Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut kinerja penindakan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan dan Kepolisian dinilai buruk.
Sebab dari 533 kasus rasuah yang terjadi sepanjang 2021, aparat penegak hukum hanya mampu menindak 24 persen perkara.
Peneliti ICW, Lalola Easter pun memberikan nilai D kepada KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya penindakan kasus korupsi.
"Nilai atau kualitas kerja yang kami berikan kepada aparat penegak hukum atau kepada kerja pemberantasan korupsi di sektor penindakan itu hanya D, karena dia hanya mencapai 24 persen,” kata Lalola saat konferensi pers daring, Senin (18/4/2022).
Ia mengemukakan, nilai D atau buruk yang diberikan kepada aparat penegak hukum. Nilai tersebut dihitung berdasarkan jumlah kasus yang terpantau oleh ICW dibandingkan dengan target penindakan kasus selama tahun 2021, dikalikan 100 persen.
Untuk mendapat nilai A, aparat penegak hukum harus mampu menangani 81-100 persen dari kasus korupsi yang ada. Sementara, nilai B 61-80 persen, nilai C 41-80 persen dan 21-40 persen.
Lalola merinci dari 533 kasus dengan kerugian negara sekitar Rp29,438 triliun, sebanyak 484 merupakan kasus baru atau 90,8 persen, 38 kasus pengembangan baru atau 71 persen, dan 11 operasi tangkap tangan (OTT) atau 2,1 persen.
Berdasarkan temuan ICW, penyalahgunaan anggaran menempati posisi pertama modus tindak pidana rasuah yakni 133 kasus. Kemudian kegiatan atau proyek fiktif 109 kasus, penggelapan 79 kasus dan mark up 54 kasus.
"Keempat modus tersebut seringkali ditemukan dalam kasus korupsi pengadaan barang/jasa dan pengelolaan anggaran pemerintah," ujar Lalola.