Suara.com - Kota pelabuhan Mariupol menjadi simbol penderitaan penduduk sipil Ukraina sesudah pasukan Rusia yang mengepungnya berusaha mengebom kota agar bisa ditaklukkan. Kini, kecuali kawasan industri baja Azovstal, wilayah Mariupol telah jatuh ke tangan Rusia.
Seorang warga muda, Katerina Erskaya, menceritakan kepada BBC Rusia bahwa kondisi di sana memburuk setelah kota dikepung. Pelan-pelan pada awalnya, dan kemudian berubah cepat.
Inilah cerita Katerina Erskaya selengkapnya.
Pada hari-hari pertama setelah invasi, kehidupan di Mariupol tidak berubah. Warung kopi langganan saya membeli sarapan masih buka, demikian juga toko-toko. Ada sedikit aksi memborong barang karena kepanikan. Beberapa makanan kalengan dan tepung mulai habis, tetapi barang-barang lainnya masih ada.
Baca Juga: Reaksi Google Disebut Ubah Gambar Situs Militer Rusia di Peta Usai Invasi
Saya heran mengapa orang-orang mengantre untuk menarik uang di anjungan tunai mandiri padahal pembayaran di toko-toko masih dapat dilakukan dengan kartu bank.
Pelan-pelan keadaan mulai kacau. Pertama-tama, lampu mati dan hidup lagi, lalu air tak mengalir. Tak lama kemudian suplai gas juga dimatikan.
Hal yang paling buruk terjadi ketika sambungan telepon dan internet diputus. Tiba-tiba orang tidak bisa berkomunikasi satu dengan lainnya, atau memanggil ambulans atau polisi. Tak lama kemudian, kami sadar kota kami dikepung, dan pengepungan itu berubah menjadi blokade penuh.
Pada saat itu terjadi kepanikan. Toko dan apotek tutup dan terjadi penjarahan di mana-mana. Warga yang tidak menyimpan makanan mengalami kondisi yang buruk sekali.
Saya bergabung bersama sekelompok relawan untuk membantu warga dengan masalah pangan, air, bahan bakar, pembersih dan obat-obatan. Kami mendapat pasokan dari toko, gudang, dan menyalurkan barang-barang itu atas kerja sama dengan pihak kepolisian, Garda Nasional dan marinir.
Baca Juga: Google Maps Bantah Buka Sensor Citra Satelit Fasilitas Militer Rusia
Jika rumah warga hancur, kami memindahkan mereka ke penampungan - salah satu penampungan terbesar adalah teater drama, yang kemudian dibom.
Kain sprei untuk perban
Saya menghabiskan sebagian besar waktu pada siang hari di pos relawan, dan kadang-kadang malam juga di sana. Tempatnya ada di ruang semi-bawah tanah dan ada tempat berlindung dari serangan artileri.
Pada tahap itu, semua persediaan habis, termasuk insulin, obat kemoterapi dan obat untuk menangani depresi.
Warga yang terluka paling menderita. Banyak orang mendatangi rumah sakit darurat dengan luka akibat pecahan peluru, memerlukan antibiotik dan perban steril. Stok sutera yang digunakan menjahit luka habis, namun konvoi kemanusiaan tidak diizinkan masuk.
Para dokter menggunakan cara lama dengan merebus peralatan untuk membuatnya steril. Suatu hari seorang perempuan datang ke pos relawan dengan membawa kain sprei yang dipotong-potong dan menggulungnya seperti kain perban.
Kami berpikir , "Ya Tuhan, semoga kami tidak sampai perlu menggunakannya!" Tapi kemudian kami tahu gulungan potongan kain sprei itu memang berguna.
Baca juga:
- 'Cucu perempuan saya, kepalanya benar-benar hancur' - Anak-anak Ukraina turut jadi korban serangan Rusia di Mariupol
- Kota-kota yang hancur di Ukraina kini menggali kuburan massal
- Dikepung Rusia, pejuang dan warga sipil Mariupol 'terluka dan mati di dalam bunker'
Tim relawan mempunyai generator dan kami memasak di dapur luar, tapi banyak orang memasak dengan kayu bakar di jalan. Sebagai contoh, di luar gedung teater terdapat banyak panci besar untuk memasak bubur.
Saya pergi ke sana beberapa kali. Ada banyak keluarga bersama anak-anak duduk di lantai di ruang yang gelap. Mereka memakai selimut. Tempat itu padat sekali dan makanan atau obat-obatan tidak mencukupi. Baunya jelek sekali karena sanitasi buruk, dan banyak orang sakit flu.
Pada pekan terakhir saya di Mariupol, gedung apartemen di samping pos relawan diserang. Orang-orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak sedang memasak di halaman ketika tampaknya diserang dengan drone. Kami bergegas ke lokasi untuk memberikan pertolongan pertama dan mengevakuasi warga.
Ada seorang anak laki-laki yang tergeletak di jalan - saya memeriksa denyut nadinya dan tahu ia sudah tidak bernyawa. Lalu seorang kolega mulai memindahkan jenazahnya, seorang pria buru-buru datang dan mengatakan, "Apa yang Anda lakukan, ke mana Anda akan membawanya?"
Ternyata si pria itu adalah kakek dari anak tersebut. "Apa yang seharusnya saya lakukan sekarang?" tanyanya kepada saya. Saya jawab, "Kuburkan." "Tapi bagaimana caranya?" tanya pria tersebut, "Saya tidak punya cangkul."
Warga berusaha mengubur tetangga yang meninggal di lingkungan rumah masing-masing sehingga kuburan itu dapat diidentifikasi.
Ada peristiwa lain yang tak akan terlupakan. Ketika mengelilingi gedung apartemen yang sama untuk mencari korban terluka, kami menemukan seorang laki-laki di tangga.
Bibirnya yang sobek sedang dijahit oleh seorang laki-laki lain. Orang itu berpaling ke arah saya dan mengatakan, "Halo, saya Eduard Ivanovich. Apakah Anda punya kain perban?" Kami memberikan apa yang kami miliki di kotak pertolongan pertama.
Ternyata ia adalah seorang dokter gigi yang membuka praktik di lantai dasar gedung apartemen. Tiba-tiba saya merasa bangga terhadapnya. Sekali pun dalam situasi mengerikan, ia tetap tenang dan melakukan tugasnya sebagai seorang dokter.
Saya pikir, dalam suasana perang sekecil apapun yang kita lakukan tidak akan sia-sia, semuanya punya arti.
Ketika perang gerilya mulai terjadi, jelas waktu kami sudah habis. Suatu ketika saya berjalan kaki untuk pulang, saya melihat tank dengan huruf Z melintas di jalan sebelah. Saya tahu saya harus pergi agar tidak menjadi beban tambahan bagi tentara dan dokter.
Pasukan pendudukan membenci relawan, jadi kami semua berisiko ditangkap dan digunakan sebagai sandera.
Mariupol digempur
Koridor kemanusiaan dibuka pada tanggal 15 Maret dan saya meninggalkan Mariupol keesokan harinya. Ada tempat di mobil kami sehingga kami menawarkan tumpangan kepada satu keluarga sampai wilayah Berdyansk. Di sana kami menjemput satu keluarga lagi - nenek-nenek, ibu-ibu, dua anak perempuan, dua kucing mereka, seekor kura-kura dan beberapa hamster.
Di dekat Tokmak, seorang laki-laki di pos pemeriksaan dengan bendara Republik Rakyat Donetsk (DNR) menembak mobil kami dengan senapan mesin.
Sebagian peluru mengenai pintu depan dan sebagian mengenai pintu belakang. Satu peluru melesat di atas kepala saya dan kepala pengemudi mobil. Beberapa pecahan peluru mengenai matanya tetapi ia begitu terhenyak sampai ia tidak menyadarinya sebelum kami tiba di Zaporizhzhia.
Salah satu anak perempuan yang duduk di jok belakang mengalami luka kepala. Kondisinya serius. Untungnya kami berhasil membawanya ke kota.
Kemudian saya menonton di televisi CNN bahwa anak perempuan itu selamat. Saya tidak tahu apakah ia akan sembuh sepenuhnya, tapi setidaknya ia selamat. Saya benar-benar ingin ia sehat.
Semua orang bertanya kepada saya mengapa pria tersebut menembak kami. Saya tidak bisa menjelaskan. Mengapa Rusia pertama-tama menyerang kami? Mungkin mereka berpikir tidak masalah menyerang mobil yang ditumpangi perempuan dan anak-anak, tidak masalah melanggar koridor kemanusiaan?
Atau mungkin mereka ingin menakut-nakuti kami, sehingga mobil-mobil lain akan berbalik arah dan selanjutnya masuk ke wilayah yang menyatakan diri sebagai DNR? Mereka menyebarkan kabar burung bahwa Ukraina tidak menerima pengungsi, dan mereka menggiring warga kami ke wilayah Rusia dan menahan mereka sebagai sandera.
Saya menerima pesan-pesan pesan pendek dari warga yang bertahan di Mariupol. Teman saya menulis bahwa ada mobil-mobil berkeliling kota dengan pengeras suara untuk mengumumkan bahwa Kyiv dan kota-kota lain telah jatuh dan Ukraina sudah menyerah. Begitulah cara kerja propaganda musuh.
Sekarang saya menerima pesan-pesan dari orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri. Menakutkan. Mereka mengatakan Rusia telah menduduki sebagian besar wilayah Mariupol dan membentuk pemerintahan kota.
Seperti diceritakan kepada Elizaveta Fokht