Suara.com - Ternyata Charles Darwin salah... tentang usus buntu.
Selama berabad-abad, organ berbentuk silinder yang berukuran sekitar 10 sentimeter dan terhubung ke sekum (bagian pertama dari usus besar) telah menjadi teka-teki sains.
Jacopo Berengario da Carpi, seorang dokter asal Italia, menerbitkan deskripsi pertama usus buntu pada tahun 1521 dalam "Commentaria", dan menjabarkannya sebagai rongga kosong kecil.
Leonardo da Vinci berteori bahwa organ tersebut adalah tempat untuk menampung kelebihan gas dan mencegah usus dan usus besar meletus saat seseorang menderita sembelit.
Baca Juga: BAB di Toilet Duduk Bisa Sebabkan Radang Usus Buntu, Begini Kata Ahli
Andreas Vesalius pertama kali menggunakan kata 'appendix' (usus buntu) pada tahun 1543 dan membandingkannya dengan cacing.
Ahli botani Swiss Caspar Bauhin berspekulasi pada tahun 1579 bahwa usus buntu adalah wadah untuk kotoran janin selama kehamilan, semacam toilet mini.
Ahli anatomi Italia abad ke-18 Giovanni Dominico Santorini percaya usus buntu adalah habitat alami bagi cacing usus, yang membutuhkan "tempat yang hangat dan tenang untuk hidup."
Baca juga:
- Udara kotor dapat memengaruhi kesehatan usus kita
- Janin-janin di rahim dengan otot tangan mirip kadal, sisa evolusi yang masih terlihat
- Operasi usus buntu dan amandel 'tak pengaruhi' kehamilan
Tanpa teori yang begitu meyakinkan, dalam bukunya tentang teori evolusi "Asal-Usul Manusia" (The Origin of Man), pada 1871 Charles Darwin berhipotesis bahwa usus buntu sebenarnya tidak punya fungsi apa-apa.
Baca Juga: Seperti Sakit Perut Biasa, Ketahui Penyebab dan Gejala Usus Buntu
Ia disebut organ vestigial (sisa) yang telah kehilangan alasan keberadaannya" sebagai konsekuensi dari perubahan pola makan atau kebiasaan".
Barangkali itulah hal yang sering diajarkan di sekolah.
Tetapi, pada pertengahan abad ke-20, dengan perkembangan alat yang memungkinkan kita untuk mengamati organ-organ kita lebih dekat, gagasan bahwa fungsi usus buntu hanya untuk meradang dan membahayakan nyawa mulai pudar.
Dan, pada abad ke-21, para ilmuwan telah menemukan bahwa ia lebih dari sekadar organ "sisa" evolusi.
Penampung bakteri usus
Pada tahun 2007, satu tim dari Pusat Studi Kedokteran Universitas Duke membuat terobosan ketika mereka menemukan bahwa usus buntu memiliki biofilm yang kaya.
Biofilm adalah adalah lapisan bakteri 'baik' yang hidup di usus dan membantu kita mengekstrak nutrisi dan energi dari makanan.
Selain itu, ketika mencerna serat, mereka menghasilkan asam lemak rantai pendek yang dapat masuk ke aliran darah dan mengalir ke otak untuk melindungi salah satu organ paling berharga tersebut.
Usus buntu yang misterius dan diremehkan itu ternyata berfungsi sebagai penampung bakteri 'baik' itu, siap untuk mengisi kembali usus ketika kita kehilangan mereka, misalnya ketika diare atau setelah minum antibiotik.
Ini tidak pernah bisa ditebak Darwin, karena pada masanya para ilmuwan belum mengetahui keberadaan mikrobioma dalam tubuh manusia.
Dan ada sesuatu yang lain.
Beberapa dekade sebelumnya para ilmuwan menemukan bahwa usus buntu memiliki konsentrasi tinggi jaringan limfoid terkait usus (gut-associated lymphoid tissue), atau GALT, tetapi waktu itu mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh jika terjadi serangan patogen.
Artinya, selain menjadi tempat penyimpanan bakteri, usus buntu terlibat dalam cara tubuh memahami ketika usus terancam dan bagaimana meresponsnya.
Dimanfaatkan kaum anti-evolusionis
Enam tahun kemudian, studi lainnya dari Pusat Studi Medis Universitas Duke menemukan bahwa orang tanpa usus buntu cenderung berisiko lebih tinggi terkena infeksi bakteri yang sangat tidak mengenakkan dan berbahaya: Clostridium difficile atau C diff.
Tetapi para ilmuwan juga menemukan sesuatu yang mengejutkan: kelompok anti-evolusionis telah memanfaatkan penelitian mereka.
Tanpa bermaksud demikian, mereka telah membantah sesuatu yang dikatakan oleh Darwin, namun lebih dari itu, usus buntu barangkali contoh paling umum yang dikutip dalam buku teks dan oleh para pendidik sebagai bukti seleksi alam.
Para kreasionis mengeklaim sains sendiri telah menunjukkan bahwa teori evolusi tidak valid.
"Darwin memang salah bahwa usus buntu sebagai organ vestigial," kata Heather Smith, seorang profesor anatomi di Midwestern University di Arizona, dalam percakapan dengan BBC. Tetapi ia dengan tegas mengklarifikasi: "Itu tidak berarti saya salah tentang teorinya tentang seleksi alam dan pemahaman kita tentang adaptasi."
Bahkan, penelitiannya sendiri menunjukkan bahwa, bukannya membuktikan teori evolusi salah, usus buntu malah menegaskannya.
Evolusi jutaan tahun
Pada 2017, Smith dan rekan memutuskan untuk membandingkan usus buntu manusia dengan 533 spesies mamalia.
Mengungkapkan sejarah lebih dari 80 juta tahun, mereka membangun filogeni konsensus mamalia, yang pada dasarnya adalah pohon keluarga raksasa.
Dengan itu Anda dapat mengumpulkan data dan memetakannya, sehingga memungkinkan Anda untuk mengetahui berapa kali organ tertentu telah berevolusi, dalam hal ini, usus buntu.
"Kami menemukan bahwa usus buntu telah berevolusi sekitar 30 kali sepanjang evolusi mamalia, dan itu mengindikasikan bahwa ia mempunyai fungsi penting, jika tidak maka itu tidak akan terus muncul dalam evolusi."
Dalam ilmu evolusi, jika suatu organ muncul, bertahan, dan tidak hilang, itu adalah indikator yang baik bahwa organ tersebut punya suatu kegunaan. Apalagi jika itu terjadi di beberapa garis keturunan mamalia yang berbeda.
Garis keturunan manusia muncul antara 32 hingga 20 juta tahun yang lalu, dan usus buntu masih ada sampai sekarang, jadi penelitian ini memberi tahu kita bahwa organ yang sering diremehkan itu punya fungsi yang penting, meskipun kita belum tahu persis apa fungsi itu.
Sumbu otak-usus
Organ yang dulu dianggap tidak diperlukan sekarang menjadi fokus dari beberapa penelitian yang bertujuan untuk lebih memahami fungsinya.
Salah satunya, yang diterbitkan pada Juli 2021 oleh para peneliti dari Inserm dan Museum Sejarah Alam Prancis dan terinspirasi oleh pohon keluarga rakasasa Smith, menganalisis data pada 258 spesies mamalia dan menemukan bahwa keberadaan usus buntu berkorelasi dengan umur yang lebih panjang.
Di sisi lain, beberapa penelitian mutakhir menunjukkan bahwa ada hubungan antara usus dan otak, yang dikenal sebagai sumbu usus-otak.
"Salah satu area paling menarik dalam ilmu otak dan ilmu syaraf saat ini adalah peran usus dan mikrobiota usus dalam penyakit neurogeneratif," kata Profesor John Cryan, seorang pakar bidang ini dari University of Cork, kepada BBC.
Di bidang tersebut, ahli sumbu usus-otak menyoroti, meskipun penelitian masih ambigu, ada "satu hal yang jelas: kita tidak bisa mengabaikan usus buntu dalam kaitannya dengan komunikasi usus dengan otak."
Bagaimana bila dilepas dengan operasi?
Terlepas dari semua ini, ada keadaan ketika kita tidak bisa benar-benar hidup dengan usus buntu.
Meskipun semakin banyak penelitian (termasuk meta-analisis yang melibatkan 404 pasien pediatrik) menemukan bahwa dalam kasus apendisitis non-parah, pengobatan antibiotik bisa sama efektifnya dengan operasi, ini seringkali bukan pilihan yang aman.
Usus buntu berlubang adalah kedaruratan medis yang dapat mengakibatkan kematian, dan usus buntu yang rusak parah atau terkena kanker harus dilepaskan dengan operasi.
Manusia terbukti dapat menjalani kehidupan yang utuh dan bahagia tanpa usus buntu. Selain itu, operasi apendektomi untuk menyembuhkan radang usus buntu tidak berdampak pada panjang umur seseorang.
Radang usus buntu (apendisitis) pada usia dini jelas bermanfaat karena memperkuat pelatihan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkannya untuk melawan infeksi berikutnya secara lebih efektif.
Jadi perawatan paling tepat untuk apendisitis tetap apendektomi.
Sejarah yang baru terungkap dari bagian kecil anatomi kita ini mengajarkan kita bahwa tubuh manusia sangat kompleks dan masih ada banyak hal yang belum kita pahami.