10 Pekerjaan Rumah untuk DPR Soal UU TPKS yang Dinilai Belum Tuntas

Rabu, 13 April 2022 | 15:29 WIB
10 Pekerjaan Rumah untuk DPR Soal UU TPKS yang Dinilai Belum Tuntas
Massa yang tergabung dalam Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual membawa bunga saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/12/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - LBH Jakarta mengapresiasi langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS pada Selasa (12/4/2022). Meski demikian, LBH Jakarta juga memberikan catatan penting kepada DPR.

Melansir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referandum menilai kemenangan ini tidak lepas dari kerja keras banyak pihak selama 10 tahun terakhir untuk memperjuangkan RUU TPKS menjadi undang-undang. 

"Akhirnya, Indonesia memiliki regulasi yang mengatur berbagai tindak pidana kekerasan seksual dan jaminan atas hak-hak korban. Kami sangat mengapresiasi langkah DPR RI," katanya kepada Wartaekonomi -- jaringan Suara.com, Rabu (13/4).

Meski sudah disahkan, menurutnya, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang tersisa dari naskah terakhir. Berikut 10 perkerjaan rumah dari LBH Jakarta untuk DPR terkait UU TPKS yang dinilai belum tuntas:

Baca Juga: Harvey Malaiholo Diduga Keciduk Nonton Bokep saat Rapat, Fraksi PDIP Bebaskan dari Sanksi

1. Jaminan Ketidakberulangan Kekerasan Seksual

Catatan pertama adalah jaminan ketidakberulangan yang tidak tegas diatur sebagai asas undang-undang. Absennya asas ini berdampak pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. 

2. Pemaksaan Aborsi Belum Diatur

Kedua, LBH Jakarta memberikan catatan kepada DPR mengenai tindak pidana pemaksaan aborsiyang masih tidak diatur dalam UU TPKS.

"Ini soal tindak aborsi harus diatur karena menurut Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 7 korban pemaksaan aborsi di tahun 2020," ujarnya.

Baca Juga: Bicara soal Nonton Video Porno, Ganjar Pranowo Blak-blakan: Saya Juga Suka, Salahnya Dimana?

"Sementara, menurut Komnas Perempuan, terdapat 9 korban sehingga untuk upaya perlindungan, perlu ada aturan yang menegaskan 'tidak memidana' korban pemaksaan aborsi baik karena kedaruratan medis maupun kehamilan akibat kekerasan seksual," imbuhnya.

3. Definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual Belum Diatur

Dalam perundang-undangan TPKS, masih tidak mengatur definisi beberapa tindak pidana. Di antaranya seperti perkosaan, perkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran.

Ketiadaan definisi ini berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam level implementasi.

4. Hak Korban Belum Sepenuhnya Diakomodasi

Hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodasi. Contohnya seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan dan hak untuk menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas.

Lalu hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh, dan hak bebas dari pertanyaan menjerat, serta hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi, belum diatur.

5. Hak Perlindungan Korban Belum Sepenuhnya Diakomodasi

Hak korban terkait perlindungan belum seluruhnya diakomodasi. Salah satunya mengenai hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan.

Kemudian hak untuk mendapatkan layanan rumah aman. Selanjutnya hak untuk mendapatkan informasi dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan, atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman, belum diatur.

6. Pemulihan Korban Belum Seluruhnya Diakomodasi

Aturan mengenai pemuliha korban juga belum seluruhnya diakomodasi dalam UU TPKS. Salah satunya, hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik.

Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi, dan ekonomi, UU TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci.

"Misal, tidak ada jaminan atas kebutuhan dasar yang layak; layanan keterampilan, modal usaha, dan/atau kemudahan akses mendapat pekerjaan yang layak; serta layanan kemudahan pemulihan kepemilikan harta benda," ujar Citra.

7. Hak Keluarga Korban Belum Diakomodasi

Dalam RUU TPKS, belum mengakomodasi beberapa hak keluarga korban. Di antaranya adalah hak mendapatkan tempat tinggal sementara, serta hak atas pemberdayaan ekonomi keluarga dan perlindungan sosial;

Begitu pula hak untuk mendampingi keluarga yang menjadi korban, saksi dan pelapor kasus kekerasan seksual, hak mendapatkan dukungan akomodasi dan transportasi, hingga hak untuk tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi.

8. Hak Saksi dan Ahli Belum Diatur

UU TPKS  masih belum mengatur hak saksi dan ahli, seperti hak atas informasi tentang hak dan kewajibannya sebagai saksi atau ahli dalam proses peradilan perkara tindak pidana kekerasan seksual.

Lalu hak atas kerahasiaan identitas diri, keluarga, kelompok atau komunitasnya; hak untuk memperoleh surat pemanggilan yang patut, fasilitas atau biaya transportasi,  dan akomodasi selama memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana perkara tindak pidana kekerasan seksual.

"Contoh jaminan hak atas layanan psikolog klinis atau dokter spesialis kesehatan jiwa bagi saksi; hak atas layanan bantuan hukum bagi saksi; hak untuk mendapatkan layanan rumah aman bagi saksi; dll," tambahnya.

9. Upaya Pencegahan Belum Lengkap

Upaya pencegahan kekerasan seksual juga belum lengkap. Dalam UU TPKS, belum ada aturan penyebarluasan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual.

Contoh pencegahan seperti menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual, membangun kebijakan penghapusan kekerasan seksual yang berlaku bagi lembaga negara, pemerintah dan pemerintah daerah, belum diatur.

"Membangun komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat dalam perekrutan, penempatan dan promosi jabatan pejabat publik," jelas Citra.

"Memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi pejabat dan aparatur penegak hukum yang dikelola oleh negara dan membangun sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi dalam sistem pendataan nasional," lanjutnya.

10. Larangan Bagi Aparat Soal Diskriminasi Korban Belum Diatur

LBH Jakarta menyebut UU TPKS harus ketat mengatur larangan bagi aparat penegak hukum. Hal ini dilakukan agar aparat tidak menggunakan pertimbangan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya.

Pasalnya, sejumlah pertimbangan aparat itu berpotensi mengandung muatan diskriminasi terhadap korban. 

"RUU TPKS ini diharapkan dapat mengatur juga aparat penegak hukum agar tidak menggunakan penafsiran ahli yang bias gender dan tidak mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender," imbuhnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI