Suara.com - Setiap kali memasuki bulan Ramadhan, Patimat Omarova, selalu membayangkan dan mengenang apa yang dia alami saat kuliah selama lima tahun di Indonesia, termasuk "ikut tarawih dan mengaji bersama teman-teman di masjid", sesuatu yang tak pernah ia alami sebelumnya di tempat asalnya, Dagestan, Rusia.
Sejak kembali dari Indonesia pada 2016, Patimat mengatakan ia tidak pernah lagi tarawih di masjid dan "sangat rindu pengalaman bisa berkumpul dengan teman-teman perempuan, perasaan bebas dan senang."
"Pengalaman waktu tarawih di Malang, itu yang paling indah buat saya, setelah iftar (buka puasa) kami salat, ke masjid bersama...Salawat bersama dengan perempuan dan laki-laki. Kalau di kota saya, laki-laki jauh dari perempuan, kami tak bisa lihat." cerita Patimah yang tinggal di kota Kizlyar, sekitar tiga jam berkendara dari ibu kota Republik Dagestan, Makhachkala.
Bahasa Indonesianya masih lancar walau mengaku kagok karena jarang dipakai dalam enam tahun terakhir.
Baca Juga: Apakah Malam Lailatul Qadar Datang di 27 Ramadhan? Ini Penjelasan Ulama
"Di sini, kalau tarawih hanya perempuan tua saja, ibu-ibu, nenek-nenek yang ikut tarawih. Yang cewek (perempuan muda) jarang keluar ke masjid. Tarawih di Indonesia yang paling indah, semoga saya bisa ke sana lagi saat Ramadhan," cerita Patimat kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin, melalui sambungan video.
"Cuma di rumah," kata Patimat ketika ditanya di mana ia melakukan tarawih selama ini.
"Tradisi di sini, perempuan tidak boleh keluar (sendiri), itu alasannya. Kalau di Indonesia, mereka memudahkan untuk perempuan. Tidak ada larangan untuk perempuan," kata Patimat lagi. Ia menunjukkan foto-foto saat di Malang bersama rekan-rekannya sebelum salat tarawih di masjid.
Ketika Idulfitri tiba, salat berjemaah hari raya di masjid juga tak pernah ia alami sebelum ke Indonesia untuk kuliah melalui beasiswa pada 2011.
"Saya pernah lima kali salat Idulfitri, Iduladha, ketika lima tahun di Indonesia. Itu juga indah sekali. Di Dagestan, yang perempuan salat di rumah, yang laki saja yang ke masjid," kata lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Baca Juga: Ramadhan dan Mereka yang 'Tak' Berpuasa
Baca juga:
- Cerita mualaf dan ketua muslimah Ukraina: 'Ramadan kali ini sangat memilukan, agama menguatkan kami'
- 'Kami tak bisa memaksa orang bermasker' - 'Normalisasi' aktivitas Ramadan di masjid dan bayang-bayang penularan Covid
- Ramadan keempat mualaf Jepang: 'Cowok biasa' dulu sekuler sekarang punya 'tujuan hidup'
Di Kazan, Farkhad Abdulin, yang kuliah di fakultas yang sama dengan Patimat di Malang, mengatakan tradisi serupa juga dilakukan di kawasan Republik Tatarstan itu. Biasanya ia ke masjid bersama teman-teman laki-lakinya sementara istrinya beribadah di rumah.
Ditanya tentang apa yang ia ingat ketika kuliah, Farkhad menyebut keunikan di Indonesia saat Ramadhan yang tidak ada di kotanya adalah "teriakan saur."
"Suasana Ramadhan di negara saya agak beda dengan Ramadan di Indonesia. Tapi datangnya bulan puasa sangat terasa di sini. Di Indonesia, biasanya ada pasar, terus orang teriak saur-saur, pagi pagi orang teriak di jalan. Kalau di tempat saya tidak ada seperti itu."
"Masjid yang selalu terbuka di Indonesia"
Gadji Omarov, adik Patimat yang tinggal dan bekerja di ibu kota Rusia, Moskow lebih mengingat "masjid-masjid yang selalu dibuka", tanpa penjagaan keamaman.
"Yang saya paling suka, itu masjid tak pernah tutup dan tak pernah sepi. Setiap hari, 24 jam mesti ada mahasiswa yang ngaji baca Al-Qur'an. Masjidnya itu bagus, keren. (Di Indonesia), kalau nggak ada masjid (di suatu tempat), pasti ada musolanya. Soal salat nggak masalah sama sekali," cerita Gadji.
Jarangnya masjid di Moskow dan letaknya yang jauh dari tempat tinggalnya, membuat Gadji harus meminta izin kerja bila ingin beribadah di masjid.
"Kalau boleh jujur setelah melihat masjid-masjid di Indonesia, masjid di Rusia gimana gitu bedanya. Ada face control,(pemeriksaan dengan pengenalan wajah). Tempat wudu agak jauh dari masjid. Di dalam masjid suasanya gimana gitu lo. Kalau di Indonesia, masjidnya begitu masuk... seperti kamu di surga gitu, enak," ceritanya penuh semangat mengingat lima tahun kuliah di Malang.
Kuliah di Indonesia adalah pengalaman pertama ke luar negeri bagi ketiganya, pengalaman yang menurut mereka sangat membekas dengan ilmu yang mereka bawa dan dapat diterapkan sampai kembali ke Rusia pada 2016.
Ketiganya menceritakan suasana Ramadhan di kota masing-masing sambil menekankan "sangat rindu" Indonesia dengan kerinduan berbeda.
Ketiganya fasih berbahasa Indonesia, dengan Gadji yang mengklaim bisa menggunakan bahasa Jawa.
Ramadhan di Kazan, Dagestan dan Moskow
Menurut data dari World Population Review, Kajian Penduduk Dunia, jumlah Muslim di Rusia terbesar kedua setelah Kristen Ortodoks dengan pemeluk Islam mencapai lebih dari 20 juta jiwa, atau sekitar 13,5% dari 145 juta jiwa penduduk.
Dagestan termasuk salah satu dari sejumlah republik di Rusia dengan penduduk Islam yang cukup besar. Republik lain termasuk Tatarstan, Chechnya dan Bashkortostan.
Di republik-republik dengan penduduk Islam cukup besar, suasana bulan puasa sangat terasa. Seperti di Kazan, ibu kota Tatarstan, setiap tahun diselenggarakan "buka puasa republik" yang diselenggarakan presiden.
"Biasanya sangat ramai, orang-orang kumpul untuk buka puasa, salat magrib dan tarawih. Para duta besar dan tamu asing juga diundang," kata Farkhad.
Selain acara buka puasa besar itu, "masjid-masjid juga dibuka untuk buka puasa selain juga ada tenda-tenda Ramadhan yang juga menawarkan buka puasa untuk penduduk setempat."
Farkhad - yang kini bekerja di Asosiasi Bisnis Syariat Internasional - mengatakan suasana yang ia sebut sama dengan Indonesia adalah "acara kumpul keluarga untuk buka puasa bersama dan mengunjungi orang tua secara rutin."
Di ibu kota Dagestan, Makhachkala, banyak orang yang berlomba memberikan minuman atau makanan untuk berbuka, cerita Gadji Omarov.
"Kebanyakan orang di Dagestan, pas mau buka puasa, mereka berdiri di pinggir jalan, mereka kasih air, makanan untuk orang yang lewat, gratis untuk buka puasa. Di masjid, setiap bulan puasa, ada orang yang masak makanan, masakan grátis," kata Gadji yang tahun ini merasakan bulan puasa di Moskow, jauh dari keluarganya.
"Mendekati hari raya, kota sepi, karena semua orang pulang ke kampung masing-masing. Jalan keluar kota macet," tambahnya.
Sementara di Kizlyar, tempat Patimat tinggal bersama suami dan seorang putranya, hari-hari di bulan Ramadan lebih banyak ia isi di rumah untuk beribadah selain menyiapkan makanan saur dan buka puasa.
