Suara.com - Salah satu tradisi unik di Bulan Ramadhan adalah kehadiran Bubur Samin di Masjid Darussalam, Kelurahan Jayengan, Kecamatan Serengan, Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah. Bubur samin ini bukan sekadar makanan berbuka puasa, tapi punya sejarah panjang hingga menjadi hidangan khas Ramadhan di Solo.
Tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa dimulai oleh para perantau asal Banjar, Kalimantan Selatan, di wilayah Solo sekitar tahun 1980.
Para perantau Banjar yang tinggal di daerah Jayengan membangun langgar yang kemudian menjadi Masjid Darussalam.
Bagian dari budaya dan kuliner Banjar pun kemudian berkembang di daerah permukiman perantau Banjar di Solo.
Baca Juga: Tradisi Hadrat di Ambon, Bangunkan Warga Muslim Sahur saat Ramadhan
Kerinduan terhadap kampung halaman mendorong para perantau dari Banjar untuk membuat bubur samin bersama guna memperkuat tali persaudaraan masyarakat Banjar di perantauan.
Kebiasaan tersebut kemudian berkembang menjadi tradisi pembagian bubur samin gratis kepada warga pada bulan puasa. Warga dari daerah lain pun selanjutnya menjadi penasaran ingin mencicipi bubur khas Banjar yang beraroma sedap itu.
Antrean untuk mendapatkan bubur samin di Masjid Darussalam biasanya dimulai sekira setelah Ashar. Mereka berdiri berjajar hingga di luar halaman masjid sambil menenteng rantang atau tempat lain untuk mewadahi bubur samin yang akan dibagikan oleh panitia, yang kembali melaksanakan tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa tahun ini.
Tradisi pembagian Bubur Samin ini sempat ditiadakan karena pandemi COVID-19.
"Akhirnya saat ini kembali kami adakan, namun untuk antrean tetap dengan protokol kesehatan," kata Nurcholis, ketua panitia pembagian bubur samin di Masjid Darussalam.
Baca Juga: Keutamaan Asmaul Husna, Nama-nama Indah Allah SWT yang Kerap Dibaca saat Dzikir dan Berdoa
Dalam satu hari panitia bisa membagikan sampai ratusan porsi bubur samin kepada warga. Setelah dibagi, bubur samin bisa dinikmati di masjid atau juga dibawa pulang ke rumah untuk berbuka puasa.
Bubur samin merupakan perpaduan aneka bahan makanan dan rempah yang sehat dan lezat. Bubur samin dibuat dari beras, rempah-rempah, macam-macam sayuran, daging, dan minyak samin.
"Insya Allah menyehatkan. Ada daging, sayur, minyak, karbohidrat, disajikan hangat dan mengenyangkan," katanya.
"Kami terbuka terhadap siapa saja (yang ingin mendapat bubur samin), banyak juga warga non-muslim yang suka," ia menambahkan.
Semua bahan untuk pembuatan bubur direbus bersama air dan diaduk selama kurang lebih dua jam.
Proses pembuatan bubur samin dalam jumlah banyak membutuhkan tenaga dari beberapa pria dewasa karena adonan bubur harus terus diaduk agar tidak sampai mengendap di dasar panci.
Karena proses pembuatannya lama dan cukup menguras tenaga, panitia mulai memasak bubur samin setelah shalat dzuhur sampai waktu shalat ashar tiba saat Ramadhan.
Setelah itu, panitia akan membagikan bubur samin kepada warga yang biasanya sudah datang dan mengantre sejak siang hari.
Panitia pembagian bubur samin di Masjid Darussalam dalam satu hari memasak sekitar 35 kg beras untuk membuat bubur samin dan jika peminat bertambah, maka panitia akan menambah porsi beras yang dimasak menjadi 40 kg pada pekan berikutnya.
Dalam antrean panjang warga yang ingin mendapat bagian bubur samin di Masjid Darussalam ada Afni Duriahtuti, yang mengaku hampir setiap Bulan Ramadhan selalu ikut mengantre demi mendapatkan bubur samin yang gurih dari panitia.
"Sudah dua tahun ini kan tidak (ada pembagian bubur samin). Biasanya (antre untuk mendapat bubur samin) buat keluarga. Kalau pas Ramadhan selalu antre seperti ini," katanya.
Siwi Wardani, warga yang lain, saat berada di Kota Solo juga selalu berusaha mampir ke Masjid Darussalam untuk ikut mengantre mendapat bubur samin pada bulan puasa.
"Saya kebetulan bukan warga Solo tetapi selalu ke sini kalau pas ke Solo. Memang rasanya enak. Kadang saya ikut berbuka puasa di sini juga," katanya.
Tradisi pembagian bubur samin pada bulan puasa tetap dipertahankan setelah sebagian dari warga asal Banjar yang merantau ke Solo dan keturunan mereka berpencar untuk mencari rezeki ke daerah-daerah yang lain seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Sukoharjo, dan Semarang. (Antara)