Pengalaman Mahasiswa Indonesia, Perdana Puasa Ramadhan di Amerika Serikat dan Inggris

Rabu, 13 April 2022 | 03:35 WIB
Pengalaman Mahasiswa Indonesia, Perdana Puasa Ramadhan di Amerika Serikat dan Inggris
Nadia Sekarsari Atmaji, Mahasiwa asal Indonesia yang studi MA Digital Media di UCL London (Ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bulan suci ramadhan jadi salah satu momentum penting berkumpul bersama keluarga dan kolega. Namun momen tersebut tak dirasakan Haikal Al Haidar (25) alias Ekal pada bulan puasa kali ini.

Ramadhan tahun ini pengalaman pertama Ekal yang harus jauh dari keluarga karena lagi studi S2 ke Amerika Serikat. Ada tentangan berbeda yang dirasakan Ekal menjalankan ibadah puasa di negeri Paman Sam.

Yang mendasar ia rasakan adalah perbedaan waktu berpuasa, tak ada yang membangunkan sahur hingga makanan takjil untuk berbuka puasa. Waktu puasa di Washington DC, AS lebih lama, yakni 14 jam dibandingkan di Indonesia yang hanya sekitar 13 jam.

"Mendekati lebaran, jadinya akan lebih lama sekitar 15 jam 10 menit karena sudah semakin mendekati musim panas dan rentang waktu matahari lebih lama," ujar Ekal kepada Suara.com, Selasa (12/4/2022).

Baca Juga: Masuki Seri Eropa, Begini Target Fabio Quartararo di MotoGP 2022

Pria kelahiran Ternate, Maluku Utara ini menceritakan untuk menu berbuka puasa, sangat berbeda dengan di Indonesia yang umumnya terdiri dari gorengan, kolak dan lainnya. Di sana ia berbuka puasa dengan roti, susu dan makanan lain yang tersedia.

Haikal Alhadar, Mahasiswa asal Indonesia studi S2 bidang Global Human Development, School of Foreign Service di Georgetown University. (Ist)
Haikal Alhadar, Mahasiswa asal Indonesia studi S2 bidang Global Human Development, School of Foreign Service di Georgetown University. (Ist)

Tak jarang ia memasak untuk makanan buka puasa. Namun jika tak sempat, ia akan mencari makanan berbuka di sekitar, baik melalui food truck atau melalui WhatsApp maupun instagram.

"Jadi cari waktu di sela-sela waktu kuliah untuk siapin makanan, simpan di kulkas. Jadi kalau sudah mau waktu buka puasa, bisa dipanaskan langsung. Atau kalau memang lagi senggang, akan mulai masak mendekati waktu buka, biar sekalian semangat ngabuburit," tutur Ekal.

Untuk makanan sahur, Ekal harus menyiapkan makanan saat malam hari. Pasalnya, tak ada restoran atau rumah makan yang buka saat sahur seperti di Indonesia.

Kebersamaan Ramadan

Baca Juga: Waktu Terbaik BacaDoa Buka Puasa Ramadhan, Setelah atau Sebelum Minum?

Mahasiswa S2 bidang Global Human Development, School of Foreign Service di Georgetown University ini tetap bersyukur, meski jauh dari orangtua. Ia merasakan suasana ramadhan bersama rekan sesama muslim baik dari Indonesia maupun dari rekan-rekan muslim yang berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan maupun Afrika.

Di kampusnya sendiri terdapat komunitas muslim yang aktif yaitu Georgetown Muslim. Mereka kerap mengadakan ragam acara seperti Interfaith Ifthar bersama komunitas spiritual lain yang ada di Georgetown University.

Perkumpulan Permias atau kelompok kecil mahasiswa Indonesia tak kalah dalam mengadakan acara buka puasa bersama.

"Tapi kalau memang di waktu sehari-hari, buka puasa juga sendiri bersama teman-teman non muslim di sini, karena berhubung aktivitas perkuliahan sudah berjalan normal," kata Ekal.

Tak hanya itu, Ekal juga bersyukur kampusnya memiliki masjid. Sehingga jika saat berada di kampus ia menyempatkan untuk salat tarawih.

"Jadi kalau sedang berada di area kampus, bisa menyempatkan salat di Masjid. Kalau tidak, bisa juga dilakukan di rumah," ucap Ekal.

Namun momentum kebersamaan dan kekeluargaan sangat ia rindukan di bulan ramadhan. Ia jadi teringat kampung halamannya yang suasana ramadhan sangat kental, karena kalau malam hari terdengar suara orang tadarus.

"Kalau di rumah suasana ramadan kental sekali, sering dengar di masjid ada pengajian, azan. Buka puasa bersama juga jadi ajang ketemu teman-teman. Jajanan khas buka puasa juga menarik-menarik," kenangnya.

Selain momentum kebersamaan, Ekal juga sangat merindukan makanan Indonesia ketika sahur dan buka puasa. "Misalnya tahu isi, martabak telor, pisang goreng, atau menu makan malam kayak soto ayam, ayam penyet, nasi kuning, bakso," kata dia.

Ekal juga menceritakan tantangan berpuasa di negara orang yaitu suasana dan lingkungan yang jauh lebih beragam dari Indonesia. Namun tantangan yang lebih berat yaitu jauh dari keluarga dan kerabat.

