan ambisi politiknya. Bongbong tercatat pernah menjadi gubernur, anggota DPR, hingga senator.
Ibunya, Imelda, sempat menduduki kursi Kongres Filipina. Dia kini berusia 92 tahun dan tinggal di Manila. Adapun kakak perempuannya, Imee, adalah senator dan pernah menjabat gubernur.
Selama karier politiknya, Bongbong telah menghadapi beragam tuduhan bahwa dia mencoba membersihkan sejarah kelam rezim pimpinan ayahnya dengan membesarkan pertumbuhan ekonomi dan mengecilkan pelanggaran HAM.
Pria 64 tahun itu berdalih dirinya masih terlalu muda saat ayahnya menjabat presiden, untuk bisa memikul tanggung jawab atas kejahatan masa tersebut.
Upayanya dalam membangun pengaruh politik keluarganya tampaknya sempurna dengan kiprahnya pada pemilu 2022.
Jika Bongbong terpilih sebagai presiden, 50 tahun setelah ayahnya menerapkan UU Darurat, keluarga Marcos resmi menyandang predikat sebagai keluarga yang bisa bertolak dari pengasingan di Hawaii ke Istana Kepresidenan Malacañang di pusat Kota Manila.