Gelombang Panas di India: Pengalaman Mahasiswi RI Terkena Sengatan Panas

SiswantoBBC Suara.Com
Selasa, 03 Mei 2022 | 07:15 WIB
Gelombang Panas di India: Pengalaman Mahasiswi RI Terkena Sengatan Panas
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seorang mahasiswi Indonesia di India mengatakan sempat terkena heatstroke atau sengatan panas di tengah gelombang panas yang melanda setengah dari negara itu. Pemerintah India mengatakan gelombang panas dengan suhu mencapai lebih dari 45 drajat Celsius, mempengaruhi jutaan orang.

Anggy Eka Pratiwi, mahasiswi doktoral di Jodphur, Rajahsthan mengatakan dalam bulan puasa ini, ia sempat keluar pada siang hari dan "baru dua kali melangkah ke luar, tenggorokan langsung kering."

Badan Meteorologi India memperingatkan suhu udara akan naik di sebagian negara bagian dalam lima hari ke depan. Suhu udara mencapai 51 drajat Celsius di kota Phalodi, sekitar dua jam dari Jodphur, Rajashthan pada Kamis (28/04), rekor terpanas yang pernah tercatat di India.

"Sebagai orang Indonesia saya tak kuat. Saat itu pas puasa dan saya keluar ambil buku, sekitar 500 meter saja dari tempat saya tinggal. Saya kembali dan pusing, tidak hilang dan malah sering buang air...setelah tiga hari ke dokter dan diberitahu ini efek dehidrasi dan heatstroke dan disarankan untuk tidak berpuasa dulu. Disarankan tidak keluar rumah selama seminggu," cerita Anggy kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin.

Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Kini India Lebih Sering Alami Gelombang Panas

Anggy mengatakan situasi di kota sangat sepi pada siang hari dan pihak kampus menyarankan para mahasiswa untuk tidak keluar rumah dari pukul 12:00 siang sampai 17:00 sore.

"Selain udara yang panas, anginnya juga panas banget. Saat keluar saya pakai payung, topi, penutup muka. Kering banget, keringat langsung hilang," cerita Anggy.

Mahasiswi doktoral computer engineering ini baru setahun berada di Rajashthan. Ia mengatakan tahun lalu udara sudah mencapai 41C sampai 45C namun tidak sekering seperti sekarang.

Anggy juga mengatakan banyak bangunan di Rajashtan disiapkan untuk menangkal panas dengan bahan bangunan dari batu, bukan bata bata, sehingga dapat mengurangi panas sekitar 10C.

Kepala fungsi Penerangan Sosial Budaya, KBRI Delhi, Hanafi mengatakan panasnya udara mencapai 45C biasanya terjadi pada bulan Juni, namun tahun ini datang lebih cepat.

Baca Juga: Waspada Banjir dan Gelombang Panas, WMO: Cuaca Ekstrem adalah Normal Baru

Tingginya suhu udara - yang dimulai pada Maret lalu - juga menyebabkan naiknya kebutuhan listrik dan menimbulkan kekhawatiran kekurangan batubara dan semakin seringnya mati listrik.

Pemerintah India memperingatkan rumah sakit-rumah sakit dan jaringan kereta akan segera terdampak.

Tingginya suhu udara diperparah dengan kurangnya curah hujan. Maret lalu tercatat sebagai bulan terpanas di India sejak 122 tahun lalu.

Perdana Menteri Narendra Modi kepada para menteri kepala Rabu (27/04) lalu mengatakan, "suhu udara meningkat cepat dan naik jauh lebih cepat dibandingkan biasanya."

Gelombang panas sering terjadi di India, khususnya pada bulan Mei dan Juni. Namun musim panas mulai jauh lebih awal dengan meningkatnya suhu udara pada Maret lalu.

Pusat kajian Sains dan Lingkungan mengatakan gelombang panas yang terjadi lebih awal melanda sekitar 15 negara bagian, termasuk di utara Himachal Pradesh yang dikenal dengan suhu udara yang segar.

Minggu ini, suhu udara di Delhi diperkirakan melebihi 44C.

Naresh Kumar, seorang ilmuwan senior di Badan Meteorologi India mengatakan gelombang panas saat ini karena faktor atmosfir setempat.

Salah satu penyebab utama adalah lemahnya gangguan dari arah barat - badai yang berasal dari kawasan Laut Tengah yang menyebabkan rendahnya curah hujan di bagian barat daya dan India tengah. senior scientist at IMD, attributes the current heatwave to local atmospheric factors.

Efeknya sangat terasa. Para petani mengatakan suhu udara yang tak terduga ini mempengaruhi panen gandum mereka yang juga akan berdampak secara global di tengah gangguan karena Perang Ukraina.

Gelombang panas juga memicu tingginya permintaan listrik dan menyebabkan mati listrik di sejumlah negara bagian dan kekhawatiran kurangnya pasokan batubara.

PM Modi juga menyatakan risiko kebakaran karena tingginya suhu udara.

Musim panas biasanya memang diwarnai suhu yang menyengat di banyak wilayah India, khususnya di utara dan tengah. AC dan kipas angin dengan air pendingin terjual keras. Namun penduduk juga menciptakan cara sendiri melawan panas termasuk dengan membalur badan dengan mangga untuk mencegah heatstroke.

Banyak pakar di India mengatakan gelombang panas lebih sering terjadi dan lebih lama.

Roxy Mathew Koll, ilmuwan iklim di Institut Meteorology Tropis mengatakan kepada wartawan BBC di Delhi, Sharanya Hrishikesh, sejumlah faktor atmosfir menyebabkan gelombang panas saat ini. Namun ia mengingatkan adanya pemanasan global.

"Inilah penyebab gelombang panas," katanya dan menambahkan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengaitkan perubahan iklim ke fluktuasi cuaca.


D Sivananda Pai, direktur Studi Perubahan Iklim merujuk ke tantangan lain selain perubahan iklim, termasuk meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan sumber daya.

Hal ini, kata Pai, menyebabkan situasi yang bertambah parah, seperti penggundulan hutan dan peningkatan transportasi.

"Bila semakin banyak gedung dan jalan dari beton, panas terperangkap di dalam dan tak bisa naik ke permukaan. Ini menyebabkan udara memanas," kata Pai juga kepada Sharanya Hrishikesh, wartawan BBC di Delhi.

Dampak cuaca ekstrem ini paling dirasakan penduduk miskin.

"Orang miskin tak punya fasilitas untuk menahan panas karena tak bisa terus di dalam (rumah) bagi yang tak punya rumah untuk menahan panas," kata Dr Chandni Singh, peneliti senior Institute India untuk Permukiman.

Selain memperhatikan penduduk miskin, Singh mengatakan pemerintah harus memperhatikan kualitas hidup rakyat.

"Gelombang panas dapat berdampak buruk pada kesehatan. Bila suku tetap tinggi pada malam hari, badan tidak bisa beristirahat, sehingga meningkatkan kemungkinan sakit dan tingginya biaya untuk fasilitas kesehatan," katanya.

Sejak 2015, pemerintah federal dan negara bagian mengeluarkan sejumlah langkah untuk mengatasi dampak gelombang panas, seperti melarang orang bekerja di luar ketika suhu udara sangat tinggi.

Namun langkah ini baru efektif bila undang-undang perburuhan dirombak, kata Singh.

"Gedung-gedung di sini dibangun sedemikian rupa sehingga menyimpan panas dan bukannya menjamin adanya ventilasi. Banyak inovasi di dunia internasional yang bisa kami pelajari," katanya.

"Kami telah melakukan sejumlah hal yang benar tapi sejumlah hal lain harus ditingkatkan karena saat ini kami tinggal di tengah suhu panas," tutupnya.


You may also be interested in:


BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI