PBB Ungkap Marak Kasus Pemerkosaan Hingga Perdagangan Manusia Selama Perang Ukraina

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 12 April 2022 | 11:59 WIB
PBB Ungkap Marak Kasus Pemerkosaan Hingga Perdagangan Manusia Selama Perang Ukraina
Wanita dan anak-anak mengungsi di stasiun kereta api kota Lviv, Ukraina, Jumat (11/3/2022). [Yuriy Diachyshyn / AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Senin (11/4/2022) mengungkapkan, bahwa perempuan dan anak-anak Ukraina berisiko tinggi mengalami kekerasan seksual, pemerkosaan dan perdagangan manusia, seiring semakin banyaknya laporan mengenai kasus-kasus tersebut.

“Tuduhan-tuduhan ini harus diselidiki secara independen untuk menjamin keadilan dan keterbukaan,” kata Direktur Eksekutif U.N. Women, Sima Bahous, kepada Dewan Keamanan PBB.

“Kombinasi perpindahan massal dan kehadiran massif mereka yang menjalani wajib militer serta tentara bayaran, dan juga kebrutalan terhadap warga sipil Ukraina, telah memberi peringatan.”

Bahous, yang baru kembali dari misi ke Moldova, mengatakan risiko perdagangan manusia juga meningkat, karena orang-orang menjadi lebih putus asa untuk bisa melarikan diri dari perang di Ukraina.

Baca Juga: Khotbah Kepala Gereja Ortodoks Rusia, Serukan Dukungan Invasi Di Ukraina

“Yang paling beresiko adalah perempuan muda dan para remaja tanpa pendamping,” ungkapnya. “Saya menyerukan semua negara untuk meningkatkan upaya memerangi perdagangan manusia dan memuji semua negara yang telah menampung para pengungsi Ukraina atas kerja sama dalam melakukan tindakan pencegahan.”

Ia menyerukan para donor untuk mendukung negara-negara, termasuk Moldova, yang telah menerima lebih dari 400.000 pengungsi, agar mereka dapat memantau penyeberangan perbatasan dan mendukung para korban.

Kateryna Cherepakha, presiden organisasi masyarakat sipil Ukraina, La Strada-Ukraine, menyampaikan penjelasan singkat secara virtual. Ia mengatakan tentara Rusia menggunakan kekerasan dan pemerkosaan sebagai senjata perang.

Ia mengatakan bahwa organisasinya memiliki kesaksian kredibel dari sekitar selusin perempuan dan gadis yang diperkosa di daerah-daerah yang sempat diduduki Rusia.

“Diperkosa oleh sekelompok penjajah, bahkan berulang kali, dengan ancaman nyawa para penyintas, anak-anak mereka, anggota keluarga mereka, di hadapan anggota keluarga dan orang lain,” ungkapnya.

Baca Juga: Saksi Mata Tragedi di Bucha: Setiap Hari Selalu Ada Ledakan, Warga Sipil Ditembaki di Jalan

Ia mengatakan bahwa para penyintas sangat trauma, takut akan keselamatan mereka dan kesulitan membicarakan serangan seksual yang dialami.

“Mereka membutuhkan dukungan, terapi, dan penyembuhan terlebih dahulu,” kata Cherepakha.

Lebih dari 4,5 juta orang telah meninggalkan Ukraina sejak Rusia menginvasi negara itu 24 Februari lalu. Hampir 90 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sekitar 7,1 juta orang lainnya terlunta-lunta di dalam negeri.

Badan anak PBB, UNICEF, mengatakan bahwa lebih dari 7 juta orang usia sekolah berhenti sekolah – 5,7 juta di antaranya adalah anak usia sekolah, sementara 1,5 juta lainnya mahasiswa.

Yang lebih parah lagi, PBB telah memverifikasi pembunuhan terhadap 142 anak, sementara 229 anak lainnya terluka.

Wakil duta besar Rusia untuk PBB mengatakan kepada dewan bahwa pemerintahan negaranya “tidak berperang melawan penduduk sipil.” Ia kembali menyebut bahwa tuduhan terhadap Rusia merupakan bagian dari perang informasi “intens” yang ditujukan terhadap Moskow.

“Kami melihat niat yang jelas untuk mencitrakan tentara Rusia sebagai sosok sadis dan pemerkosa,” kata Dmitry Polyansky kepada dewan mengenai laporan kekerasan seksual tersebut. (Sumber: VOA Indonesia)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI