Suara.com - Jerman sepakat mengirimkan persenjataan berat ke Ukraina untuk melawan invasi Rusia. Proses menuju apa yang disebut sebagai "pergantian era" itu tidak mudah karena kuatnya tradisi pasifisme. Analisa oleh Sabine Kinkartz
Kanselir Jerman, Olaf Scholz, sedang berada di Jepang ketika di Berlin parlemen bermufakat untuk mengirimkan senjata berat kepada Ukraina, Kamis (28/4).
Tahun ini Jerman memegang kursi kepresidenan kelompok negara maju G7. Kunjungan ke negara-negara anggota merupakan kewajiban protokoler yang sudah direncanakan sejak lama. Namun begitu, ketidakhadiran sang kanselir mendulang kritik.
Sebuah "pidato kenegaraan" oleh Scholz dianggap "sebuah keharusan," kata anggota fraksi Uni Kristen Demokrat dan Uni Kristen Sosial Jerman (CDU/CSU), Johann Wadephul.
Beberapa hari silam dia menuduh kanselir Jerman "ikut bertanggungjawab atas ketidakberdayaan Ukraina."
Oleh kelompok oposisi, Scholz dituduh mengabaikan perdebatan soal pengiriman senjata berat kepada Ukraina selama berpekan-pekan.
"Perilakunya itu menandakan keraguan, kebimbangan dan rasa takut," kata Ketua Umum CDU, Friedrich Merz.
Tradisi pasifisme di Partai Sosial Demokrat
Apakah kritik Merz beralasan? Nyatanya kerumitan mewarnai proses politik yang digagas Scholz dua bulan lalu, ketika dia mengusulkan "pergantian era" dalam kebijakan luar negeri Jerman, termasuk di dalamnya adalah pengiriman senjata kepada Ukraina dan alokasi anggaran khusus bagi militer Jerman senilai 100 miliar Euro.
Baca Juga: Jerman Mau Setop Impor Minyak Rusia, Polandia Beri Dukungan Penuh
Untuk memahami kerumitan politik di baliknya, kita perlu mengurai ideologi politik Partai Sosial Demokrat-SPD, partai sang kanselir.