Suara.com - Emmanuel Macron yang berhaluan tengah mengalahkan saingan sayap kanannya, Marine Le Pen, dalam putaran kedua pemilihan presiden Prancis.
Mayoritas pemilih Prancis pada Minggu (24/04) mendukung Emmanuel Macron kembali melanjutkan masa jabatan keduanya dalam pemilihan presiden negara itu, setelah mengalahkan saingan sayap kanannya, Marine Le Pen.
Berdasarkan hasil resmi awal, tercatat Macron memenangkan 58,5 persen suara sedangkan Le Pen 41,5 persen.
Dengan angka tersebut, Macron menjadi pemimpin Prancis pertama yang memenangkan pilpres kembali dalam dua dekade sejak Jacque Chirac pada 2002.
Baca Juga: 5 Fakta Kemenangan Emmanuel Macron Melawan Le Pen yang Anti-Hijab di Pilpres Prancis
Kepada para pendukungnya di depan Menara Eiffel, Macron mengatakan jika ia akan menjadi "presiden untuk semua" dan masa jabatan keduanya "tidak akan menjadi kelanjutan dari mandat saya sebelumnya."
Bagaimana Macron terpilih kembali?
Macron, seorang liberal pro-Eropa, mengklaim dirinya sebagai kekuatan penstabil selama masa krisis, yang dibuktikannya lewat kepemimpinannya selama pandemi COVID-19 dan invasi Rusia ke Ukraina.
Menjelang pemungutan suara, Macron berjanji mereformasi sistem pensiun untuk membujuk pemilih dari kiri.
Macron memenangkan pemilihan kedua meski mengalami pasang surut pada masa jabatan pertamanya, termasuk gerakan rompi kuning pada 2018 di mana terjadi unjuk rasa besar-besaran atas kebijakan ramah bisnisnya dan pemotongan pajak untuk orang kaya.
Baca Juga: Kalahkan Le Pen, Emmanuel Macron Menangi Pemilihan Presiden Prancis
Indikasi keberhasilannya muncul dua pekan lalu, ketika Macron memimpin hampir 5 poin atas Le Pen di putaran pertama jajak pendapat, yang membuat persaingan lebih ketat.
Kampanye pada putaran kedua juga didukung beberapa surat kabar Prancis, yang menyebutkan beberapa peringatan jika kemenangan Le Pen akan membuat Prancis menjadi mitra yang tidak dapat diandalkan di luar negeri dan akan mengganggu persatuan nasional.
Macron mengakui ada pertempuran yang terkadang pahit melawan Le Pen dan tawaran pesan persatuan kepada para pendukungnya dengan mengatakan: "Kita sekarang harus menghormati karena kita memiliki begitu banyak perpecahan dan keraguan."
Mengapa pendekatan Le Pen gagal?
Le Pen, seorang populis sayap kanan dari Partai National Rally (RN), dianggap mengancam kekacauan besar dalam politik Prancis dan Eropa jika ia terpilih.
Secara historis, RN dituduh mendukung kebijakan rasis, anti-semitisme dan anti-Islam. Namun, pada bulan-bulan menjelang putaran kedua hari Minggu (24/04), dia berusaha melunakkan citra partainya terkait imigrasi sebagai upaya merayu lebih banyak pemilih.
Le Pen berkampanye untuk menegakkan identitas tradisional Prancis, sementara janjinya mengatasi krisis biaya hidup juga menuai kritikan.
Banyak pendukung menyambut sikapnya yang lebih lembut ke UE — tidak lagi mengancam untuk keluar dari blok tersebut.
Namun, kritiknya terhadap NATO pada invasi Rusia ke Ukraina mungkin telah membuat beberapa orang menjauh.
Tuduhan baru terhadapnya dan anggota partai yang diduga menggelapkan dana UE selama menjadi anggota parlemen Eropa mendorong penurunan kepercayaan para pemilih, meskipun dia telah membantah tuduhan itu.
Le Pen kepada para pendukungnya mengatakan, "tidak memiliki perasaan sedih" atas kekalahan tersebut.
Namun, dia memperingatkan masa jabatan Macron berikutnya kemungkinan akan menunjukkan "penghinaan dan kebrutalan" bagi pemilih Prancis, seperti masa jabatan sebelumnya.
Pemimpin Eropa menghela nafas lega
Beberapa pemimpin dan politisi Eropa memberi ucapan selamat kepada Macron atas kemenangan masa jabatan keduanya, termasuk Kanselir Jerman Olaf Scholz.
"Konstituen Anda juga mengirimkan komitmen kuat ke Eropa hari ini. Saya senang kami akan melanjutkan kerja sama baik kami," tulis Scholz di Twitter.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mencuitkan dalam bahasa Prancis, "bersama-sama kita akan membuat Prancis dan Eropa maju."
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte berharapan untuk dapat "melanjutkan kerja sama kami yang luas dan konstruktif di UE dan NATO."
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengirimkan ucapan selamatnya, dengan mengatakan Prancis adalah salah satu "sekutu terdekat dan terpenting" Inggris.
"Saya berharap untuk terus bekerja sama dalam isu-isu yang paling penting bagi kedua negara kita dan bagi dunia," tambahnya.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden memberi selamat kepada Macron dan mengatakan harapannya untuk melanjutkan kerja sama yang erat.
Dia menulis di Twitter bahwa Prancis adalah "sekutu tertua dan mitra utama AS dalam mengatasi tantangan global."
"Saya menantikan kerja sama erat kami yang berkelanjutan, termasuk dalam mendukung Ukraina, membela demokrasi, dan melawan perubahan iklim," kata Biden. rw/ha (AFP, AP, dpa, Reuters)