Suara.com - Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Profesor Cahyo Pamungkas menyebut bahwa Ketua Dewan Pengarah BRIN Megawati Soekarnoputri tidak mendukung pemekaran provinsi di Papua yang tengah diupayakan pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.
Cahyo mengatakan hal itu dikatakan Megawati secara tidak langsung bahkan di depan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beberapa waktu lalu.
"Ibu Megawati sendiri sebenarnya juga secara tidak langsung atau implisit belum mendukung atau tidak mendukung proses pembentukan daerah otonomi baru di Provinsi Papua," kata Cahyo dalam diskusi Public Virtue, Rabu (27/4/2022).
Cahyo merujuk pada pernyataan Megawati saat acara Pembentukan BRIDA pada Rabu (20/4/2022) lalu yang mengatakan bahwa pemekaran tidak akan serta merta menunjukkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
"Pak Tito, mohon maaf, saya melihat adanya seperti stagnasi atau kebingungan bagaimana membangkitkan potensi daerah pada daerah mereka yang sudah berani sampai terjadinya pemekaran," kata Megawati saat itu.
Presiden RI kelima itu meminta pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana ini agar pemekaran provinsi benar-benar berdampak langsung pada masyarakat lokal.
"Bukan mau mengintervensi, bukan, tetapi mem-backup. Kenapa sampai sebuah daerah berani-berani memekarkan diri padahal sudah kah pernah terpikirkan untuk peningkatan PAD-nya?" ujar Mega.
Diketahui, Indonesia akan memiliki tiga provinsi baru yang berada di ujung timur. Oleh karena itu, nantinya akan ada sebanyak 37 provinsi di tanah air.
Regulasi rencana penambahan provinsi telah dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
RUU ini sudah disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI pada rapat pleno yang dilaksanakan hari Rabu (6/4/2022). Seluruh fraksi dalam rapat pleno itu sepakat dengan RUU tentang tiga provinsi tersebut.
Sementara, MRP tengah mengajukan judicial review atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) ke MK dengan nomor perkara 47/PUU-XIX/2021.
MRP menilai norma dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68 A, Pasal 76 dan Pasal 77 UU Otsus Papua melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP).