Suara.com - Indonesia diundang Jerman ke KTT G7 bulan Juni mendatang. Langkah Berlin mencuatkan harapan kuatnya iktikad mempererat kerjasama bilateral di tengah lanskap geopolitik yang semakin sengit. Analisa oleh David Hutt
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sering memodelkan diri kepada Uni Eropa. Sebagai gantinya, Brussels mengambil peran saudara tua kepada ASEAN, yang tidak selalu ditanggapi baik di ibu kota negara-negara Asia Tenggara.
Mengingat keunikan relasi antara kedua blok politik, sering diasumsikan betapa hubungan tersebut ditopang oleh kedekatan dua anggota terbesarnya, Jerman dan Indonesia.
Namun asumsi itu keliru, kata analis. "Mengingat Jerman dan Indonesia merupakan dua perekonomian yang kuat dan aktor kunci di dalam Uni Eropa dan ASEAN, hubungan bilateral antara kedua negara malah kurang berkembang,” kata Alfred Gerstl, Guru Besar Studi Indo-Pasifik di Universitas Wina, Austria.
Baca Juga: Disediakan 45 Kapal Untuk Delegasi G20 Menikmati "Secret Picnic" di Belitung
"Kedekatan tidak terlihat dalam bidang politik, ekonomi atau juga sosial,” imbuhnya kepada DW.
Hubungan dagang antara Indonesia dan Jerman saat ini masih tergolong kecil. Sepanjang 2021, kedua negara hanya mencatat volume perdagangan senilai USD 6,6 miliar. Dibandingkan dengan negara ASEAN lain yang lebih kecil, Vietnam dan Malaysia misalnya, Jerman mencatatkan volume dagang sebesar USD 13 miliar.
Jerman sebagai mediator KTT G20 di Indonesia? Namun begitu, isyarat kedekatan menguat seiring peringatan 60 tahun hubungan diplomasi antara Jerman dan Indonesia.
Awal pekan ini, Jerman mengundang Indonesia, India, Afrika Selatan dan Senegal untuk menghadiri konferensi negara-negara industri maju, G7, di Bayern, akhir Juni nanti.
Jerman saat ini memegang dewan kepresidenan G7, sementara Indonesia merupakan presiden G20 untuk 2022. Undangan itu bisa memercik kehidupan baru pada relasi "yang tidak terlihat terlalu ambisius,” kata Gerstl.
Baca Juga: Sikap Sri Mulyani dalam Presidensi G20 Dinilai Tunjukkan Ketegasan RI
"Fokusnya terletak pada peningkatan hubungan ekonomi yang masih rendah dan kooperasi dalam memerangi perubahan iklim.”
Indonesia akan menjadi tuan rumah KTT G20 pada bulan November mendatang. Menyusul invasi Rusia di Ukraina, Presiden Joko Widodo mengaku akan mengundang Presiden Vladimir Putin dan Presiden Volodomyr Zelenskyy.
Namun prospek kehadiran Putin di Indonesia ditanggapi dengan ancaman boikot oleh negara-negara barat.
Skenario itu dikhawatirkan bakal menghantui masa kepresidenan Indonesia di G20 dan mencederai reputasi pemerintah Jakarta di mata dunia barat.
Jerman yang banyak dihujani kritik lantaran kedekatannya dengan Rusia, malah bersikap santai terkait undangan bagi Putin.
"Mengucilkan Rusia dari G20 memerlukan dukungan semua 19 negara anggota,” kata Menteri Luar Negeri Annalena Baerbock, awal pekan ini. Adapun Kanselir Olaf Scholz tidak menutup kemungkinan duduk bersama Putin selama KTT G20.
"Kami akan memutuskan perkara ini pada waktunya nanti,” kata dia kepada media-media Jerman. Pakar Asia, Gerstl, meyakini Jerman harus memediasi negara anggota G7 dan Indonesia jelang konferensi, Juni mendatang.
Presiden Joko Widodo yang berkepentingan menyukseskan masa kepresienan Indonesia di G20 akan menyambut figur penengah seperti Scholz.
Tapi hal ini memerlukan dialog yang lebih mendalam antara Berlin dan Jakarta.
Kerjasama Indonesia-Jerman dalam menghadapi Cina?
Gerstl meyakini relasi yang lebih baik antara Indonesia dan Jerman akan menguntungkan hubungan Uni Eropa dan ASEAN. Jakarta termasuk episentrum politik di Asia Tenggara dan acap mendikte agenda regional.
Kedigdayaan Cina juga mememberi bobot tambahan kepada hubungan Indonesia-Jerman menyusul kepentingan yang sama ihwal sikap agresif Beijing.
Dalam buku putih Indo-Pasifik yang diterbitkan pemerintah Jerman 2020 silam, Indonesia dinilai tidak memiliki keberpihakan yang kuat, baik terhadap Amerika Serikat atau Cina.
Sebab itu, prospek menguatnya hubungan Indonesia dan Jerman dianggap sebagai hal "yang menjanjikan,” kata Rafal Ulatowski, Asisten Guru Besar Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Warsawa, Polandia.
Menurutnya, yang juga tidak kalah penting adalah minimnya sengketa strategis antara kedua negara yang membuat keduanya mitra yang atraktif untuk satu sama lain. (rzn/vlz)