Pilpres Filipina: Politikus Membayar Saya untuk Menyebarkan Berita Palsu

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 10 Mei 2022 | 11:20 WIB
Pilpres Filipina: Politikus Membayar Saya untuk Menyebarkan Berita Palsu
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Putra mantan diktator Filipina, Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr, untuk sementara unggul jauh dari para pesaingnya dalam pemilihan presiden yang berlangsung Senin (09/05). Dia mendapatkan lebih dari 30 juta suara.

Calon presiden yang untuk sementara duduk di peringkat kedua perolehan suara adalah Leni Robredo. Dia meraup kurang dari setengah suara Bongbong, menurut penghitungan tak resmi.

Bila komposisi peraihan suara mayoritas ini tidak berubah dalam perhitungan resmi, dinasti Marcos yang digulingkan karena protes rakyat 36 tahun lalu akan kembali berkuasa.

Penghitungan suara dapat memakan waktu berhari-hari sebelum pemenang diumumkan secara resmi. Namun jajak pendapat sejauh ini secara konsisten menunjukkan Bongbong unggul jauh dari para pesaingnya.

Baca Juga: Siapa Leni Robredo, Pesaing Terkuat Marcos Jr. dalam Pilpres Filipina?

Pasangan Bongbong, Sara Duterte, adalah putri presiden saat ini, seorang garis keras yang masa kepemimpinannya selama enam tahun akan berakhir.

Pemilihan presiden Filipina ini bergulir di tengah arus berita bohong yang membanjiri media sosial.

"Saya menganggap diri saya sebagai orang yang memantik perdebatan, atau jika dilihat secara politis, saya adalah konsultan pemasaran di media sosial."

Jon, bukan nama sebenarnya, adalah bagian dari industri yang bisa sangat menentukan dalam pilpres Filipina kali ini.

Jon berkata, belakangan dia bekerja hampir setiap hari dari pukul 10 pagi hingga jam tiga dini hari. Dia mengelola ratusan halaman Facebook dan profil palsu untuk kepentingan kliennya: politikus yang tengah berkampanye.

Baca Juga: Jika Marcos Menangi Pilpres, Filipina Berpotensi Hidupkan Kembali PLTN

Jon berkata, pelanggannya adalah sejumlah gubernur, anggota kongres, dan wali kota.

Baca juga:

Pemegang hak suara di Filipina awal pekan ini dijadwalkan memilih presiden dan sejumlah orang untuk mengisi jabatan yang lebih rendah.

Ini adalah pemilihan presiden pertama sejak kemenangan Rodrigo Duterte pada tahun 2016. Kemenangan Duterte saat itu disebut tidak lepas dari pengaruh gelombang berita palsu.

Menurut pengamat pemilu dan pakar disinformasi, tren berita palsu belum berkurang sejak pilpres 2016. Situasinya sekarang bahkan diperkirakan lebih buruk.

Sistem disinformasi

Jon adalah bagian dari ekosistem disinformasi ini. Dia berkata memiliki sekitar 30 "pemengaruh" yang bekerja langsung untuknya.

Tujuan kelompok ini adalah meningkatkan dukungan publik bagi klien mereka. Target itu harus mereka capai, termasuk dengan menyebarkan kebohongan.

Jon berkata, dia telah beroperasi di bawah radar selama bertahun-tahun. Kadang-kadang mereka mencari fakta yang disembunyikan lawan politik klien mereka. Namun mereka sebenarnya bisa merekayasa apapun.

"Pada 2013, kami menyebarkan berita palsu di salah satu provinsi yang saya tangani," kata Jon.

Jon menjelaskan bagaimana dia menjebak lawan kliennya.

"Kami mendapatkan nomor ponsel politikus papan atas, merekayasa nomor itu, lalu mengirim pesan teks ke banyak orang dengan berpura-pura menjadi dia dan berkata bahwa sedang mencari perempuan simpanan.

"Pada akhir pemilihan, klien saya menang," kata Jon.

Untuk membuktikan klaimnya, BBC mendapat kiriman video dari sejumlah akun Facebook yang dikelola Jon.

Dia juga mengirim tangkapan layar pesan WhatsApp antara dia dan orang-orang yang bekerja untuknya. Dia menunjukkan bukti transaksi bank, kartu identitas palsu, dan kartu telepon untuk menghindari verifikasi Facebook.

Karena mencemaskan keselamatannya, Jon meminta BBC merahasiakan identitasnya.

Selama ini trik lain yang Jon gunakan adalah membuat halaman dan grup nonpolitik. Melalui halaman itu, dia pada akhirnya menyebar propaganda politik.

Meta, korporasi yang memiliki Facebook, menyebut telah menghapus sejumlah jaringan yang mencoba mengelabui publik Filipina. Mereka menghapus lebih dari 400 akun, halaman, dan grup yang melanggar kebijakan mereka.

'Rahasia umum'

Menjelang pemungutan suara di Filipina, banyak kandidat menyuarakan keprihatinan tentang dampak disinformasi terhadap hasil pemilihan.

Dalam sebuah wawancara dengan saluran berita Filipina, kandidat presiden Leni Robredo berkata bahwa upayanya untuk mengabaikan berita palsu gagal.

"Kebohongan yang berulang-ulang akhirnya menjadi sebuah kebenaran," tuturnya.

