Opini: Dibeli Elon Musk, Twitter Akan Jadi Sarang Hoax?

Selasa, 26 April 2022 | 20:06 WIB
Opini: Dibeli Elon Musk, Twitter Akan Jadi Sarang Hoax?
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Elon Musk terkenal tidak suka aturan. Setelah ia akuisisi Twitter yang merupakan platform utama dalam komunikasi modern, hal ini akan mencuatkan masalah dan polarisasi. Opini Carolina Chimoy

Elon Musk pernah menggambarkan Twitter sebagai sebuah "alun-alun,” di mana warga pada zaman dulu berkumpul untuk bertukar informasi atau kabar terbaru.

Segala sesuatu yang ingin diketahui orang, bisa didapat di tempat ini dan apapun yang ingin diumumkan, juga dikumandangkan di jantung kota.

Boleh diasumsikan, Musk menyadari betapa pentingnya situs ini sebagai instrumen komunikasi di era digital.

Baca Juga: Sejarah Berdirinya Twitter Hingga Dibeli Elon Musk

Instrumentalisasi demi kepentingan pribadi? Pertanyaannya adalah, apakah dia juga menyadari seberapa besar tanggungjawab yang kini diembannya? Bahwa Twitter bukan layaknya sebuah korporasi swasta pada umumnya, yang hanya mengincar keuntungan? Akankah dia sebagai pengusaha sukses akan menggunakan platform ini demi kepentingan pribadi?

Sejumlah gagasannya pernah dia bocorkan dalam berbagai wawancara, terutama dalam penampilannya di "Ted-Talk”.

"Dia ingin mengelola Twitter tanpa campur tangan publik dan betapa platform ini tidak cukup bertindak menegakkan kebebasan berpendapat, atau bahwa komunikasi antarpengguna seringkali disaring tanpa alasan kuat", kata Musk.

Tapi apa yang dia maksud dengan "kebebasan berpendapat”? Apakah ia berarti kebebasan bagi semua orang untuk mengklaim apapun tanpa ada jaminan kebenaran?

Musk juga berulangkali menegaskan, betapa pemblokiran terhadap pengguna bukan tindakan yang bijak.

Baca Juga: Alasan Mengapa Elon Musk Membeli Twitter, Benarkah Rp 634 Triliun untuk Kebebasan Berbicara?

Hal ini diungkapkannya setelah Twitter mengunci akun mantan Presiden Donald Trump, menyusul dukungannya terhadap aksi kaum konservatif AS menyerbu gedung Kongres untuk memrotes hasil pemilu pada 6 Januari 2021 lalu.

Saat itu, Twitter menulis, "setelah memeriksa Tweet terbaru akun @realDonaldTrump dan memahami konteksnya, terutama bagaimana pesannya diterima atau diinterpretasikan di dalam dan luar Twitter, kami mengunci akun tersebut untuk selamanya demi menghindari hasutan lanjutan.”

Musk, seorang "absolutis kebebasan berpendapat”

Tapi Musk tidak menyukai aturan. Dalam sebuah wawancara, dia mengatakan aturan netiket yang ketat dan penguncian akun milik pengguna tidak akan ada dalam versi Twitter miliknya.

Manusia terkaya di dunia, yang memiliki harta senilai USD 270 miliar, ingin menjadikan Twitter sebagai "imperatif sosial” bagi kebebasan berpendapat.

"Siapapun bisa mengungkapkan pandangan soal apapun", kata Musk, yang gemar menggambarkan diri sebagai "absolutis kebebasan berpendapat.”

Dunia yang dia bayangkan justru terkesan mustahil terwujud di bawah asuhannya, karena sang miliarder dikenal gemar memblokir akun pengguna yang mengritik dirinya atau perusahaannya.

Dia juga tidak ragu memprovokasi aksi perundungan oleh pendukungnya sendiri terhadap jurnalis yang melontarkan kritik.

Alun-alun bukan milik pribadi Twitter di abad ke21 boleh jadi menyerupai sebuah alun-alun kota, seperti yang digambarkan oleh Musk.

Tapi dia melewatkan adanya perbedaan yang sangat penting, bahwa pertukaran informasi di alun-alun tidak pernah dibatasi sepanjang 280 kata.

Komunikasi pribadi antarindividu menghasilkan jauh lebih banyak informasi, ketimbang sebuah pesan pendek yang paling banter dibubuhi sebuah gambar. Dan perbedaan yang paling penting: Tidak pernah dalam sejarahnya, alun-alun kota dimiliki oleh seorang individu dan ia juga tidak rentan terhadap penyebaran informasi palsu.

Sebuah tendensi, dalam ketiadaan aturan yang jelas, ini hanya akan mengarah pada polarisasi yang lebih besar. rzn/as

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI