Suara.com - Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa militer Israel berwenang untuk mengusir lebih dari 1.300 warga Palestina yang bermukim di sejumlah desa di Masafer Yatta, kawasan perbukitan sebelah selatan Hebron, Tepi Barat.
Putusan pengadilan tidak memerintahkan pengusiran paksa, namun memberi lampu hijau kepada militer untuk melaksanakan tindakan itu jika dianggap perlu.
Berdasarkan laporan media setempat, ini adalah putusan yudisial terbesar terkait pengusiran warga Palestina dari rumah mereka sejak Israel menduduki wilayah tersebut saat Perang Arab-Israel pada 1967 lampau.
Baca juga:
Baca Juga: Bentrokan Antara Warga Palestina dan Polisi Israel di Kompleks Masjid Al-Aqsa
- Memahami konflik Palestina-Israel berusia 100 tahun
- Bentrokan berlanjut di kompleks Masjid al-Aqsa, Liga Arab desak ibadah Yahudi di kompleks diakhiri
- Israel usir keluarga Palestina di Yerusalem Timur
Kasus Masafer Yatta telah bergulir selama 20 tahun di pengadilan, yang memperhadapkan sekelompok petani Palestina dan Angkatan Bersenjata Israel.
Warga Palestina mengeklaim, mereka telah tinggal di kawasan itu selama berpuluh-puluh tahun, sedangkan pihak militer menuding warga yang bermukim di sana merupakan bagian dari "migrasi musiman" setelah kawasan tersebut dinyatakan sebagai zona tembak.
Pengadilan kemudian memutuskan secara bulat bahwa warga Palestina di Masafer Yatta gagal membuktikan mereka telah bermukim di desa-desa tersebut sebagai warga permanen, sebelum militer mendirikan kamp latihan pada awal 1980-an.
Pada proses persidangan, kuasa hukum para warga Palestina berargumen bahwa menurut Konvensi Jenewa, adalah ilegal untuk mengambil alih lahan yang diduduki untuk kepentingan tidak berfaedah bagi pemukim. Ilegal pula mengusir paksa penduduk lokal dari kawasan yang diduduki saat perang.
Akan tetapi, para hakim Mahkamah Agung Israel menolak bahwa pelarangan pengusiran paksa yang ditetapkan dalam hukum internasional adalah "kelaziman dan mengikat". Para hakim justru menyebut ketetapan itu adalah "norma sebuah kesepakatan" yang tidak bisa dijalankan dalam pengadilan sebuah negara.
Baca Juga: Menlu Rusia Sebut Adolf Hitler Keturunan Yahudi, Vladimir Putin Minta Maaf ke Israel
Para pengacara warga Palestina menolak putusan pengadilan seraya menyebutnya sebagai pengabaian hak warga atas tanah.
"Ini adalah bukti legal bahwa mereka yang tanahnya diduduki tidak bisa mengharapkan keadilan dari pengadilan kaum yang menduduki," kata kelompok pembela hak sipil B'Tsele.
Militer Israel berkeras bahwa zona tembak yang mencakup desa-desa di Masafer Yatta adalah lokasi penting bagi pelatihan militer lantaran memiliki elemen unik geografis.
"Zona tembak ini menjadi penting bagi Angkatan Bersenjata Israel karena area ini memiliki karakter topografi unik, yang memungkinkan dijalankannya metode pelatihan spesifik bagi susunan pasukan kecil hingga besar, dari regu hingga batalion," dalih miliiter Israel dalam persidangan.
Putusan ini diumumkan pada malam perayaan Hari Kemerdekaan Israel, yang disebut warga Palestina dengan istilah 'Naqba'salah satu hari terkelam bagi rakyat Palestina karena eksodus besar-besaran yang mereka alami setelah negara Israel diciptakan pada 1948.
Warga Palestina hidup memprihatinkan
Sebagaimana dilaporkan harian the Times of Israel, di kawasan Masafer Yatta, terdapat delapan desa Palestina, sebagian besar dihuni warga miskin.
Penduduknya, lanjut harian itu, bekerja sebagai gembala dan peternak kambing serta domba di perbukitan.
Baca juga:
- Israel digolongkan sebagai negara apartheid oleh Amnesty
- Orang Yahudi menyamar sebagai Muslim agar bisa beribadah di kompleks al-Aqsa
- Bagaimana rasanya hidup di Jalur Gaza?
Surat kabar tersebut melaporkan, penduduk Palestina di sana hidup dengan kondisi memprihatinkan dan terus waspada sejak aparat Israel tidak mengizinkan mereka membangun apapun karena kawasan itu dipersengketakan.
"Karena hampir semua pembangunan dianggap ilegal, aparat Israel rutin merobohkan rumah, memutus kabel listrik dan pipa yang dipakai untuk mengalirkan air ke desa-desa di bagian atas perbukitan," sebut harian itu.
Sengketa atas kawasan itu bermula pada 1999, tatkala militer Israel menerbitkan surat perintah pengusiran. Warga Palestina lantas naik banding ke Mahkamah Agung dan kasusnya terus bergulir hingga putusan dirilis pada Rabu (04/05), kemarin.
Zona pelatihan militer Israel
Hampir 20% dari kawasan Tepi Barat ditetapkan sebagai "zona tembak" atau kawasan pelatihan militer sejak Israel menduduki area tersebut, menurut data resmi.
Dokumen arsip yang diperlihatkan surat kabar Israel, Haaretz, mengungkap bahwa dalam rapat pemerintah Israel pada 1981, Ariel Sharon yang saat itu menjabat sebagai menteri pertanian (belakangan menjadi perdana Menteri Israel) mengusulkan agar zona tembak diciptakan dengan niat membatasi akses warga Palestina ke berbagai kawasan.
Sharon menjelaskan dirinya ingin militer menggunakan lahan itu karena "ekspansi penduduk desa Arab", menurut dokumen resmi yang disebarluaskan harian Haaretz.
"Saya ingin memberitahu para perwakilan Staf Umum bahwa kami ingin menawarkan penambahan kawasan pelatihan. Kawasan pelatihan tambahan di perbatasan, antara dasar Perbukitan Hebron dan Gurun Yudea harus ditutup oleh karenanya; ekspansi para penduduk desa Arab di lereng pegunungan menuju gurun," sebut Sharon dalam dokumen resmi yang memaparkan isi rapat pemerintah Israel pada 1981.
"Kami berkepentingan dalam memperluas dan melebarkan zona tembak demi mempertahankan area-area ini, yang sangat vital, tetap berada di tangan kita," tambah Sharon dalam rapat tersebut.
Berkas-berkas mengenai rapat pada 1981 itu telah dikirim ke Mahkamah Agung Israel dalam proses persidangan kasus Masafer Yatta.