Suara.com - Karir politik Leni Robredo baru seumur jagung ketika pada 2016 silam, dia mengalahkan Ferdinand Marcos Jr. untuk jabatan wakil presiden. Kini Robredo berharap mengulang kesuksesan yang sama dalam Pilpres 9 Mei mendatang.
Sebagai satu-satunya kandidat perempuan dari 10 calon presiden Filipina, Leni Robredo adalah rintangan terakhir dan sekaligus terbesar bagi Ferdinand Marcos Jr. dalam misinya menguasai Istana Malacanang.
Namun berbeda dengan pemilihan wakil presiden 2016 silam, kali ini Robredo harus melangkahi perbedaan suara yang lebih besar untuk bisa menyusul rival politiknya itu.
Marcos Jr. diunggulkan kuat di berbagai jajak pendapat untuk memenangkan pemilu kepresidenan pada 9 Mei. Serangan bertubi-tubi dari Presiden Rodrigo Duterte, yang pernah menyebut Robredo sebagai perempuan "berotak kacau”, dan kampanye sengit media sosial oleh Marcos Jr.
Turut menggerogoti lonjakan popularitas sang kandidat progresif. Janjinya "mengalahkan gaya politik yang kuno dan busuk,” di sistem demokrasi yang dikuasai dinasti politik dan pengusaha, beresonansi dengan kelompok pro-demokrasi di Filipina.
"Saya sering dianggap lemah karena saya seorang perempuan, tapi saya tidak pernah takut menghadapi tantangan,” kata Robredo, Februari silam "Saya menawarkan kepemimpinan yang bisa dipercaya, kompeten, tekun dan bisa diandalkan. Anda tidak akan dibodohi, Anda tidak akan dirampok, Anda tidak akan ditinggalkan,” kata dia.
"Di 2022 ini, pejuang terakhir masih akan merupakan seorang perempuan.”
Tragedi mengarahkan karir politik Selama masa kampanye, Robredo banyak mengandalkan keuletan pendukungnya untuk berkeliling dari pintu ke pintu menjaring pemilih.
Strategi tersebut terbukti berhasil mencuatkan elektabilitasnya dari posisi buncit ke peringkat kedua dengan 23 persen, di bawah Marcos Jr. Yang mengumpulkan 52 persen suara, dalam survey teranyar Pulse Asia.
Baca Juga: Bongbong Marcos, Putra Diktator yang Hendak Hidupkan Kembali Dinasti
Gaya kampanye Robredo mengingatkan orang kepada gerakan rakyat menyukseskan pencalonan bekas Presiden Corazon Aquino pada 1986, yang mengarah pada kejatuhan diktatur Ferdinand Marcos.