Suara.com - Lhakpa Sherpa dilahirkan di sebuah gua. Dia bekerja sebagai pesuruh dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Namun ibu tunggal itu kini memegang rekor pendakian terbanyak di gunung paling tinggi di dunia, Everest, lebih banyak dibandingkan perempuan lain. Pada Senin (25/04), dia berada di puncak untuk mengukuhkan rekornya.
"Saya semakin mendekati tujuan saya, mencetak sejarah dalam pendakian gunung. Sekarang saya sedang bersiap-siap mendaki Gunung Everest untuk yang kesepuluh kalinya," kata Lhakpa kepada BBC, beberapa saat sebelum memulai pendakiannya.
Anak perempuannya yang sulung bernama Shiny, 15 tahun, telah berada di base camp. Dia bersemangat menyaksikan kemajuan ibunya.
"Saya mengagumi ibu saya. Dia memiliki banyak pencapaian, meskipun dia mengaku tidak melakukan apa-apa," kata Shiny.
Baca Juga: Fakta-Fakta Palung Mariana yang Lebih Dalam daripada Tinggi Gunung Everest
Namun, kerja keras Lhakpa dan berbagai prestasinya itu belum bisa mendatangkan uang dan pengakuan, yang menurut banyak orang sudah sepantasnya dia dapatkan.
Baca juga:
- Mantan guru cetak rekor sebagai perempuan tercepat yang menaklukkan puncak Gunung Everest, apa kuncinya?
- Mengapa Gunung Everest tiba-tiba lebih tinggi?
- Kasus Covid-19 di Gunung Everest 'semakin banyak', para pendaki resah tertular virus
Lahir di gua
Lhakpa memulai hidupnya di salah satu desa di Pegunungan Himalaya, lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut.
"Saya lahir di gua. Bahkan saya tidak tahu tanggal lahir saya."
"Di paspor, usia saya 48 tahun," kata dia sambil tertawa terbahak-bahak.
Baca Juga: Zhang Hong, Pria Buta Pertama dari Asia yang Taklukkan Gunung Everest
Lhakpa merupakan bagian dari kelompok etnis Sherpa, keturunan nomaden Tibet. Orang-orang Sherpa terbiasa hidup di dataran tinggi yang tidak bersahabat.
Ditolak bersekolah
"Saya ingat harus berjalan berjam-jam, kadang-kadang sambil membawa saudara laki-laki saya ke sekolah, lalu ditolak ketika saya sampai di sana. Pada saat itu, anak perempuan tidak diizinkan pergi ke sekolah."
Pertanian adalah sumber mata pencarian utama bagi desanya, yang terletak di wilayah Makalu, Nepal Timur. Di desanya tidak ada listrik maupun sekolah.
Namun, hal itulah yang justru menggerakkan Lhakpa.
"Saya tumbuh dewasa tepat di sebelah Everest. Saya bisa melihatnya dari rumah. Everest selalu menginspirasi dan menyemangati saya."
Sejak pendakian pertama Gunung Everest pada 1953, semakin banyak orang yang mencoba mendaki puncaknya setiap tahun. Para pendaki pasti menyewa pemandu dan porter Sherpa.
Tidak puas menjadi fasilitator belaka, beberapa Sherpa, seperti Lhakpa, akhirnya menjadi pendaki gunung.
'Tidak ada yang akan menikahimu'
Namun, masa transisi Lhakpa itu tidak mudah. Orang tua Lhakpa tidak mendukungnya.
"Ibu saya mengatakan saya tidak akan pernah menikah. Dia memperingatkan saya akan jadi terlalu maskulin dan tak ada yang menginginkan saya."
"Warga desa mengatakan kepada saya, bahwa mendaki gunung adalah pekerjaan laki-laki dan saya akan mati jika mencobanya."
Mencetak rekor
Lhakpa menepis kekhawatiran itu dan berhasil mencapai puncak tertinggi Everest pada 2000.
"Saya merasa seperti mencapai mimpi ketika sampai di puncak Everest untuk pertama kalinya. Saya berpikir, 'Saya bukan lagi ibu rumah tangga biasa!' Saya merasa seperti telah mengubah budaya Sherpa, status perempuan Sherpa dan perempuan Nepal.
"Saya menikmati berada di luar rumah dan saya ingin berbagi perasaan itu dengan semua perempuan."
Pada 2003, ia menjadi perempuan pertama yang mendaki Everest tiga kali - dan rekor lainnya berhasil ia cetak setelah itu.
Pada pendakian Everest 2003 lalu, Lhakpa pergi bersama saudara laki-laki dan perempuannya. Hal itu membuat mereka menjadi tiga bersaudara pertama yang mencapai ketinggian 8.000 meter secara bersamaan. Rekor dunia Guinness pun mengakui pencapaian mereka.
"Tiga saudara laki-laki saya sudah pernah mendaki Everest. Salah satu saudara perempuan saya mendaki Everest dua kali."
Lhakpa kemudian menikah dengan pendaki kelahiran Rumania yang berbasis di AS, George Dijmarescu, dan sudah lima kali mendaki ke puncak bersamanya.
Rumah baru di AS
Setelah menikah, Lhakpa pindah ke AS, tetapi pernikahannya berakhir dengan perceraian yang sengit pada 2015.
Dia sekarang tinggal di negara bagian Connecticut, AS, bersama dua putri mereka. Dia juga memiliki seorang putra dari hubungan sebelumnya.
Selama ekspedisi di awal-awal, dia mengibarkan bendera Nepal di puncak. Kali ini, dia membawa bendera AS.
'Tidak bisa membayar jasa potong rambut'
Prestasi Lhakpa gagal menarik perhatian media dan sponsor. Selama bertahun-tahun dia hidup tanpa pengakuan dan bekerja dengan upah minimum.
"Pekerjaan saya termasuk merawat orang tua, membersihkan rumah, dan mencuci piring. Saya tidak menghasilkan banyak uang."
"Saya tidak mampu membeli pakaian atau membayar jasa potong rambut. Saya harus fokus merawat anak-anak dan berharap saya punya cukup uang untuk kembali ke Everest."
Kondisi itu tidak memadamkan gairahnya. Dia mendaki dua kali sebagai pemandu dan dalam beberapa kesempatan, teman dan keluarganya membantu mendukung perjalanannya.
"Ini adalah jenis olahraga yang berbeda. Ini adalah gairah saya. Namun, itu tidak terlalu bermanfaat dibandingkan dengan risiko yang ada."
Lhakpa percaya pendakian gunung membantunya melarikan diri dari kehidupannya di desa.
Penggalangan dana
Secara finansial, segalanya mulai berubah setelah dia belajar berbicara bahasa Inggris dengan baik. Dia diwawancara dan berbicara di acara-acara.
Lhakpa mendapat sponsor ketika dia sudah sembilan kali mencapai puncak. Kali ini dia mengumpulkan uang melalui penggalangan dana.
Lhakpa akrab dengan medan dan tahu apa yang diharapkan.
"Kita harus naik turun berkali-kali untuk aklimatisasi sebelum menuju puncak."
Melawan cuaca buruk
Lhakpa selalu memulai perjalanannya dengan berdoa secara tradisional. Keselamatan adalah prioritas terbesarnya.
"Saya mencapai puncak Everest setiap kali saya mencobanya. Saya tidak pernah mengalami kecelakaan."
Mayat-mayat yang membeku
Lebih dari 300 orang tewas saat mencoba mendaki Gunung Everest. Jadi, Lhakpa dan timnya harus melewati mayat-mayat yang sudah terawetkan oleh es.
Pada 2014, 16 pemandu Sherpa tewas akibat longsoran salju. Pada 2015, longsoran lain menewaskan 21 orang.
"Gunung itu menentukan cuacanya. Saat cuaca buruk saya hanya akan menunggu. Kami tidak bisa 'melawan' gunung," katanya.
Saat dia beberapa inci lebih dekat ke puncak, kadar oksigen menurun.
"Melewati 8.000 meter, saya merasa seperti zombie. Kami tidak bisa makan dan semuanya membeku. Kami harus mendaki di malam hari agar bisa turun dari puncak di siang hari. Menakutkan."
Hanya sebentar di puncak
Lebih dari 6.000 pendaki telah mendaki Gunung Everest. Setelah perjalanan yang sangat membutuhkan ketekunan, seorang pendaki hanya mendapat sedikit waktu di puncak.
Lhakpa mengatakan dia hanya bisa menghabiskan lima sampai sepuluh menit di titik tertinggi.
"Saya akan memotret dulu," kata Lhakpa. "Saya biasanya memikirkan teman-teman saya, keluarga saya, orang tua saya, anak perempuan saya, dan orang-orang yang mendukung saya."
"Saya juga berpikir tentang cara turun yang aman."
Mengikuti jejak ibu
Anak-anaknya juga akan memikirkan dia.
Lhakpa telah membawa putrinya ke base camp Makalu. Dia senang putri sulungnya, Shiny, tertarik mendaki.
Sedangkan si bungsu Sunny sedang menunggu ribuan meter di bawah, menunggu waktu untuk memberi selamat kepada ibunya ketika dia kembali.
"Ketika ibuku sedang dalam ekspedisi, saya selalu memikirkannya. Kami memang berbicara sesekali, tetapi di pegunungan internet tidak terlalu bisa diandalkan. Saya tidak bisa meneleponnya kapan pun saya mau,"
Shiny dibesarkan di AS dan tidak memiliki tingkat nostalgia yang sama tentang Everest. Namun, dia mengaku emosional setiap kali dia mengunjungi rumah leluhurnya.
Shiny ingin menunggu beberapa tahun lagi untuk memutuskan ingin mengikuti jejak ibunya atau tidak.
Dia tahu risiko besar dalam olahraga petualangan ini, tetapi sepenuhnya yakin ibunya akan mampu mengatasi tantangan apa pun.
Tak akan berhenti
Lhakpa tidak memiliki rencana untuk pensiun setelah musim ini. Dia ingin mendaki K2, puncak tertinggi kedua di dunia.
"Saya memiliki kehidupan yang menantang. Gunung membuat saya bahagia dan tenang. Saya tidak akan pernah menyerah. Saya ingin para perempuan muda tidak menyerah."
Lhakpa berpikir untuk mendaki Everest di masa depan bersama putra dan putrinya.
"Mendaki gunung adalah hasrat saya dan inilah yang ingin saya lakukan."