Suara.com - Setelah mengakui "kehilangan pasukan secara signifikan", Rusia menunjuk seorang jenderal baru untuk melanjutkan invasi Ukraina.
Jenderal yang ditunjuk adalah Aleksandr Dvornikov, perwira militer berpengalaman yang memainkan peranan kunci dalam perang Suriah, dan menyebabkan Moskow dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga sipil dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengangkatan Dvornikov dipastikan oleh seorang pejabat tinggi Amerika Serikat yang tak ingin disebutkan namanya.
Sampai saat ini, Rusia tidak memiliki komando pusat untuk operasi pasukannya di Ukraina.
Baca Juga: Kesaksian Pendeta Gereja Ortodoks Rusia di Ukraina Berontak Lawan Moskow
Dvornikov memegang jabatan itu setelah invasi tahap awal menyebabkan kematian warga sipil Ukraina dalam jumlah besar, masalah logistik, dan juga "kesalahan-kesalahan" yang memperlambat laju pasukan Rusia di Ukraina, menurut para pejabat AS.
Baca juga:
- 'Tentara Rusia memperkosaku dan membunuh suamiku'
- Apakah Rusia sengaja mengincar warga sipil Ukraina?
- Tiga skenario berisiko menyeret NATO perang langsung dengan Rusia dan memperparah konflik Ukraina
Sejak invasi pada 24 Februari, Badan HAM PBB memastikan lebih dari 1.600 warga sipil tewas, termasuk lebih dari 100 anak-anak.
Namun Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengatakan pada Senin (11/04) di kota pesisir Mariupol saja, korban berjumlah puluhan ribu jiwa.
"Mariupol hancur, ada puluhan ribu orang yang meninggal namun demikian Rusia tidak memperlambat serangannya," katanya dalam sambungan video dengan para anggota parlemen Korea Selatan.
Baca Juga: Militer Rusia Mulai Serangan Gencar ke Kawasan Donbas di Ukraina Timur
Kota itu saat ini dikepung dan sulit untuk memverifikasi klaim Zelensky, namun BBC mendapat kesaksian dari pengungsi yang berhasil menyelamatkan diri dan menggambarkan situasi di kota itu kritis.
Mereka mengatakan melihat jenazah dikuburkan secara tidak layak dan banyak penduduk yang jadi sasaran saat mencoba mencari air di luar tempat perlindungan mereka.
Banyak pihak khawatir, kondisi kemanusiaan akan semakin parah setelah diangkatnya Aleksandr Dvornikov sebagai komandan dalam serangan terhadap Ukraina.
Jenderal berpengalaman
Dvornikov bergabung dengan militer Uni Soviet pada 1978 setelah lulus dari akademi militer di Rusia Timur Jauh.
Kariernya melesat cepat dan dia menjadi komandan pleton pada 1982.
Ia mendapat diploma dari Akademi Militer Frunze pada 1991, di tengah runtuhnya Uni Soviet.
Pada tahun 2000-an, Dvornikov ikut serta dalam perang kedua di Chechnya dan memegang posisi tinggi sebelum Presiden Putin mengangkatnya menjadi komandan pasukan Rusia di Suriah pada 2015.
Dvornikov menjabat sebagai komandan Rusia pertama di negara Arab setelah Putin mengerahkan pasukan ke sana pada September 2015 untuk mendukung pemerintahan Presiden Suriah Bashar al - Assad.
Rusia mendukung Assad, yang khawatir digulingkan, dengan kekuatan udara selama perang saudara terjadi di Suriah.
Kebijakan bumi hangus
Di bawah komando Dvornikov, pasukan Rusia di Suriah dilaporkan membungkam para oposisi dengan menghancurkan kota-kota dengan menggunakan peledak yang dilarang digunakan, termasuk bom curah.
Begitu menjabat, Dvornikov langsung menetapkan pangkalan udara di dekat pesisir Suriah dan dari situ melakukan serangan udara yang menghancurkan kota-kota di Provinsi Idlib.
Jatuhnya Aleppo, kota kedua terbesar Suriah, adalah karena serangan udara Rusia yang menghancurkan sebagian besar prasarana, termasuk rumah sakit dan sekolah-sekolah.
Baca juga:
- Kilas balik gempuran Rusia di Grozny, Aleppo, dan Ukraina: Perlawanan selalu dibalas senjata
- Apakah pembunuhan warga sipil di Bucha dapat disebut genosida?
Serangan secara konstan menyebabkan jutaan warga Suriah mengungsi atau melarikan diri ke negara-negara lain.
Menurut PBB, lebih dari 350.000 orang tewas dalam perang yang berlangsung lebih dari satu dekade.
Jake Sullivan, Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih, mengatakan dalam wawancara dengan stasiun televisi CBS bahwa penunjukan jenderal Rusia berjuluk "jagal Suriah" itu konsisten dengan pendekatan Rusia dalam invasi Ukraina.
Sullivan menekankan bahwa penunjukan Dvornikov adalah pertanda Rusia berencana mempertahankan kebijakan "bumi hangus" yang menghancurkan segala sesuatu yang dapat dipakai pihak musuh saat maju atau mundur.
"Kami telah melihat kekejian, kejahatan perang, pembunuhan massal, dan gambar-gambar mengerikan serta mengejutkan di berbagai kota seperti Bucha dan gempuran roket di Kramatorsk," tambahnya.
"Menurut saya, penunjukan jenderal tersebut adalah indikasi bahwa kita akan melihat lebih banyak yang seperti itu."
"Pahlawan Rusia"
Moskow membantah telah membunuh warga sipil di Bucha, kawasan di pinggiran Kota Kyiv. Moskow menyebut berbagai laporan serta video jenazah bergelimpangan di jalan sebagai berita bohong.
Akan tetapi, mantan Direktur CIA, David Petraeus, sepakat dengan penuturan Sullivan.
"Tentara Rusia dikenal di Rusia [menjalankan taktik] 'mengurangi populasi' di berbagai kawasan. Itulah yang mereka lakukan di Aleppo," papar Petraeus kepada CNN.
"Itulah yang mereka lakukan di area-area lain. Dan saya pikir kita bisa memperkirakan itu terjadi lagi."
Baca juga:
- 'Saya harap mereka membunuh saya juga' - Istri tukang las yang dieksekusi mati tentara Rusia di Bucha
- Rusia persiapkan puluhan ribu tentara untuk menyerang wilayah timur, kata presiden Ukraina
Pada 2016, Putin menganggap aksi militer Rusia di Suriah sebagai kesuksesan. Bahkan Putin menganugerahi Dvornikov dengan lencana Pahlawan Federasi Rusia, gelar tertinggi bagi individu di Rusia.
Dvornikov berstatus sebagai Panglima Komando Distrik Militer Selatan sejak September 2016. Distrik itu mencakup Krimea sejak Rusia menganeksasi wilayah tersebut pada 2014.
Menurut para ahli, kedudukan ini membuat Dvornikov amat paham wilayah Donbas, yang menjadi prioritas bagi Moskow sejak mundur dari Kyiv.
'Pelaku kejahatan berikutnya'
Penasehat keamanan nasional di Gedung Putih, Jake Sullivan mengatakan pada Minggu (10/04) bahwa "siapapun jenderal yang ditunjuk tidak bisa menghapus fakta bahwa Rusia sudah menghadapi kegagalan strategis di Ukraina."
"Jenderal ini hanyalah pelaku kejahatan dan brutalitas berikutnya terhadap warga sipil Ukraina," tambah Sullivan.
"Amerika Serikat, sebagaimana saya katakan sebelumnya, bertekad segala yang mungkin untuk mendukung warga Ukraina karena mereka menolak pria itu dan pasukan yang dia komandoi."
Pada Jumat (08/04), Rusia mengakui "kehilangan pasukan secara signifikan" di Ukraina, ketika invasi memasuki hari ke-44.
Juru bicara kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan kepada stasiun televisi Sky News, korban-korban itu adalah "tragedi besar" bagi Rusia.
Dia juga mengatakan Moskow akan mencapai tujuan-tujuannya "dalam hari-hari mendatang".