Suara.com - Emmanuel Macron kembali terpilih sebagai presiden Prancis setelah berhasil mengalahkan Marine Le Pen dalam pemilihan presiden Minggu (24/04). Macron akan menjalani periode keduanya selama lima tahun ke depan.
Dia menang dengan total perolehan suara 58,55%, unggul dengan margin yang lebih besar dari perkiraan, karena Le Pen sebagai tokoh oposisi sayap kanan hanya mendapat 41,45% suara.
Pemimpin berhaluan tengah itu mengatakan kepada para pendukungnyayang bergembira di sekitar Menara Eiffel bahwa pemilihan presiden telah usai dan dia akan menjadi "presiden untuk semua".
Meski kalah, Le Pen mengatakan perolehan suaranya masih menandai kemenangan. Dia dikenal sebagai politisi yang berencana memperketat imigrasi dan melarang pemakaian hijab di tempat umum demi "melawan Islamisme di Prancis", seperti dikutip Reuters.
Baca Juga: Pilpres Prancis: Kalahkan Le Pen, Macron Lanjutkan Masa Jabatan Presiden
Ide-ide yang diusung oleh Partai Barisan Nasional, katanya kepada para pendukungnya, telah mencetak pencapaian baru. Namun, rivalnya yang juga dari kubu sayap kanan, Eric Zemmour, menuding Le Pen telah gagal seperti ayahnya: "Ini adalah kedelapan kalinya nama Le Pen mengalami kekalahan."
"Kita harus menemukan sebuah jawaban atas kemarahan dan ketidaksepakatan yang membuat banyak rekan-rekan kita memilih partai sayap kanan," kata Macron dalam pidato kemenangannya pada Minggu malam (24/04). "Ini akan menjadi tanggung jawab saya dan orang-orang di sekitar saya."
Baca juga:
- Mantan Menkes Prancis diusut terkait penanganan pandemi
- Tes keperawanan untuk pengantin di acara televisi Prancis bikin murka menterinya
- Mengapa banyak orang Prancis tak percaya vaksin Covid-19?
Kemenangan Macron disambut baik oleh para pemimpin Eropa karena sebelumnya mereka khawatir bila Pemilu dimenangkan kandidat partai sayap kanan, mereka akan menggulirkan serangkaian kebijakan anti-Uni Eropa. "Kita akan memajukan Prancis dan Eropa bersama-sama," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Presiden Ukraina Volodymr Zelensky, yang meminta warga Prancis untuk memilih Macron, mengucapkan selamat kepada "teman sejatinya" itu dan mengatakan dia menanti Eropa yang lebih kuat dan semakin erat.
Baca Juga: 5 Fakta Kemenangan Emmanuel Macron Melawan Le Pen yang Anti-Hijab di Pilpres Prancis
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga menyambut baik kemenangan Macron.
https://twitter.com/BorisJohnson/status/1518298495773519873?s=20&t=5G3T8hsjSpzPJaAFdmNGNQ
Pemilihan presiden Prancis tahun ini diikuti oleh kurang dari 72% pemilih, jumlah terendah sejak pemilu presiden digelar mulai 1969. Lebih dari tiga juta surat suara juga rusak atau kosong. Macron mengatakan pemerintahnya harus "memperhatikan pilihan mereka yang menolak untuk memilih".
Penduduk di sebagian besar wilayah Prancis sedang berlibur pada hari pemungutan suara, tetapi jumlah pemilih yang rendah juga mencerminkan sikap apatis, yang mengeluh tidak ada kandidat yang mewakili mereka. Bahkan, sebagian besar pemilih muda dikatakan telah menghindari putaran kedua.
Pemimpin sayap kiri Jean-Luc Mlenchon, yang dikalahkan tipis oleh Le Pen pada putaran pertama pemungutan suara dua minggu sebelumnya, mengecam kedua kandidat.
Dia mengatakan kekalahan Marine Le Pen adalah kabar baik karena warga Prancis tidak mempercayainya, sementara Macron telah dipilih dengan cara yang lebih buruk daripada presiden lainnya. "Dia menang dengan kondisi banyak pemilih yang abstain, dan surat suara kosong serta rusak."
Di tengah semua tuduhan Mlenchon, Macron yang terpilih lagi menjadi presiden mencatat sejarah baru. Dia adalah presiden pertama yang terpilih kembali dalam 20 tahun.
Untuk pidato kemenangannya, Macron memilih tempat yang sangat simbolis dari Revolusi Prancis, yaitu di Champs de Mars. Dia mengatakan kepada para pendukungnya bahwa "tidak ada yang akan ditinggalkan".
Krisis biaya hidup yang dihadapi jutaan warga Prancis menjadi isu nomor satu kampanye pemilihan presiden. Para rival menuduh Macron arogan dan bertindak sebagai presidennya orang kaya.
Namun, Perdana Menteri Jean Castex mengatakan kepada radio Prancis bahwa dengan terpilihnya kembali Macron sebagai presiden, justru mengirim pesan yang kuat ketika Prancis sedang mengalami krisis yang cukup besar, yang melibatkan "banyak perpecahan dan kurangnya pemahaman".
Bagi para pemimpin politik Prancis, tugas selanjutnya adalah bersatu kembali dan bertarung dalam pemilihan parlemen pada Juni. Untuk saat ini, Macron mungkin memiliki suara mayoritas, tetapi kandidat yang kalah dari putaran pertama sudah siap berkampanye lagi dalam waktu dekat.
Mlenchon berpotensi mengalahkan partai sentris presiden dan menjadi perdana menteri. Dalam pidatonya pada Minggu malam, Le Pen mengatakan kepada para pendukungnya bahwa "pertandingan belum sepenuhnya berakhir" dan risiko Macron untuk mempertahankan kekuasaan sangat tinggi.
Dikenal mengagumi Putin
Le Pen dikenal mengagumi Vladimir Putin, karena presiden Rusia itu dia anggap tidak bisa didikte negara-negara lain. Putin tengah dikecam para pemimpin dunia, termasuk Macron, akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah berita Jerman Der Spiegel pada 2014, Le Pen mengatakan dia menghormati para pemimpin yang membela kepentingan negara mereka, seperti Putin dan kanselir Jerman saat itu, Angela Merkel.
"Menurut saya beliau (Putin) mengutamakan kepentingan Rusia dan orang-orang Rusia, jadi dalam hal ini saya memiliki rasa hormat yang sama untuknya, seperti halnya Merkel," katanya dalam wawancara itu, yang dikutip kantor berita Reuters.
Sikap Le Pen atas Putin itulah yang dimanfaatkan Macron dalam acara debat di televisi beberapa waktu lalu.
"Ketika Anda berbicara dengan Rusia, Anda berbicara dengan bankir Anda," ujar Macron saat menuduh Le Pen "bergantung" pada Putin karena berutang dari pemberi pinjaman asal Rusia yang terkait dengan Moskow.
Menanggapi tuduhan Macron itu, seperti dikutip AFP, Le Pen menjawab bahwa dia adalah "seorang perempuan yang benar-benar bebas".