Suara.com - Dua jurnalis Ukraina, Evgeniy Maloletka dan Mstyslav Chernov, mendapat penghargaan DW Freedom Speech Award atas pemberitaan perang di kota Mariupol, di mana mereka mendokumentasikan taktik bumi hangus militer Rusia.
Ketika Evgeniy Maloletka dan Msytyslav Chernov memasuki kota Mariupol di pesisir Laut Azov pada 24 Februari lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin, baru saja tampil di televisi utuk membacakan deklarasi perang terhadap Ukraina.
Keduanya adalah wartawan kawakan Ukraina. Maloletka dikenal lewat karya fotonya di berbagai kantor berita internasional, sementara Chernov bekerja sebagai jurnalis video untuk kantor berita AS, Associated Press.
Seusai pengumuman invasi, "kami menyadari bahwa mereka akan berusaha membuka koridor menuju Krim melalui Mariupol dan sebabnya akan berusaha menduduki kota,” kata Maloletka kepada DW.
Baca Juga: Perang Ukraina: Warga Sipil Mariupol Dievakuasi dari Bunker Pabrik Baja
Kendati begitu tidak ada yang menyangka "Rusia akan berhasil menerobos pertahanan di timur Kherson dan dengan cepat mengepung Mariupol,” imbuhnya lagi.
Bersama-sama, mereka mendokumentasikan situasi di Mariupol selama berada di bawah kepungan. Dia mengisahkan betapa "peluru berterbangan,” di penjuru kota.
Namun selama ada bagian kota yang aman, warga akan kembali bekerja dan beraktivitas seperti biasa.
"Bom-bom Rusia berjatuhan secara acak,” ujar Maloletka.
Keduanya baru bisa keluar dari Mariupol pada 15 Maret silam, ketika Rusia mengabulkan pembukaan koridor kemanusiaan untuk evakuasi warga sipil.
Baca Juga: Pasukan Amerika Serikat Melatih Tentara Ukraina di Jerman
Perang benamkan kemanusiaan
Serangan bertubi-tubi Rusia sepanjang bulan Maret mendesak tentara Ukraina hingga ke pusat kota. "Militer memindahkan garis pertahanan ke dalam kota karena tidak lagi mungkin mempertahankan posisi di ladang-ladang terbuka di pinggir kota” kata dia.
"Korban jiwa dikuburkan di halaman belakang. Awalnya jumlahnya tidak banyak,” ujarnya.
Tapi ketika warga sipil terus berguguran, tim penyelamat terpaksa menggali kuburan massal, yang "membentang sepanjang 30 meter, dengan dalam tiga meter.”
"Ke sana lah mayat-mayat dari semua rumah sakit dibawa. Pun perusahaan jasa pemakaman memindahkan jenazah dari halaman rumah ke kuburan massal,” tutur Maloletka.
Ketika bom Rusia menghantam sebuah klinik bersalin pada 9 Maret silam, kedua wartawan kebetulan berada di dekat lokasi kejadian. Namun
tidak lama berselang, "tank-tank Rusia berdatangan. Kami bersembunyi sepanjang hari di dalam rumah sakit dengan menyamar sebagai dokter sembari mengambil gambar."
Evakuasi dari Mariupol
Pada pagi hari tanggal 12 Maret, sekelompok pasukan elit Ukraina berhasil menerobos masuk dan menyelamatkan kedua jurnalis.
Tiga hari kemudian, semua warga sipil diizinkan meninggalkan kota melalui sebuah jalan yang sudah dikosongkan militer Rusia.
Gambar-gambar mereka mengejutkan dunia, dan menjadi indikasi pertama kejahatan perang di Ukraina. Bagi Moaloletka dan Chenov, "sangat sulit untuk melupakan kematian anak-anak. Semua anak yang dibawa ke rumah sakit dan kemudian kami foto sudah meninggal dunia. Di antarnya anak-anak berusia 15 tahun, tapi juga bayi berusia tiga bulan. Mereka semua menjadi korban pengeboman Rusia.”
Menurut Kejaksaan Agung Ukraina, setidaknya 18 wartawan tewas terbunuh sejak dimulainya invasi Rusia.
Delapan wartawan lain masih disandera, sementara tiga jurnalis dikabarkan hilang. Deutsche Welle memberikan penghargaan Freedom of Speech Award sejak 2015 kepada wartawan atau proyek jurnalistik yang berjasa memajukan isu perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat di media.
Adaptasi dari Bahasa Ukraina oleh Markian Ostaptschuk (rzn/yf)