Suara.com - Menjalankan puasa Ramadhan dengan diiringin niat untuk diet menurunkan berat badan, apakah boleh dalam hukum Islam? Karena puasa juga memilik efek manfaat dari sisi medis, tidak jarang dalam puasanya seseorang menyertakan niat melakukan diet.
Pada dasarnya, puasa merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Tidak sah berpuasa tanpa niat.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
“Keabsahan beberapa amal bergantung kepada niat-niatnya” (HR al-Bukhari).
Baca Juga: Gogoso' Ikan Tuna Kuliner Khas Saat Berbuka Puasa di Kota Makassar
Dikutip dari NU Online, batas minimal yang mencukupi dalam niat puasa adalah dengan menyebutkan qashdul fi‘li dan ta’yin. Maksud dari qashdul fi’li adalah menyengaja melakukan puasa, misalnya “aku niat berpuasa”.
Sementara, Ta’yin artinya menentukan jenis puasanya, sekira bisa dibedakan dengan jenis puasa yang lain, semisal puasa Ramadhan, puasa qadha Ramadhan, puasa kafarat, dan lain sebagainya.
Penentuan jenis puasa (ta’yin) disyaratkan dalam puasa wajib. Sedangkan puasa sunnah sah dilakukan dengan niat yang mutlak, semisal “aku niat berpuasa” tanpa menentukan jenis puasanya.
Menurut Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’, pengecualian berlaku untuk jenis puasa sunnah rawatib, yaitu puasa yang rutin dilakukan yang memiliki waktu khusus seperti puasa Asyura, puasa Arafah, puasa enam hari Syawal dan lain sebagainya, maka wajib menentukan jenis puasa-puasa tersebut dalam pelaksanaan niatnya. Semisal “aku niat puasa Syawal”, “Aku niat puasa Asyura” dan lain sebagainya.
Al-Imam al-Nawawi menegaskan:
Baca Juga: Tata Cara Itikaf di 10 Hari Terakhir Ramadahan, Apa Saja yang Perlu Dilakukan?
“Adapun puasa sunnah, sah dengan niat mutlaknya berpuasa seperti di dalam kasus niat shalat. Hal ini sebagaimana dimutlakan oleh para muridnya Imam al-Syafi’i. Namun seyogianya disyaratkan menentukan niat di dalam puasa rutin seperti puasa Arafah, Asyura, hari-hari purnama, enam hari Syawal dan semisalnya, sebagaimana disyaratkan hal tersebut dalam shalat sunnah rawatib” (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 295).
Adapun puasa Ramadhan, contoh minimal niatnya adalah “aku niat berpuasa Ramadhan”, dan contoh niatnya yang paling sempurna adalah “aku niat berpuasa di esok hari karena menjalankan kewajiban Ramadhan tahun ini karena Allah”.
Standar minimal niat puasa sebagaimana penjelasan di atas wajib dilakukan untuk jenis puasa apa pun, artinya tidak sah berpuasa tanpa tata cara niat sebagaimana penjelasan tersebut, misalnya orang berpuasa Ramadhan niatnya “aku niat berpuasa karena diet”, yang demikian ini tidak sah, sebab tidak menyebutkan redaksi Ramadhan dalam pelaksanaan niat.
Lalu bagaimana jika sudah niat puasa sesuai standar fiqih, namun disertai motivasi lain di luar ibadah, semisal diet. Dalam hal ini diperinci menjadi dua kasus.
Pertama, niat diet disertakan saat pelaksanaan niat puasa, semisal “aku niat berpuasa Ramadhan dan diet”. Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan puasanya. Menurut pendapat yang kuat, puasa Ramadhannya tetap sah. Kasus yang demikian jarang sekali terlaku, bahkan hampir tidak ada.
Kedua, ada motivasi melakukan diet di luar pelaksanaan niat puasa. Kasus yang kedua ini banyak terjadi. Artinya, seseorang tetap niat puasa seperti aturan fiqih, namun ia memilki motivasi lain di luar puasa, yakni melakukan diet. Dalam hal ini, puasanya tetap dihukumi sah, sebab puasa telah dilakukan dengan niat sesuai standar fiqih.
Sedangkan untuk pahala, ulama berbeda pendapat. Menurut al-Imam al-Zarkasyi dan Izzuddin bin Abdissalam, tidak mendapat pahala puasa secara mutlak. Menurut Syekh Ibnu Hajar, mendapat pahala secara mutlak, baik tujuan ibadah lebih dominan, berimbang atau bahkan dikalahkan oleh tujuan diet.
Menurut Imam al-Ghazali diperinci, jika tujuan diet lebih dominan, maka pahala puasa tidak didapat, jika lebih dominan tujuan puasa, maka mendapat pahala. Jika keduanya berimbang, maka saling berguguran. Menurut sebagian ulama, bila dua tujuan berimbang, tetap mendapat pahala.
Sehingga, berpuasa dengan motivasi melakukan diet hukumnya tetap sah sepanjang niat puasa tetap dilakukan sesuai aturan fiqih. Adapun pahala puasa, ulama ikhtilaf sebagaimana penjelasan di atas. Dengan demikian, hendaknya motivasi utama dalam menjalani ibadah puasa adalah berpuasa atas dasar mengikuti perintah agama, agar pahala berpuasa lebih terjamin dan kualitas puasa menjadi semakin berkualitas di sisi-Nya.