Calon Presiden Filipina lainnya, yaitu mantan juara dunia tinju Manny Pacquiao sebelumnya menyebut bahwa berita palsu dan disinformasi harus dikendalikan.

"Yang kami lihat adalah 'permainan kucing dan tikus' antara pengelola media sosial, pemeriksa fakta, dan akademisi yang mencoba mengekspos pelaku disinformasi semacam ini," kata Jonathan Corpus Ong, profesor dan peneliti disinformasi di Universitas Harvard.

"Pada akhirnya para pelaku menemukan cara untuk menghindari deteksi berita palsu," ucapnya.

Pada tahun 2018, Ong ikut menulis laporan berdasarkan satu tahun wawancara anonim dengan ahli strategi dan pekerja digital di balik berita palsu di Filipina.

Ong berkata, terdapat tingkatan orang yang terlibat dalam disinformasi ini, mulai pakar strategi periklanan yang mengumpulkan pemengaruh dan pengelola akun palsu.

Ong menyebut bahwa orang-orang yang terlibat dalam industri ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum.

Orang-orang disebutnya mengetahui fakta ini walau para pelaku dibayar di bawah meja.

Terkoordinasi

Filipina merupakan basis kelompok yang berusaha melawan disinformasi. Mereka yang berusaha mengatasi persoalan ini berasal dari beragam latar belakang, antara lain pengacara, pemimpin gereja, dosen, dan pekerja media.

BBC berbicara dengan beberapa ahli seperti Celine Samson, kepala pemeriksa fakta di Vera Files, bagian dari koalisi pemeriksa fakta tsek.ph.

BBC juga mewawancarai Tony La Vida, seorang pengacara yang memimpin koalisi Gerakan Melawan Disinformasi.

Mereka mengidentifikasi tanda-tanda bahwa pelaku disinformasi ini terkoordinasi. Mereka memeriksa unggahan berulang dari beberapa halaman media sosial yang diunggah dalam jeda waktu singkat.

Pada awal tahun 2022, tsek.ph menerbitkan penelitian yang menunjukkan bahwa calon presiden terkuat Ferdinand "Bong Bong" Marcos Junior adalah penerima manfaat terbesar dari berita palsu.

Di sisi lain, saingan politik terbesar Bongbong, yaitu Leni Robredo, adalah korban terbesar disinformasi ini.

Era pemerintahan ayah Bongbong, Ferdinand Marcos, bertahan selama lebih dari dua dekade sebelum berakhir tahun 1986.

Masa kepresidenannya diwarnai berbagai kasus pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan terhadap lawan politik. Menurut Amnesty International, setidaknya 70.000 orang dipenjara, 34.000 disiksa dan 3.240 tewas selama kepresidenan itu.

"Pada tahun 2021 kami memeriksa semua disinformasi terkait pemilu dan menemukan bahwa banyak berita palsu itu menyokong Bong Bong, mencoba menggambarkan keluarganya sebagai keluarga yang tidak mencuri kekayaan negara," kata Samson.

"Berita-berita palsu itu juga memotret ayahnya sebagai seseorang yang tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

"Kami juga melihat banyak serangan terhadap Robredo, yang menarasikan dirinya sebagai sosok yang tidak kompeten atau yang membuat pernyataan tidak masuk akal," ujar Samson.

'Membuat citra baru keluarga'

Pelapor di Cambridge Analytica, Brittany Kaiser, dalam sebuah wawancara dengan outlet berita Filipina Rappler pada tahun 2020 berkata, agensinya didekati oleh Bongbong pada tahun 2016. Politikus itu, kata Kaiser, meminta mereka untuk membuat citra baru keluarga Marcos.

Juru Bicara Bong Bong telah membantah klaim tersebut dan menyebutnya sebagai berita palsu, salah, dan menyesatkan.

Pada awal tahun 2022, Twitter mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan ratusan akun yang mempromosikan Bongbong karena melanggar aturan tentang spam.

BBC sudah meminta klarifikasi kepada tim Bongbong, tapi mereka tidak mengeluarkan pernyataan apapun sampai liputan ini ditayangkan.

Dalam sebuah wawancara lain, Bongbong menyebut dirinya adalah korban pemeriksa fakta yang dia tuduh memiliki agenda politik.

Bongbong membantah penggunaan pemengaruh untuk meningkatkan elektabilitasnya.

Apakah pengelola media sosial sudah cukup bertindak?

Jon berkata kepada BBC bahwa dia didekati seseorang untuk memberikan informasi palsu tentang seorang calon presiden kali ini. Jon mengaku menolak tawaran itu, tapi BBC tidak dapat memverifikasi klaim tersebut secara independen.

Jon tidak mengungkapkan siapa calon presiden itu, tapi dia menyatakan kandidat itu bukan Bongbong Marcos.

Setelah Twitter dan Facebook menangguhkan dan menghapus banyak akun penyebar disinformasi, YouTube mengklaim bahwa mereka menghapus lebih dari 400 ribu video yang diunggah dari Filipina.

Youtube menyebut langkah itu mereka lakukan antara Februari 2021 hingga Januari 2022.

Namun sampai saat ini tetap muncul pertanyaan apakah semua upaya pengelola medsos ini cukup untuk mengatasi disinformasi.

"Waktu yang dibutuhkan untuk membuat berita palsu melebihi waktu yang diperlukan untuk memverifikasi dan menghilangkan prasangka," kata Samson.

Liputan tambahan oleh Micaela Papa

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI