Larangan Ekspor Minyak Goreng Diklaim Rugikan Petani Kecil

Jum'at, 22 April 2022 | 20:30 WIB
Larangan Ekspor Minyak Goreng Diklaim Rugikan Petani Kecil
Ilustrasi minyak goreng (Freepik)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Larangan ekspor minyak goreng diklaim rugikan petani kecil. Selain itu mendorong harga minyak goreng mahal.

Hal itu dikatakan Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Sehingga dia meminta Pemerintah mengkaji kebijakan moratorium atau pelarangan untuk melakukan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya.

"Karena ujungnya, kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng," kata Deddy dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Keputusan Pemerintah melakukan moratorium ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng akan tepat apabila dilakukan dalam jangka waktu pendek.

Baca Juga: Kasus Mafia Minyak Goreng, Akademisi UB Menduga Ada Tangan-tangan Lain yang Terlibat

Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan kecukupan pasokan di dalam negeri serta penurunan harga di tingkat domestik.

"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga; dan ini merugikan petani-petani kecil yang ada di pedalaman, terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang, dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng. Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. Jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut," jelas Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Menurut dia, Pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar, khususnya perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.

Perusahaan itu memiliki modal kuat, kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan lain untuk menghindari kerugian.

Jika ekspor itu dilarang, lanjutnya, maka industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi karena kebutuhan minyak goreng yang bermasalah hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton per tahun, dibandingkan dengan total produksi yang mencapai 47 juta ton per tahun untuk CPO dan 4,5 juta ton per tahun untuk palm kernell oil (PKO).

Baca Juga: Sudah Terlalu Banyak Ambil Untung, Pengusaha-pengusaha Kini Diminta Tunduk ke Presiden Tak lagi Ekspor Migor

"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya, rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan. Pemilik pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama," katanya.

Selanjutnya, Pemerintah juga harus memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik. Pengawasan harus diperkuat dengan memastikan sinergisme kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) serta pemerintah daerah.

Apabila pengawasan berjalan baik, maka kegiatan penyeludupan dan penimbunan dapat dicegah, katanya.

"Tanpa sinergisme yang baik antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, maka masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai. Ingat, moratorium itu akan memicu kegiatan penyeludupan sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri. Kalau perlu dikuasai oleh negara, termasuk distribusinya," katanya.

Menurut dia, jika kebijakan moratorium ekspor itu dilakukan dalam jangka waktu lama, maka akan menyebabkan barang menjadi langka dan menimbulkan kerugian karena harga dunia menjadi melonjak.

"Moratorium ini bisa menjadikan konsekuensi terjadinya keberatan dari negara-negara lain karena barang ini adalah komoditas global. Jadi mohon diperhatikan Bapak Presiden, mohon kembalikan kebijakannya ke jalur yang benar," ujarnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI