Suara.com - Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un kini tengah menguji senjata dengan urgensi baru, seiring Korea Selatan yang bersiap melantik presiden baru berhaluan garis keras.
Setelah bertahun-tahun mengalami kebuntuan karena pembicaraan nuklir yang gagal, ketegangan di Semenanjung Korea kini kembali meningkat.
"Saya berpikir membeli kapak, tetapi saya memutuskan itu akan terlalu sulit untuk dibawa, jadi saya memilih pisau."
Duduk di bar yang remang-remang, pada suatu malam, Jenn menceritakan rencana pelariannya yang terperinci.
Baca Juga: Perbaiki Hubungan dan Antisipasi Ancaman Korut, Delegasi Korsel Temui Perdana Menteri Jepang
Sebagai orang Korea Selatan yang tinggal di Seoul, dia tahu persis apa yang akan dia lakukan jika Korea Utara menyerang.
Pertama, persenjataan, lalu dua sepeda motor: satu untuknya, yang lain untuk saudara laki-lakinya. Sementara orang tua mereka akan naik di belakang.
Dengan cara ini mereka bisa menyeberangi sungai di kota dengan cepat, sebelum Korea Utara mengebom jembatan, dan mudah-mudahan berhasil sampai ke pantai sebelum pelabuhan dihancurkan.
Suatu malam dia dan saudara laki-lakinya duduk dan memetakan rute mereka, setuju untuk mengikat pita ke pohon jika mereka terpisah.
Baca juga:
Baca Juga: Korut Rayakan 10 tahun Kepemimpinan Kim Jong-un: Dipuji Gaya Kepimpinan dan 'Tegas Melawan Barat'
- Dipukuli dan dipaksa aborsi - Hidup di penjara Korea Utara
- Pembelot Korea Utara menggambarkan 10 tahun masa kepemimpinan Kim Jong-un
- Berat badan Kim Jong-un disebut 'turun drastis', mengapa sampai membuat khawatir rakyat Korut?
Rencana itu ia rancang lima tahun lalu. Kala itu, Korea Utara mati-matian melakukan uji coba rudal yang secara teori dapat menembakkan bom nuklir ke Amerika Serikat. Presiden AS saat itu, Donald Trump, mengancam akan membalas Korea Utara dengan "api dan kemarahan".
Jenn mengaku ia lebih khawatir ketimbang kebanyakan orang. Kendati begitu, keresahan yang ia rasakan juga dialami oleh kebanyakan warga Korea Selatan sejak perang saudara dengan Korea Utara berakhir hampir 70 tahun silam.
Lalu, suatu hal yang luar biasa terjadi. Presiden Korea Selatan yang baru terpilih saat itu, Moon Jae-in, meyakinkan Trump untuk bertemu Kim Jong-un.
Itu adalah kali pertama seorang presiden AS bertemu dengan pemimpin Korea Utara.
Pertemuan puncak bersejarah akhirnya terjadi, memicu harapan Korea Utara mungkin setuju untuk menyerahkan senjata nuklirnya dan impian bahwa dua negara Korea akan berdamai.
Kegembiraan meledak ketika Presiden Moon, putra pengungsi Korea Utara, tiba di Ibu Kota Pyongyang dan melangkah keluar ke stadion yang penuh sesak, menggenggam tangan Kim Jong-un.
Penonton tidak tahu harus berbuat apa, kenang Prof Moon Chung-in, penasihat presiden Moon kala itu.
Selama ini mereka mengenal pria itu sebagai musuh mereka, namun dia kini berada di tanah mereka, mengusulkan perdamaian.
Tiba-tiba, 150.000 penonton Korea Utara bertepuk tangan dengan meriah.
"Sungguh tontonan yang menakjubkan, itu adalah momen yang sangat mengharukan bagi saya," katanya.
Tapi saat masa jabatan Presiden Moon berakhir, harapan itu hancur berkeping-keping.
Ketika kesepakatan nuklir antara Amerika Serikat dan Korea Utara runtuh pada 2019, begitu pula pembicaraan antara dua Korea. Ada kebuntuan sejak itu.
Di sisi lain, Korea Utara terus mengembangkan senjata pemusnah massal dan sekali lagi mengujinya dengan frekuensi yang mengkhawatirkan.
Baru kali ini, akibat pandemi dan perang di Ukraina, mata dunia tertuju ke tempat lain.
Ditanya apakah pemerintah Korea Selatan gagal, Prof Moon Chung-in defensif. "Tidak, kurasa tidak! Apakah ada perang?"
Dia beralasan bahwa selama lima tahun pemerintahan Moon berhasil menjaga perdamaian selama salah satu krisis terbesar dalam hubungan antar-Korea terjadi.
Itu juga menunjukkan insentif apa yang akan membawa Korea Utara ke meja perundingan.
Ia meyakini bahwa masalahnya adalah negosiator Korea Utara kembali dengan tangan kosong, yang merupakan hal yang sangat memalukan bagi pemerintah Korea Utara, dan hampir pasti merupakan pelanggaran yang dapat dihukum.
Presiden Moon telah mencoba segala upaya untuk membujuk Korea Utara kembali ke perundingan. Namun dengan melakukan itu, ia justru dituding memanjakan salah satu diktaktor paling brutal di dunia.
"Ketika saya melihat foto-foto mereka dengan tangan merangkul satu sama lain sambil tertawa, itu membuat saya merinding," kenang Hanna Song, seorang pekerja di pusat kota Seoul.
Organisasinya, Pusat Basis Data Hak Asasi Manusia Korea Utara, telah melacak pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara selama lebih dari dua dekade. Beberapa tahun terakhir tidak mudah baginya.
Hak asasi manusia adalah kelemahan Kim Jong-un, jelas Hanna.
Ia mengatakan bahwa dalam upaya untuk menghentikan pemimpin Korea Utara dari perasaan tidak nyaman, Presiden Moon mengabaikannya dengan "menyapu mereka di bawah karpet".
Organisasi Hanna mewawancarai pelarian Korea Utara di Hanawon, pusat permukiman tempat mereka tinggal selama tiga bulan pertama di negara itu.
Kesaksian mereka memainkan peran penting dalam mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia. Namun dua tahun lalu, pemerintah Korea Selatan memutus akses mereka ke pusat itu, yang berarti mereka tidak bisa lagi mengumpulkan bukti.
Setelah itu, Hanna mulai mendengar dari para pelarian bahwa mereka ditekan untuk tidak berbicara di depan umum tentang pengalaman mereka di Korea Utara.
Beberapa dari mereka menerima telepon dari polisi setempat yang ditugaskan untuk membantu mereka berasimilasi.
"Apakah Anda yakin apa yang Anda lakukan ini adalah bijak?" tanya mereka.
Hanna mencoba menantang pemerintah atas informasi yang hilang.
Baca juga:
- Adik Kim Jong-un ke Amerika Serikat: Jangan 'bikin bau'
- Kekuasaan Kim Jong-un di Korea Utara 'makin besar, peran militer makin kecil'
- Kim Jong-un, 'raja bintang pagi' yang terpilih menjadi pemimpin Korea Utara
"Apa yang akan Anda lakukan ketika ada kesenjangan bukti ini, hanya karena Anda ingin memastikan Kim Jong-un tidak dipermalukan di depan komunitas internasional?" tanya Hanna.
"Apa yang terjadi di Ukraina mengerikan," Hanna menyimpulkan, "tapi setidaknya kita tahu."
Sangat sedikit yang diketahui tentang situasi saat ini di Korea Utara.
Penutupan perbatasan akibat virus corona yang dilakukan Korea Utara telah menghentikan akses orang dan informasi.
Yang jelas adalah bahwa Kim Jong-un terus mengembangkan senjata nuklir, meskipun ada banyak sanksi internasional yang dirancang untuk menghentikannya melakukan hal itu.
Persenjataannya kini lebih canggih dan berbahaya.
Pada bulan Maret lalu, rezim tersebut menguji rudal balistik antarbenua pertamanya untuk pertama kalinya sejak pertemuan pada 2018 terjadi. Rudal itu terbang lebih jauh dan lebih lama daripada rudal yang diuji sebelumnya.
Tapi pelukan dan jabat tangan sudah berakhir.
Korea Selatan telah memilih presiden baru yang berbicara keras. Dia adalah mantan jaksa yang tidak memiliki pengalaman politik.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Yoon Suk-yeol menggambarkan Korea Utara sebagai "musuh utama" negaranya dan berjanji untuk mengambil pendekatan garis keras terhadap eskalasi militernya.
Yoon hanya akan berbicara dengan tetangganya jika Korea Utara menunjukkan keseriusan terhadap denuklirisasi.
Tetapi sebagian besar ahli sepakat bahwa Korea Utara tidak memiliki niat untuk menyerahkan senjata nuklirnya.
Pandangan ini muncul jauh sebelum perang di Ukraina menyoroti bahaya senjata semacam itu, meski pemikiran ini tentu saja tidak membantu meredakan tensi di Semenanjung Korea.
Menurut Chris Green, seorang konsultan untuk International Crisis Group, sebuah organisasi yang bekerja untuk mencegah perang, ini memberi pemahaman kepada Yoon bahwa "tidak ada peluang yang berhasil."
Selama kampanyenya, Yoon mengatakan akan meluncurkan serangan pendahuluan ke Korea Utara untuk menghancurkan senjatanya, jika ada tanda-tanda bahwa Korea Utara akan melakukan serangan.
Ini telah lama menjadi bagian dari strategi pertahanan Korea Selatan, tetapi jarang diucapkan dengan keras karena ini adalah cara yang pasti membuat marah Korea Utara.
Pada April lalu Korea Utara memamerkan misilnya dalam sebuah parade. Kim Jong-un mengenakan seragam militer putih. Dia menyampaikan peringatan keras: setiap kekuatan musuh yang mengancam Korea Utara akan hancur.
Ini ditafsirkan, setidaknya oleh sebagian kelompok, sebagai peringatan kepada presiden baru Korea Selatan.
Korea Utara telah mengembangkan serangkaian rudal jarak pendek yang, untuk pertama kalinya pada April lalu, dapat digunakan untuk membawa senjata nuklir taktis. Ini adalah jenis yang dapat digunakan melawan Korea Selatan dalam perang konvensional.
Kini sudah muncul tanda-tanda Korea Utara akan menguji salah satu bom nuklir ini.
Namun Chris Green tetap percaya bahwa tujuan utama Korea Utara adalah bertahan hidup.
"Jika menggunakan senjata nuklir, dalam keadaan apa pun, itu akan mengakhiri rezim, dan Korea Utara tahu itu," jelasnya.
Sebaliknya, Green memprediksi akan terjadi perlombaan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan. Dua negara ini diyakini akan lebih sering membangun dan menguji persenjataan mereka.
Tindakan ini seharusnya tidak mengarah pada perang, tapi menurut Green, dapat menyebabkan salah perhitungan di kedua sisi. Itulah bahaya terbesar saat ini.
Baca juga:
- Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un akui strategi ekonomi gagal
- Korea Utara biayai program rudal nuklir triliunan rupiah dari pencurian kripto
- Tembakan rudal Korea Utara ke arah Jepang - 'Apa maunya Kim Jong-un?'
Berjongkok di sekitar asap barbekyu di sebuah gang di Seoul, Lee Geon-il mendentingkan gelas dengan teman-temannya. Mereka meminum soju pertama mereka malam itu.
"Apakah sudah terasa manis?" candanya, mengacu pada pepatah Korea bahwa semangat berubah menjadi manis setelah hari yang berat atau kehidupan yang keras.
"Apa pun yang saya minum saat ini akan terasa manis," jawab Lee Si-yeol.
Biasanya, orang Korea Selatan tidak terlalu memperhatikan Korea Utara, meyakini bahwa Amerika Serikat adalah target sebenarnya.
Tapi Si-yeol akan memulai wajib militernya. Saat ketegangan di semenanjung meningkat, dia berjuang untuk menghilangkan rasa takutnya.
"Saya tahu saya tidak biasa, tapi saya khawatir ketika Kim Jong-un menembakkan rudal," katanya.
"Saya khawatir kebijakan garis keras baru yang kami adopsi ini mungkin memicu semacam konflik."
Lee Geon-il juga khawatir. Ia tidak terbiasa dengan situasi ini. Namun perang di Ukraina mendorongnya berpikir bahwa hal yang sama bisa terjadi di Korea.
Lee Geon-il akan menjadi seorang perwira dan mengaku tak sanggup membayangkan harus memimpin anak buahnya dalam perang yang sebenarnya. Tapi dia mendukung presiden baru.
"Kami perlu menanggapi mereka dengan tegas dengan mengatakan jika mereka akan menggunakan senjata nuklir, ancamannya sangat dekat."
Saat Prof Moon Chung-in berdiri menghadap kantor kepresidenan, ia merenungkan diplomasi mereka yang gagal.
"Masa depan yang suram," ujarnya.
"Saya tidak melihat ada terobosan, tidak dalam hidup saya. Kami melewatkan kesempatan kami."
Ada kegelisahan di Seoul tentang apa yang akan terjadi, karena Korea Utara mau tidak mau menguji batas-batas pemerintahan baru dan mencoba mencari jalan kembali ke agenda internasional.
"Saya mempersiapkan diri," kata seorang mantan Letnan Jenderal Korea Selatan.
Dunia mungkin melihat ke arah tempat lain saat ini, tapi Korea Utara semakin sulit untuk diabaikan.