Bagaimana Nasib Perjanjian Nuklir Iran?

Jum'at, 06 Mei 2022 | 10:05 WIB
Bagaimana Nasib Perjanjian Nuklir Iran?
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Diplomat barat sudah kehilangan harapan akan kembalinya Perjanjian Nuklir Iran. Eropa dan AS kini harus mencari cara baru membatasi kemampuan Iran mengembangkan bom atom tanpa memprovokasi perang terbuka.

Meski belum sepenuhnya menyerah, kalangan diplomat Eropa dan Amerika Serikat meyakini Perjanjian Nuklir Iran tidak lagi bisa diselamatkan.

"Mereka tidak lantas mencabut infus dari lengan pasien, tapi saya merasakan rendahnya tingkat ekspektasi terhadap perkembangan yang positif," kata seorang sumber Reuters yang menolak disebut namanya.

Sentimen senada disuarakan empat diplomat lain. Kesepakatan dengan Iran nyaris tercapai Maret silam. Namun perjanjian itu urung ditandatangani menyusul tuntutan dadakan dari Rusia terkait pembebasan sanksi dan permintaan Teheran agar AS mengeluarkan Garda Revolusi (IRGC) dari Daftar Organisasi Teroris (FTO).

Baca Juga: Iran Didesak Buat Keputusan Soal Perjanjian Nuklir

Namun ketika AS dan Eropa menyepakati koridor dagang antara Iran dan Rusia, tuntutan Iran terkait IRGC dianggap sulit untuk dikabulkan, terutama besarnya sikap antipati parlemen AS terhadap pasukan elit Iran tersebut.

Dengan pemilihan Kongres dan Senat pada 8 November mendatang, Presiden Joe Biden diyakini tidak akan mempertaruhkan dukungan bagi Partai Demokrat dengan mencabut status organisasi teror terhadap IRGC.

Saling lempar tuntutan

Biden menegaskan jika Iran ingin agar Washington mengabulkan kepentingannya di luar Perjanjian Nuklir 2015, maka ia harus melakukan hal serupa terhadap kepentingan AS.

"Jika mereka tidak siap mencabut tuntutan tersebut dan mendesak pencabutan FTO, serta menolak menghormati kekhawatiran kita di luar isu Perjanjian Nuklir, maka ya, kita akan mampu mencari kesepakatan yang mungkin tidak akan tercapai," kata seorang pejabat senior AS kepada Reuters.

Baca Juga: Amerika Serikat Klaim Masih Anggota Perjanjian Nuklir Iran, Rusia: Konyol!

"Apakah perjanjiannya sudah mati? Kita belum tahu dan sejujurnya, kami tidak yakin Iran mengetahuinya juga," imbuhnya.

Sejauh ini, pemerintah di Teheran menolak mengendurkan tuntutannya agar AS mencabut status teroris terhadap IRGC.

"Hal ini adalah garis merah bagi kami dan kami tidak akan mengalah," kata seorang pejabat keamanan Iran. Kedua pihak enggan mengakui betapa putaran negosiasi di Wina, Austria, telah gagal. Menurut seorang diplomat barat, Washington masih berharap Teheran akan mencabut tuntutannya terkait status IRGC.

"Tidak satu pihak pun berani mengatakan cukup," kata dia. "Apakah situasi ini akan terus berlanjut tanpa satu pihak pun mengaku bahwa semuanya sudah berakhir? Mungkin saja," tuturnya.

Kegagalan Perjanjian Nuklir 2015 akan membebaskan Iran melanjutkan program nuklirnya. AS meyakini, Iran hanya membutuhkan beberapa pekan untuk memproduksi jumlah materi yang cukup untuk membuat bom nuklir.

Tuduhan ini selalu dibantah pemerintah di Teheran. Tanpa rencana alternatif Kegagalan Perjanjian Nuklir 2015 menyisakan opsi militer bagi Amerika Serikat atau Israel untuk menghentikan progam atom Iran. Dalam hal ini, pembangkit nuklir Natanz dan sejumlah situs lain bisa menjadi sasaran serangan militer.

Skenario itu sudah diantisipasi oleh Iran. Akhir April lalu, pemerintah memindahkan mesin pemutar uranium atau sentrifuga dari pembangkit di Karaj ke kompleks bawah tanah di Natanz, klaim Organisasi Energi Nuklir Iran, Jumat (29/4).

Pemindahan itu dilakukan untuk menangkal "serangan teror" terhadap fasilitas nuklir Iran.

"Menyusul operasi teroris terhadap kompleks TESA Karaj, kami memperkuat keamanan dan memindahkan sejumlah besar mesin sentrifuga ke lokasi yang lebih aman," kata Behrouz Kamalvandi, juru bicara badan atom Iran.

Dia menuduh "operasi jahat" oleh Israel bertanggungjawab atas kerusakan di fasilitas nuklir Iran. Israel sejak awal menolak Perjanjian Nuklir Iran lantaran mengkhawatirkan ambisi militer Teheran di kawasan, termasuk ancaman pemusnahan Israel.

Pekan lalu, Gedung Putih menerima undangan bagi Presiden Joe Biden ke Israel, antara lain untuk membahas kesepakatan nuklir.

"Saya yakin Presiden Biden, yang merupakan teman dekat Israel dan peduli terhadap keamanannya, tidak akan mengizinkan pencabutan IRGC dari daftar organisasi teror," kata Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett, kepada media-media lokal.

"Israel sudah menegaskan sikapnya terkait isu ini. Bahwa IRGC adalah organisasi teror terbesar di dunia." rzn/yf (rtr,ap,dp)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI