Suara.com - Juru bicara Satgas Covid-19 menyebut mudik lebaran tahun ini sebagai 'suatu pertaruhan besar' saat situasi pandemi di Indonesia semakin membaik.
Hery Trianto, ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Covid-19, mengatakan pemerintah berharap kemungkinan kenaikan kasus setelah periode mudik tidak begitu besar dan tingkat keparahannya tidak terlalu berat karena sebagian besar masyarakat sudah divaksinasi.
"Ini memang suatu pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia terkait dengan pelaksanaan mudik. Dan kemudian kita lihat apa yang terjadi - apakah akan terjadi kenaikan atau pelandaian seperti sekarang. Semua orang berharap terjadi pelandaian," kata Hery kepada BBC News Indonesia, Rabu (27/04).
Sekitar 80 juta orang diperkirakan akan pulang kampung pada Idulfitri tahun ini, setelah pemerintah untuk pertama kalinya dalam dua tahun membolehkan masyarakat untuk mudik.
Baca Juga: Sebelum Mudik Jangan Lupa Vaksin Booster
Baca juga:
- Wajib vaksin booster untuk mudik lebaran, ahli kesehatan sebut 'tidak realistis dan tidak konsisten'
- Bebas visa kunjungan diberlakukan di tengah penyebaran Covid Omicron XE, pemerintah 'kurang hati-hati'
- Idul Fitri di tengah pandemi 'tidak terasa seperti Lebaran, ada yang hilang’
Langkah tersebut diambil seiring kondisi pandemi di Indonesia semakin terkendali, dengan jumlah kasus dan angka kematian yang terus menurun.
Antisipasi kenaikan kasus
Peningkatan mobilitas selama mudik juga berarti peningkatan risiko penularan, yang dapat berujung pada kenaikan kasus.
Namun kenaikan kasus diharapkan tidak separah tahun-tahun lalu karena sebagian besar masyarakat Indonesia sudah memiliki antibodi - dari infeksi maupun vaksinasi.
Survei serologi yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, dan Tim Pandemi Fakultas Kesehatan Masyarakat UI pada akhir tahun lalu menemukan hampir 90 persen penduduk Indonesia memiliki antibodi terhadap virus SARS-CoV 2, penyebab Covid-19.
Baca Juga: Diprediksi Puncak Arus Mudik, Pelabuhan Gilimanuk Padat Sejak Malam Hingga Pagi
Hery mengatakan, pemerintah mempersiapkan fasilitas kesehatan untuk mengantisipasi kenaikan jumlah kasus setelah mudik.
"Rumah sakit wisma atlet masih siaga, dan tempat-tempat isolasi terpusat maupun tempat-tempat karantina memang untuk sementara ini dihentikan operasionalnya tetapi mereka dalam posisi siaga jika sewaktu-waktu dibutuhkan sebagai tempat karantina atau tempat perawatan atau tempat isolasi pasien-pasien yang tidak bergejala," ujarnya.
Ia menjelaskan terdapat lebih dari 130.000 tempat tidur di rumah sakit di seluruh Indonesia yang bisa digunakan untuk perawatan pasien Covid. Jumlah tersebut adalah 30% dari total tempat tidur di seluruh rumah sakit. Saat ini tingkat keterisiannya kurang dari 4%.
Menurut catatan Satgas, pada puncak gelombang Omicron, ketika jumlah kasus harian mencapai hampir 64.000, tingkat perawatan tidak lebih dari 30%. Sebagai perbandingan, pada puncak gelombang Delta, ketika jumlah kasus harian 56.000, keterisian rumah sakit hampir 100%.
"Ketika nanti kita dihadapkan pada risiko itu ya kita berharap itu tidak terjadi lagi, bahkan lebih rendah. Artinya rumah sakit yang ada sekarang ini masih cukup memadai untuk mengakomodasi kenaikan kasus dan kebutuhan perawatan dari pasien," kata Hery.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono juga memperkirakan bahwa kenaikan kasus setelah lebaran tidak sebesar gelombang-gelombang sebelumnya.
"Kalau sekarang kasusnya ada 500-an, atau 1000-an karena banyak yang tidak terdeteksi, seminggu kemudian akan meningkat 1,5 kali lipat, dan minggu-minggu berikutnya 1,5 kalinya," kata Miko.
"Peningkatan itu memang tidak tinggi, tidak seperti biasanya, tapi tetap saja kalau lama itu akan menimbulkan kasus yang sama."
Namun demikian, ia mengatakan pemerintah jangan sampai mengendorkan surveilans kasus Covid-19, baik itu surveilans aktif berupa penelusuran kontak dan pengurutan genom maupun surveilans pasif berupa tes.
Hal itu supaya pemerintah bisa mendeteksi kenaikan kasus, serta adanya mutasi atau varian baru yang masuk ke Indonesia.
Miko sebetulnya tidak setuju dengan langkah pemerintah meniadakan syarat tes Covid bagi pemudik yang sudah mendapatkan vaksin booster. Menurutnya, antibodi tidak menjamin bebas dari infeksi.
Ia mencontohkan selama gelombang ketiga Januari-Maret 2022, jumlah kasus lebih banyak dari gelombang-gelombang sebelumnya padahal saat itu cakupan vaksinasi nasional untuk dosis pertama sekitar 80%, dosis kedua 70%, dan dosis ketiga 10%. "Tapi itu tidak bisa mencegah gelombang ketiga," ujarnya.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane berpendapat meski mudik kemungkinan besar akan meningkatkan jumlah kasus, namun itu tidak akan sampai menjadi lonjakan gelombang baru.
Menurut Masdalina, lonjakan kasus Covid-19 tidak langsung disebabkan oleh mobilitas, tapi oleh kemunculan variant of concern yang lebih menular.
"Pada kondisi normal pun, bukan mudik atau libur panjang, kasus bisa naik kalau ada variant of concern," ujarnya.
Transisi pandemi ke endemi
Presiden Joko Widodo menganggap relaksasi aturan mudik tahun ini sebagai bagian dari masa transisi pandemi Covid-19 ke endemi, yang akan berlangsung selama enam bulan.
Ia mengatakan pemerintah Indonesia tidak ingin langsung mencabut sama sekali protokol kesehatan seperti pemerintah di sejumlah negara lain.
"Saya tidak ingin kayak negara-negara lain, buka masker. Enggak," kata Presiden Jokowi usai meninjau Sirkuit Formula E di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Senin (25/04).
"Ada tahapan-tahapan yang kita tidak perlu tergesa-gesa. Karena apapun kita punya pengalaman, saat Delta seperti apa, saat Omicron seperti apa, sehingga kehati-hatian, kewaspadaan tetap harus," imbuh Presiden.
Pemudik mengaku masih khawatir tertular
Sebagian masyarakat Indonesia bersiap untuk melakukan mudik pertama mereka dalam dua tahun. Salah satunya adalah Yesie, 30 tahun, yang akan mudik dari Lampung ke Jambi dengan menyewa mobil dan kembali dengan kendaraan umum.
Yesie mengaku masih menyimpan khawatir akan penularan Covid-19 namun di sisi lain merasa sudah punya antibodi.
"Kekhawatiran tertular masih ada walaupun aku sudah vaksin sampai dosis ketiga, dan dulu sudah pernah kena juga. Jadi kalau khawatir tertular itu, bukan khawatir sakitnya akan parah sih," ujarnya.
Jajak pendapat litbang Kompas kepada 506 warga di 34 provinsi menemukan sebagian besar responden menyatakan tidak khawatir akan penularan Covid-19 baik dalam perjalanan maupun saat berkumpul bersama keluarga. Namun sekitar sepertiganya masih khawatir karena menyadari risiko penularan virus corona masih ada.