Wajib Pajak Kaget, Padahal Merasa Tidak Pernah Ngemplang Pajak

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 20 April 2022 | 09:45 WIB
Wajib Pajak Kaget, Padahal Merasa Tidak Pernah Ngemplang Pajak
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pekan terakhir Maret, Jennifer mengaku kaget ketika mendapatkan surat elektronik dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dia diminta mengikuti program Pengungkapan Pajak Sukarela (PPS), karena tidak melaporkan sejumlah hartanya kepada negara. Program itu serupa dengan pengampunan pajak atau tax amnesty, yang sudah lebih dulu dikenal.

Surat elektronik yang datang di hari Jumat itu, diakui Jennifer, menambah beban pikirannya.

"Aku lagi nggak kerja, terus tiba-tiba dapat kayak gitu, kan aduh ampun, jadi pusing. Mana sudah nggak ada pemasukan, kalau didenda, matilah!" ujar Jennifer yang meminta identitasnya disamarkan untuk artikel ini.

Surat dari DJP itu menyebut Jennifer tidak melaporkan hartanya yang berjumlah lebih dari Rp50 juta. Harta itu, kata dia, masuk dalam kategori investasi.

Baca Juga: Imbauan Menko Luhut kepada Para Wajib Pajak; 'Mari Kita Bayar Pajak dengan Benar, Kalau Tidak...'

Perempuan yang sedang menempuh studi di Eropa itu mengakui bahwa dirinya memang tidak melaporkan investasi yang dia lakukan karena menurut sepengetahuan dia, jenis investasi itu tidak termasuk ke dalam obyek pajak.

Meski begitu, Jennifer mengatakan selalu melaporkan penghasilannya secara rutin melalui pelaporan SPT Tahunan.

Dia mengira hal terpenting dalam pelaporan pendapatannya tiap tahun adalah pemasukan yang dia dapat. Jadi, dia mengabaikan pencatatan hartanya.

Oleh sebab itu, dia merasa kebingungan ketika mendapatkan surat tersebut.

"Aku cuma invest saja kan, aku dari dulu nabung, supaya kalau aku S2 ada duit. Bukannya aku punya rumah banyak, terus nggak bayar pajak. Aku SPT juga selalu lapor," kata Jennifer.

Baca Juga: Jauh dari Target, Wajib Pajak yang Sudah Lapor SPT Baru 4,6 Juta Orang

Baca juga:

Jennifer bukan satu-satunya orang yang berpikir bahwa program pengampunan pajak, atau yang dikenal dengan tax amnesty, hanya berlaku untuk para konglomerat yang tidak melaporkan hartanya untuk menghindari pembayaran pajak dengan nominal yang lebih besar.

Di media sosial Twitter, ada beberapa akun juga mempertanyakan hal yang sama. Tak sedikit juga yang sama kagetnya dengan Jennifer. Hal itu terlihat dari cuitan mereka kepada akun @kring_pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Neilmaldrin Noor, mengatakan baik PPS ataupun tax amnesty "bukan merupakan program yang dikhususkan untuk orang kaya saja, namun semua wajib pajak yang belum melaporkan atau mengungkapkan kewajibannya".

Kini Jennifer sedang menyiapkan data-data yang dia butuhkan dan menghitung jumlah investasinya untuk membereskan masalah tersebut. Dia mengaku harus cermat dan berhati-hati melakukan penghitungan karena jika ada yang tidak sesuai, dia bisa dikenakan denda yang lebih besar.

Menurut informasi dari DJP, wajib pajak bisa mengikuti PPS dengan denda 14% atau melakukan pembetulan.

"Boleh saja dilaporkan dalam pembetulan SPT, namun sesuai ketentuan, jika Direktorat Jenderal Pajak menemukan atas perolehan harta tersebut belum dilakukan pembayaran pajaknya, maka dapat dikenakan sanksi pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak sebesar 200% dari PPh yang kurang dibayar dan sanksi pasal 13 Undang-Undang KUP berupa sanksi kenaikan sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayarkan," kata Neil.

Namun, Jennifer belum menentukan langkah mana yang dia ambil. Program PPS sendiri akan berakhir pada Juni 2022.

Pencatatan tidak sesuai

Di hari yang sama, Sarah (juga bukan nama sebenarnya), mendapat surat elektronik serupa dari DJP. Namun, menurut Sarah, isi surat itu keliru. Kepada BBC News Indonesia dia menjelaskan tiga poin yang dinilai tidak sesuai dengan yang dia laporkan.

Pertama, pada jenis harta kas dan setara kas. Sarah mengatakan data DJP mencatat kas dan setara kasnya nol, sementara dia melaporkan nominal tertentu dalam jenis harta itu.

Kedua, pada jenis harta investasi. "Data yang saya laporkan lebih banyak daripada data yang mereka punya. Perbedaannya lumayan signifikan, data yang saya laporkan kurang lebih tiga kali lebih banyak," ujar Sarah.

"Dan yang terakhir, yang mengejutkan adalah, jenis harta tidak bergerak. DJP bilang ada jenis harta satu lagi, jumlahnya Rp600 juta, sementara data SPT Tahunan disampaikan harta jenis ini nol.

"Pada kenyataannya saya punya satu rumah atas nama saya jumlah tidak di atas Rp600 juta itu, tapi memang saya revisit SPT saya via online dan memang sudah didaftarkan. Jadi saya tidak tahu yang Rp600 juta ini apa," kata Sarah menjelaskan.

Perempuan berusia 29 tahun itu mengatakan ada beberapa rekannya juga yang mengalami nasib serupa. Sarah pun heran dan mempertanyakan data yang dipakai DJP.

Berbeda dengan Jennifer yang mau mengurus ini sampai tuntas, Sarah bahkan tidak berniat meminta penjelasan dari kantor pajak karena menurut dia itu bukan kesalahannya.

"Kalau mereka merasa ada yang perlu diaudit, ya sudah, mereka saja yang nyamperin," ujar Sarah.

Namun, langkah yang diambil Sarah itu dinilai kurang tepat. Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi, menyarankan orang-orang yang memiliki pengalaman sama seperti Sarah, sebaiknya menghubungi atau bertemu dengan Account Representative (AR) di kantor pajak.

"Sebaiknya memang ketemu dengan AR, untuk komunikasi datanya seperti apa. Dari situ wajib pajak bisa membuat keterangan tertulis, beserta bukti. Jangan sampai nanti wajib pajaknya justru mendapat SP2, Surat Perintah Pemeriksaan. Jangan sampai kita tidak menjawab, kita tidak merespons, mereka anggap kita tidak responsif. Nah, AR-AR ini mengusulkan pemeriksaan pasca PPS berakhir," imbau Prianto.

Ketika SP2 sudah keluar, dia menambahkan, masalah bisa menjadi lebih rumit karena wajib pajak harus menempuh proses pembuktian.

"Pemeriksaan itu momok. Pembuktiannya yang repot. Kantor pajak mah gampang, tinggal hitung, kalau tidak bisa dibuktikan, itulah utang pajak. Nanti ujungnya kan sengketa, sengketa keberatan, sengketa banding. Saya hitung-hitung bisa sampai 10 tahun untuk mendapatkan keadilan," kata Prianto.

Baca juga:

Direktorat Jenderal Pajak mengatakan PPS dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan lapangan, data pihak ketiga, dan pertukaran data dengan pihak lain sesuai perjanjian.

"Jika memang pada kenyataannya wajib pajak tidak memiliki harta yang belum dilaporkan kepada negara, wajib pajak dapat menghubungi Kantor Pelayanan Pajak terdaftar untuk menyampaikan konfirmasi," kata Neil.

Negara butuh uang cepat

Pelaksanaan program PPS diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Pajak Nomor 7 Tahun 2021 yang berlaku pada 29 Oktober 2021 lalu dan dilaksanakan tahun ini.

Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, pernah mengatakan pada Oktober 2021, bahwa tujuan program PPS adalah meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP).

"Target dari program ini bukanlah jumlah pendapatan. Target dari PPS adalah kepatuhan sukarela sehingga mereka dapat berada dalam sistem pajak kita dan bersama-sama kita bangun untuk Indonesia yang lebih baik," kata Suahasil, dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan.

Prianto mengatakan tren tax ratio atau rasio pajak cenderung mengalami penurunan, yang berarti "kemampuan mengumpulkan pajak semakin rendah".

Tax ratio atau rasio pajak adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pada 2021, Kementerian Keuangan melaporkan rasio pajak mengalami tren penurunan sejak 2016 hingga 2020. Namun, tahun ini rasio pajak kembali naik menjadi 9,11%. Penurunan pada 2020 yang menyentuh angka 8,33 %, salah satunya disebabkan pandemi Covid-19.

Namun, karena sosialisasi PPS dinilai kurang optimal, banyak wajib pajak yang kaget.

Selain meningkatkan kepatuhan pajak, Prianto menambahkan, program PPS juga dilakukan pemerintah untuk mendapatkan jumlah uang yang lebih banyak dalam jangka waktu yang singkat, di luar utang.

Pasalnya, dana pembangunan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin meningkat. Belum lagi karena kondisi pandemi.

"Kondisi pandemi, negara banyak mengucurkan dan untuk belanja, Covid, ya," kata laki-laki yang pernah bekerja sebagai pemeriksa pajak itu.

Cara seperti ini tentunya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tetapi juga di banyak negara.

"Program ini sering dipakai di banyak negara untuk mencari dana cepat tanpa adanya tax dispute di ranah sengketa pajak. Sasarannya tidak hanya mereka yang ngemplang pajak, termasuk mereka yang enggak ngemplang pajak juga dikirimi 'surat cinta', jadi memang masif," ujar Prianto.

Dinilai tidak adil

Jennifer dan Sarah mengaku bukan pengemplang pajak. Menurut keduanya, mereka termasuk orang-orang yang taat membayar pajak, bahkan taat mengisi pelaporan SPT Tahunan. Itu sebabnya mereka heran, sudah patuh, mengapa masih harus ditagih lagi?

Prianto mengatakan, program pengampunan pajak seperti ini, di satu sisi, justru menimbulkan stigma negatif, bahwa "orang-orang yang nggak patuh (membayar pajak) justru dikasih karpet merah dengan program yang ada".

"Orang yang patuh biasanya membayar pajak lebih mahal, dibandingkan dengan yang tidak patuh. Yang tidak patuh, bayar pajaknya lewat program ini, tax amnesty, mumpung ada diskon. Sementara orang yang sudah patuh, mau ikut PPS, sudah nggak ada lagi aset yang diungkap," ujar Prianto.

Program pengampunan pajak juga membuat orang-orang yang mengelak dari kewajiban membayar pajak, akan terus mengelak dan tinggal menunggu program berikutnya, kata Prianto.

Tujuannya, supaya membayar denda dengan jumlah yang biasanya lebih kecil dibandingkan pajak sesungguhnya yang harus dibayarkan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI