Suara.com - Para pemuka masyarakat Aborigin mendesak Pemerintah Australia hasil Pemilu 2022 untuk menggelar referendum dalam waktu dua tahun bagi pengakuan hak-hak konstitusional penduduk asli.
Desakan referendum bertajuk First Nations Voice to Parliament ini sudah bergulir sejak tahun 2017 usai Pertemuan Uluru yang menyepakati perlunya pembentukan lembaga perwakilan rakyat bagi penduduk asli di Australia.
Lembaga tersebut akan dinamai sebagai Voice to Parliament atau Suara untuk Parlemen, dan akan memiliki kewenangan terkait undang-undang dan kebijakan Pemerintah Australia yang berdampak pada seluruh masyarakat pribumi.
Lima tahun kemudian, para penyusun Pernyataan Uluru ini kembali berkumpul di Kota Cairns, Queensland, tepatnya 10 April 2022, dan menyepakati waktu pelaksanaan referendum: 27 Mei 2023 atau 27 Januari 2024.
Baca Juga: Polisi Australia Penembak Mati Pria Aborigin Divonis Tak Bersalah
Tanggal 27 Mei tahun depan merupakan peringatan 56 tahun keberhasilan Referendum 1967, dan ulang tahun keenam Pernyataan Uluru.
"Persiapan sudah selesai dan sekarang sudah saatnya menggelar referendum," kata Profesor Megan Davis, salah satu ketua Pertemuan Uluru.
"Para politisi tidak siap melaksanakan Pernyataan Uluru pada 2017, tapi sekarang rakyat Australia sudah siap," ucapnya.
Pada tahun 2017, di Uluru di tengah Benua Australia, ratusan tokoh masyarakat pribumi menyerukan perubahan konstitusional, karena masyarakat Aborigin tidak diberi suara dalam penentuan undang-undang yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Kalangan pakar hukum berpendapat bahwa konstitusi harus diubah sehingga Voice to Parliament menjadi ketentuan permanen di Australia.
Baca Juga: Gadis Lulusan Unud Bali Ini Ceritakan Hidup Bersama Warga Aborigin di Pedalaman Australia
Perdana menteri pada saat itu, Malcolm Turnbull, menolak gagasan itu, dengan dalih tidak akan mampu memenangkan dukungan luas dari publik Australia.
Namun Pat Anderson, seorang wanita dari suku Alyawarre dan mantan Ketua Dewan Referendum, mengatakan pemerintah federal hasil Pemilu 2022 harus melaksanakan kampanye dan sosialiasi mengenai referendum ini.
"Itulah yang menjadi tujuan kami, yaitu bagaimana mendidik masyarakat luas agar kami mendapatkan suara yang terpatri di dalam konstitusi (Australia)," katanya.
Profesor Megan Davis menambahkan, sejauh ini desakan referendum telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk serikat buruh dan kelompok pengusaha.
"Kami sangat yakin bahwa mayoritas penduduk Australia akan memilih YES dalam referendum," katanya.
Terkait dengan Referendum 1967
Tanggal pelaksanaan referendum yang diusulkan disepakati pada akhir pekan lalu di Kota Cairns dan Yarrabah, sebagai kelanjutan dari pertemuan terbesar para tokoh masyarakat pribumi yang mendukung Pernyataan Uluru pada 2017.
Salah satu tokoh, Alfred Neal (97), turut hadir dan memberikan masukan dalam pertemuan itu.
Tokoh yang akrab dipanggil Pop ini adalah salah satu aktivis Aborigin yang membantu menyusun strategi untuk Referendum 1967.
"Kami ingin diakui," kata Pop.
Referendum akan menjadi puncak dari kerja dan kampanye selama puluhan tahun bagi pengakuan konstitusional untuk masyarakat pribumi.
Pemerintahan PM Scott Morrison telah menjanjikan anggaran AU$31,8 juta untuk mendirikan lembaga baru untuk perwakilan masyarakat pribumi melalui APBN 2022/23. Dalam program ini akan dibentuk 35 lembaga di tingkat "lokal dan regional" di seluruh Australia.
"Agar lembaga perwakilan penduduk asli dapat bekerja, ia harus memiliki fondasi yang kuat dari bawah ke atas," kata Menteri Urusan Penduduk Asli Australia, Ken Wyatt.
Namun, Pemerintah Koalisi mengatakan meskipun berkomitmen mengadakan perubahan konstitusi dan menyisihkan AU$160 juta untuk referendum, mereka tidak berkomitmen pada batas waktu pelaksanaan.
"Pemerintah Morrison konsisten mengatakan bahwa kita akan laksanakan referendum setelah konsensus tercapai dan pada saat referendum memiliki peluang sukses terbaik," kata Menteri Wyatt.
Oposisi Partai Buruh telah menyetujui referendum Voice to Parliament dan berjanji akan membentuk "Komisi Makarrata" untuk mengawasi proses nasional untuk perjanjian pemerintah Australia dengan penduduk asli serta pengungkapan kebenaran atas kejadian di masa lalu.
"Pemerintahan Partai Buruh pimpinan Anthony Albanese akan bekerja sama dengan masyarakat pribumi menggelar referendum dalam masa jabatan pertama kami," kata anggota parlemen dari Partai Buruh Linda Burney.
"Kami ingin memaksimalkan peluang keberhasilan referendum dan dengan cara yang mendapat dukungan luas dari masyarakat pribumi," tambahnya.
'Kita perlu mencobanya'
Profesor Megan Davis menyebut lembaga Voice to Parliament akan membantu mengatasi kesenjangan karena memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi terlibat dalam pembentukan UU dan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
"Hal ini belum pernah kita coba. Kita perlu mencobanya, karena kebanyakan orang Australia melihat sendiri upaya sebelumnya dari Close the Gap, tidak berhasil menutup kesenjangan sama sekali," ujarnya.
Pemuka suku Bardi, Nolan Hunter, yang hadir di Uluru pada tahun 2017, mengatakan kampanye baru untuk referendum Voice to Parliament merupakan kelanjutan dari upaya masyarakat pribumi "untuk didengar".
"Lembaga ini bukanlah hal baru, hanya melanjutkan perjalanan dan pesan dari semua orang sebelum kita," katanya.
Profesor Davis berharap kampanye untuk pembentukan lembaga Voice to Parliament ini nantinya akan meraih keberhasilan seperti halnya Rererendum 1967 yang menciptakan perubahan langgeng bagi masyarakat pribumi.
"Kita akan mengubah bangsa kita seperti yang pernah mereka lakukan [di tahun 1967]," katanya.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News untuk ABC Indonesia.