"Tak ada masakan khusus yang saya sediakan, termasuk untuk Idulfitri. Yang selalu kami sediakan di meja untuk hari raya biasanya berbagai kue dan permen," cerita Patimat.
Tetapi di ibu kota Rusia, "sebagian besar orang di sekitar yang tetap makan minum" merupakan tantangan baru bagi Gadji Omarov.
"Tidak terasa bulan puasa di sini karena kebanyakan penduduknya Kristen. Namun tak masalah, saya tetap puasa. Masjid juga agak jauh dari tempat saya, tapi saya berusaha seminggu sekali atau dua kali ke masjid untuk tarawih."
Dengan masjid yang terbatas jumlahnya, Gadji mengatakan ia tarawih bersama teman-teman Muslim yang tinggal bersama.
"Lumayan ramai, lima sampai 10 orang. Tapi kalau saya izin kerja, saya ke masjid, sekalian buka puasa dan tarawih," cerita Gadji.
Syariat, cara komunikasi sampai "kebiasaan terlambat"
Sebelum 2011, mereka tak pernah mendengar dan mengetahui apapun tentang Indonesia.
"Saya ambil peta dunia dan saya lihat lokasi Indonesia. Rasanya gimana ya, nggak bisa saya ceritakan, senang sekali. Nggak paham bahasa Indonesia blas, tapi tiga bulan saya sudah bisa ngomong bahasa Indonesia. Saya jatuh cinta dengan budaya, bahasa dan orang-orangnya," kata Gadji mengenang perjalanannya ke Indonesia pada 2011.
Lima tahun kuliah di Jawa Timur, kata mereka, banyak yang bermanfaat untuk diterapkan dalam pekerjaan sekarang.
"Yang saya pelajari dari kuliah di Indonesia dan sangat berguna karena saya sekarang bekerja di Asosiasi Bisnis Syariat Internasional dan saya menerapkan ilmu yang saya peroleh di Indonesia. Indonesia adalah negara asing pertama yang saya kunjungi dan sudah jadi negara impian bagi saya. Sejak waktu itu, saya jatuh cinta pada Indonesia."
"Bagi saya Indonesia adalah negara terindah dengan makanan lezat dan kebudayaan luar biasa. Bagian terbaik dari Indonesia adalah orang-orangnya. Karena mereka sangat ramah dan saya masih ingat setiap kali saya ke mana-mana di Indonesia, saya selalu mendapatkan senyuman dan diterima dengan baik," tambah Farkhad.
Bagi Patimat, pergaulan dengan teman-temannya serta diskusi dengan para dosen, menjadi panduannya dalam berkomunikasi, dan elemen kunci dalam pekerjaannya saat ini di pusat dokumentasi pemerintah.
"Cara berbicara dengan orang lain, orang Indonesia ramah dan selalu ingin bantu orang lain, ini yang membantu saya berkomunikasi secara lebih baik," kata Patimat menyebut pengalaman ini sangat membantunya "berbicara dengan klien setiap hari."
Kesempatan untuk bisa ke masjid di Indonesia, ia katakan menjadikannya, "muslimah yang lebih baik karena saya bisa sering ke masjid juga dan sering berdikusi dengan para ustadzah."
Sementara bagi Gadji, kebiasaan "chatting dan telponan" dengan teman-teman di Malang masih dia lakukan sampai sekarang.
"Saya jadi seperti orang Indonesia juga, ramah," katanya terkekeh dan menambahkan "kebiasaan terlambat juga dibawanya ke Rusia".
"Kebiasaan orang Indonesia suka terlambat, jadi saya sering terlambat, udah terbiasa. Kalau mulai kerja jam 12:00, saya bilang on the way (dalam perjalanan), padahal saya masih di rumah. Ini sudah terbiasa sejak di Malang, selalu terlambat walaupun orang di sini selalu tepat waktu dan kalau terlambat kena denda. Saya jadi sering cari alasan, kalau telat. Tapi terlambat bagi saya sekarang sudah biasa aja," katanya sambil tergelak.