Suara.com - Pemerintah Indonesia memutuskan melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya mulai Kamis (28/4) sampai harga minyak goreng eceran turun menjadi Rp14.000 per liter.
Tetapi, Ekonom dari Institute for Development and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus meragukan kebijakan itu tidak menjamin bisa langsung menurunkan harga di pasaran dan malah menjadi bumerang bagi petani sawit apabila moratorium ekspor berlangsung dalam waktu lama.
Dibanding menerapkan larangan ekspor, dia mendesak pemerintah dan penegak hukum fokus menindak produsen-produsen minyak goreng besar agar patuh akan kewajibannya memenuhi kuota suplai untuk kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO).
Hal itu dianggap akan lebih efektif dan efisien memenuhi target untuk menjaga suplai dan menurunkan harga.
Baca Juga: Gawat Kali! Minyak Goreng Curah di Medan Masih Bertengger di Atas HET
"Kita kan sudah punya aturan DMO untuk domestik, itu dulu ditegakkan, penegakan hukumnya harus benar-benar dan aturannya harus ditaati setiap produsen," kata Ahmad kepada BBC News Indonesia.
Melalui konferensi pers virtual pada Selasa (26/4) malam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa larangan ekspor berlaku untuk refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein yang merupakan produk turunan minyak sawit mentah sekaligus bahan baku minyak goreng.
Pengumuman itu sekaligus mempertegas bahwa pemerintah tidak melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO), seperti persepsi publik yang muncul usai Presiden Joko Widodo menyebut pemerintah akan melarang "ekspor bahan baku minyak goreng" pada Jumat lalu.
Menurut Airlangga, kebijakan itu diambil lantaran harga minyak goreng curah di Indonesia masih belum mencapai standar harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan data sistem pemantauan pasar dan kebutuhan pokok Kementerian Perdagangan per 25 April 2022, harga rata-rata minyak goreng curah di Indonesia masih di atas Rp17.000 per liter.
"Jangka waktu larangan ekspor sampai minyak goreng menyentuh target 14 ribu secara merata di seluruh Indonesia," kata Airlangga.
Baca juga:
- Korupsi minyak goreng: Pemberian izin di Kemendag kerap 'terjadi di belakang layar'
- Megawati dan Mendag paling banyak tuai sentimen negatif saat bicara soal minyak goreng
- Larangan ekspor minyak goreng 'belum bisa kendalikan harga jangka panjang', kata YLKI
Secara terpisah, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bersama Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mendesak para penegak hukum untuk mengusut secara tuntas aktor-aktor di balik langka dan tingginya harga minyak goreng sejak akhir tahun lalu.
Hal itu mereka sampaikan ketika menyerahkan petisi yang ditandatangani sekitar 14.000 orang sebagai "bentuk dukungan" kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Selasa (26/4) untuk menuntaskan investigasi kasus dugaan kartel minyak goreng.
"Sejak awal kami mengkritik kebijakan DMO, HET, dan segala macam itu tidak akan efektif kalau faktor hulunya tidak dibongkar, dan faktor hulu itu adalah adanya dugaan persaingan tidak sehat berupa kartel," kata Ketua YLKI Tulus Abadi.
'Seolah ingin menangkap tikus, tapi membakar rumah'
Ahmad Heri Firdaus mengatakan kebijakan larangan ekspor RBD pun berpotensi menimbulkan kelebihan bahan baku minyak goreng, sehingga menurunkan harga di tingkat petani. Akhirnya, kebijakan ini disebut justru menjadi bumerang bagi keberlangsungan petani sawit.
"Sedangkan produksi di minyak goreng kan ada kapasitas maksimalnya. Kalau ditambah bahan baku lagi tidak efisien, akibatnya produksinya dikurangi karena tidak boleh ekspor, dan kalau produksi dikurangi akan terjadi pengurangan permintaan bahan baku, sehingga harganya turun di tingkat petani," jelas Ahmad.
Menurut Ahmad, kebijakan ini bukan solusi yang tepat untuk mencapai target pemerintah menurunkan harga dan justru menimbulkan kerugian yang lebih luas.
"Ibarat kita ingin menangkap tikus, tapi dengan membakar rumah. Jadi yang enggak salah juga kena, seperti petani sawit, kan mereka akan berproduksi selama mendapatkan intensif atau keuntungan yang cukup."
"Tapi ketika diintervensi dengan kebijakan yang merugikan mereka kan kasihan, yang gak salah juga kena. Padahal yang tidak taat adalah produsen-produsen besarnya atau bahkan yang tadi tidak memenuhi DMO dan semacamnya," kata dia.
Dia juga mengatakan tidak ada jaminan bahwa larangan ekspor RBD akan membentuk keseimbangan harga dan suplai di pasar.
"Kita harus tahu, sejak ada larangan ekspor RBD, produsen kelapa sawit atau industri turunannya ini dia mau menjadikannya bahan baku minyak goreng atau justru produk lainnya seperti biodiesel atau produk farmasi? Jadi enggak ada jaminan juga untuk pasar minyak goreng," ujar dia.
"Yang perlu diintervensi adalah bagaimana produsen mau menjual CPO-nya untuk menjadi bahan minyak goreng, sehingga pabrik minyak goreng tidak kekurangan bahan baku," kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Gulat Manurung mengatakan kebijakan ini tidak mempengaruhi konsumsi dan harga tandan buah sawit sepanjang uplai yang berlebih bisa dikonversikan ke produk-produk lain seperti oleokimia, biodiesel, dan lain-lain.
Namun sejak Presiden Jokowi mengumumkan larangan ekspor bahan baku minyak goreng sejak Jumat lalu, harga tandan buah sawit (TBS) telah anjlok hingga 60% dari Rp3.850 per kilogram menjadi Rp1.600 per kilogram karena penetapan harga sepihak oleh perusahaan.
Menko Perekonomian Airlangga pun telah meminta agar perusahaan membeli tandan buah sawit dengan "harga yang wajar".
Dukungan warga untuk ungkap kartel minyak goreng
Egi Primayogha dari ICW mengatakan harga minyak goreng tidak akan terjamin stabil sepanjang penegak hukum tidak mengusut tuntas aktor-aktor di balik dugaan kartel.
Penetapan empat tersangka dugaan korupsi minyak goreng oleh Kejaksaan Agung pada pekan lalu dianggap belum cukup membuktikan adanya praktik kartel atau mafia. Apalagi kasus itu baru menyentuh satu aspek kebijakan yang diterbitkan pemerintah terkait minyak goreng.
Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung menetapkan empat orang sebagai tersangka yakni Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berinisial IWW dan tiga pihak swasta yakni Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA, dan General Manager di PT Musim Mas berinisial PT.
"Yang kita lihat juga yang terkena kasusnya itu kan komisaris, sementara bisa jadi ada potensi korporasinya secara entitas terlibat juga. Kalau demikian, seluruh aktor dalam korporasinya harus diawasi," kata Egi kepada BBC News Indonesia.
"Harus ada penelusuran lebih luas terhadap aktor-aktornya, mereka yang terlibat di berbagai titik kebijakan yang sudah dikeluarkan."
Oleh sebab itu, ICW bersama YLKI dan KRKP menyampaikan petisi kepada KPPU, yang saat ini tengah mengusut dugaan persaingan usaha tidak sehat dalam kasus minyak goreng, sebagai bentuk "dukungan publik agar praktik ini dibongkar seluas-luasnya.
Menanggapi desakan itu, Wakil Ketua KPPU, Guntur Syahputra Saragih, berjanji akan menindak tegas pelaku inti yang menyebabkan situasi ini terjadi.
"Siapa yang berbuat yang harus bertanggung jawab, bukan agen-agennya. Bukan pion-pion yang di depan, namun sesuai proporsinya," kata Guntur.
KPPU mulai menyelidiki dugaan kartel minyak goreng sejak 30 Maret 2022 dan telah melayangkan 37 panggilan terhadap produsen, perusahaan pengemasan, distributor, asosiasi, pemerintah, dan lembaga konsumen.
Guntur mengatakan pihaknya telah mengantongi satu alat bukti dalam kasus ini, namun masih mengumpulkan satu alat bukti lainnya untuk bisa disidangkan.
Menurut dia, pengungkapan dugaan perkara "yang melibatkan aktor besar membutuhkan energi karena persoalan penegakannya lebih kompleks".