Suara.com - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyoroti kasus pengeroyokan Ade Armando saat demo mahasiswa di depan Gedung DPR RI, Senin (11/4/2022). Ia menyayangkan kejadian tersebut.
Melansir Wartaekonomi.co.id -- jaringan Suara.com, Din Syamsuddin menilai kekerasan terhadap Ade Armando membuat tujuan unjuk rasa menjadi tidak tersampaikan. Pasalnya, pemberitaan menjadi lebih fokus terhadap Ade Armando, ketimbang esensi demo.
"Saya lihat hari ini koran mengemukakan apa aspirasi mahasiswa. Tapi kasus Ade Armando yang menghiasi headline di TV maupun media sosial. Kejadian seperti kemarin ya, apa ya esensi demonya menjadi tenggelam," ujarnya saat ditemui di Masjid Kampus UGM Yogjakarta, Selasa malam (12/4/2022).
Din Syamsuddin sendiri menegaskan dirinya tidak mendukung segala bentuk aksi kekerasan, baik dari rakyat maupun aparat. Ia menilai kasus Ade Armando itu seharusnya bisa dicegah.
Menurutnya, Ade Armando selama ini dikenal sebagai sosok kontroversial. Kedatangan Ade Armando di tengah aksi mahasiswa yang memiliki pandangan berseberangan tentu seharusnya bisa diantisipasi oleh pihak kepolisian.
"Saya penganut aliran nir kekerasan, oleh siapapun. Baik oleh rakyat berunjuk rasa maupun oleh aparat keamanan," aku Din Syamsuddin.
"Kasus Ade Armando seharusnya bisa diantisipasi. Dia figur yang kontroversial yang berada ada pada pikiran seberang dengan yang mahasiswa berdemo," imbuhnya.
Ia pun mempertanyakan peran polisi yang lalai melakukan upaya antisipasi. Padahal, polisi dinilai bisa tidak mengizinkan Ade untuk berada di tengah kelompok massa yang tengah berdemo.
Selain mengomentari kasus Ade, Din juga mendukung aksi mahasiswa yang berdemo. Ia menilai hal itu sebagai wujud implementasi kebebasan berpendapat dan ekspresi, khususnya dalam menyuarakan keresahan atas kebijakan pemerintah.
Baca Juga: 5 Artis Pernah Disentil Ade Armando, Dibilang Memalukan dan Membahayakan
"Saya berpendapat demokrasi atau unjuk rasa itu adalah ritual demokrasi yang dalam konteks Indonesia dijamin oleh konstitusi," jelasnya.
"Khususnya Pasal 28 tentang adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Saya melihatnya sebagai sesuatu yang bukan hanya wajar, tapi memang mendesak," sambungnya.
Lebih lanjut, Din turut membandingkan aksi demo mahasiswa Tanah Air dengan di luar negeri. Ia menyebut demo di Indonesia sering mengerahkan banyak massa, tetapi suara tidak pernah didengar.
Berbeda dengan demo di luar negeri. Walau peserta demo hanya 5 hingga 10 orang, tetapi aspirasi tersampaikan. Ia juga menyentil DPR yang dinilai tidak menyuarakan suara rakyat.
"Kita ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu nggak didengar, tapi nyaris menjadi sebuah konflik politik. Lembaga perwakilan rakyat seperti DPR kita memang tidak terdengar membicarakan menyuarakan itu," kata Din.
"Nah, oleh karena itu sangat-sangat wajar adanya ekpresi demokrasi oleh mahasiswa," tandasnya.