Adapun Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, memperingatkan konsekuensi tindak kekerasan terhadap perdamaian.
"Pembunuhan warga sipil Palestina atau Israel hanya mengarah pada situasi yang lebih parah, pada saat ketika kita semua berusaha mencapai stabilitas dan mencegah eskalasi,” tuturnya seperti dikutip Kantor Berita Palestina, Wafa.
Tanggal 14 Mei 1948 merupakan simpang sejarah yang menjauhkan takdir kedua bangsa. Pada hari itu, warga Yahudi merayakan pembentukan negara sebagai suaka bagi bangsa yang baru mengalami genosida, sebaliknya Palestina meratapi pengusiran dari Israel yang dikenal dengan Nakba atau Hari Bencana.
Sejarah kelam itu menaungi Kamp Jenin yang menampung sebagian pengungsi Palestina dari Israel. Di sini pula meletus Intifada kedua pada tahun 2000 yang menewaskan ribuan warga sipil di kedua belah pihak.
Sejak awal Maret 2022, setidaknya 18 warga Israel tewas di tangan militan Palestina, termasuk korban penusukan dan penembakan massal di Tel Aviv dan di Tepi Barat.
Adapun di pihak Palestina, sebanyak 30 orang dikabarkan tewas di tangan aparat keamanan, tiga di antaranya warga sipil tidak berdosa. Eskalasi itu dirayakan kelompok militan Palestina, Hamas, sebagai bentuk perlawanan.
"Penyerbuan terhadap Masjid al-Aqsa tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata juru bicara Hamas, Hazem Qassem.
"Operasi heroic (penembakan) di Tel Aviv merupakan penafsiran praktis dari apa yang telah diperingatkan oleh kelompok perlawanan.” rzn/vlz (rtr,ap)

Baca Juga: Pengadilan Israel Beri Wewenang Militer Usir 1.300 Penduduk Palestina