Suara.com - Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN, Cahyo Pamungkas menilai pemekaran wilayah yang dicanangkan pemerintah pusat tidak akan menyelesaikan permasalahan sosial dan ekonomi di Papua.
Cahyo menjelaskan pemerintah pusat selalu berpandangan bahwa dengan pemekaran wilayah maka akan mendatangkan banyak investasi yang masuk ke Papua, sementara orang asli Papua tidak diberdayakan.
"Masalah di Papua itu tidak hanya bisa diselesaikan dengan uang, berapa pun triliun uang tersebut ke Papua kalau penduduk asli Papua tidak diberdayakan atau tidak memiliki kemandirian maka justru akan membuat mereka akan semakin bergantung," kata Cahyo dalam diskusi Public Virtue, Rabu (27/4/2022).
Menurutnya pemekaran provinsi di Papua ini sangat berbahaya jika terus dilakukan karena penolakan dari orang asli Papua yang merasa tidak dilibatkan dalam kebijakan pemerintah pusat.
Baca Juga: BRIN Desak Mahfud MD Buka Data 82 Persen Rakyat Papua Minta Pemekaran
"Ini sangat berbahaya sekali kalau menganggap uang adalah satu-satunya alat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan atau koflik di Papua," tegasnya.
"Ini justru tidak menghargai dan melecehkan harga diri orang Papua ketika segala sesuatu hanya dinilai dengan uang dan jabatan," sambung Cahyo.
Diketahui, Indonesia akan memiliki tiga provinsi baru yang berada di ujung timur. Oleh karena itu, nantinya akan ada sebanyak 37 provinsi di tanah air.
Regulasi rencana penambahan provinsi telah dimuat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
RUU ini sudah disahkan oleh Badan Legislasi atau Baleg DPR RI pada rapat pleno yang dilaksanakan hari Rabu (6/4). Seluruh fraksi dalam rapat pleno itu sepakat dengan RUU tentang tiga provinsi tersebut.
Baca Juga: Peneliti BRIN Sebut Megawati Tidak Mendukung Pemekaran Daerah di Papua
Sementara, Majelis Rakyat Papua tengah mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke MK dengan nomor perkara 47/PUU-XIX/2021.
MRP menilai norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68 A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).