"Sedangkan ramadhan juga selain refleksi diri adalah waktu kebersamaan dengan semua orang yang tercinta," ucapnya.

Bahkan waktu aktivitas sehari-hari juga tak berbeda dengan hari-hari biasa. Terlebih saat Lebaran, nanti tak ada hari libur sehingga tetap aktivitas seperti biasa.

"Nanti pas lebaran juga bakal seperti biasa, tidak ada libur. Bahkan masih ada kelas dan sudah mendekati waktu ujian akhir," katanya.

Ramadan pertama di negara orang juga dirasakan Nadia Sekarsari Atmaji (29). Mahasiwa MA Digital Media di UCL London, Inggris ini juga merasakan perbedaan saat menjalani ibadah puasa.

Terlebih ibu muda ini harus meninggalkan suami dan satu anak, serta keluarganya di Indonesia.

"Tahun ini rasanya rindu sekali dengan suami, anak, kakak, keponakan, dan juga tentunya orang tua, mertua dan keluarga suami. Dua tahun berturut-turut saya melewati bersama keluarga saat hamil dan saat baru melahirkan," kata Nadia saat berbincang kepada Suara.com.

Nadia juga merindukan suasana Ramadan bersama keluarga di rumah dari mulai tarawih dan buka puasa. Apalagi kata dia saat pandemi, ibadah tarawih dilakukan di rumah bersama keluarga.

Mantan jurnalis ini mengatakan meski tak bersama keluarga, ia memiliki rekan-rekan satu flat asal Indonesia yang juga menjalani puasa.

Sehingga solidaritas dan kebersamaan terus terjaga. Seperti saling membangunkan sahur dan menikmati buka puasa bersama antar sesama mahasiswa Indonesia.

Nadia menceritakan bahwa perbedaan di London dan Indonesia sangat berbeda. Perbedaan waktu puasa di London lebih lama, sekitar 16 jam. Bahkan menjelang Idul Fitri bisa sampai sekitar 20 jam, lantaran sedang semi menuju musim panas.

"Perbedaan waktu puasa, buka puasa yang biasanya jam 6 sore sekarang hampir jam 8 malam. Cukup berat sih, namun berhubung di sini cuacanya relatif dingin jadi cukup membantu mengurangi rasa hausnya," kata dia.

Selain itu perbedaan yang lain yakni tarawih. Biasanya di Indonesia, Nadia hanya berjalan kaki jika ingin ibadah tarawih di masjid dekat rumah.

Namun jika ingin salat tarawih di London, dirinya harus menggunakan bus dengan jarak waktu pulang pergi sekitar 1 jam.

"Sejauh ini lebih sering tarawih di rumah, selanjutnya sih ingin coba ke masjid lain seperti East London Mosque," ungkap Nadia.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menceritakan untuk sahur dan buka puasa ia harus menyiapkan sendiri agar menghemat pengeluaran sebagai pelajar.

Tak jarang ia dan rekannya satu flat memasak bersama untuk membuat takjil seperti kolak, jagung susu, ronde, biji salak dan lainnya. Jika tak sempat memasak, ia biasanya membeli makanan.

"Tapi kalau mau makan di luar ya dicari yang halal aja. Biasanya ada logo halal-nya gitu di restorannya atau bisa googling dulu sebelum ke restorannya," papar dia.

Kata Nadia, umat muslim di London juga dapat menikmati takjil gratis saat berada di London Central Mosque.

"Biasanya kalau ke London Central Mosque suka ada ibu-ibu Indonesia yang menawarkan takjil kolak ke sesama warga Indonesia atau ke warga London setempat," kata Nadia.

Meski jauh dari keluarga, Nadia juga merasakan suasana Ramadhan yaitu mengikuti acara buka puasa bersama yang digelar PPI UK dan PPI London. Muslim di London cukup banyak, kota yang beragam.

Komunitas muslimnya kuat, sehingga masjid pasti selalu penuh dengan warga muslim yang berasal dari berbagai belahan dunia.

"Di London ada Indonesia Islamic Center London, saya pernah ikut kepanitiaan Wakaf Mozaik pembangunan Masjid Indonesia di London dan ikut buka puasa bersamanya," kata dia.

Selain kerinduan momentum bersama keluarga saat Ramadan, berbagai macam makanan juga dirindukan oleh Nadia. Seperti ketan hitam, dawet, opor, rendang, sambal goreng, krecek dan lainnya.

"Itu semua makanan kesukaan saya. Bisa sih masak sendiri disini tapi tentu rasanya akan berbeda karena rempah-rempah disini tidak selengkap di Indonesia dan harganya cukup mahal," tutur Nadia.

Tak hanya makanan, momen yang dirindukan Nadia seperti ibadah tarawih, shalat id, hingga sungkem sama keluarga saat lebaran yang pasti tak bisa ia rasakan tahun ini.

"Biasanya kami ada dresscode dan dipakai kembaran saat solat id. Lalu juga ngabuburit main sama anak. Terus pas suster pada mudik, saya dan suami dan keluarga juga bantu urus anak. Jadi kerjasama itu kunci. Momen menjadi lebih dekat dengan keluarga itu yang tidak ternilai harganya," ucapnya.

Penerima beasiswa LPDP ini juga mengaku lancar dalam menjalani ibadah puasa di London.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI