Suara.com - Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, akan melakukan kunjungan kerja ke sejumlah negara di Eropa, di tengah ancaman boikot Amerika Serikat terhadap pertemuan G20 jika Rusia menghadirinya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah mengatakan, kunjungan kerja itu antara lain membahas berbagai isu terkini, mulai upaya peredaan ketegangan Rusia-Ukraina hingga upaya lobi terkait KTT G20.
Namun politikus dan anggota DPR, Effendi Simbolon menganggap langkah itu seharusnya dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo, sehingga dampaknya diharapkan bisa lebih terasa.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen mengatakan pihaknya akan memboikot sejumlah pertemuan G20 di Bali jika pejabat Rusia hadir.
Baca Juga: Indonesia Punya Peran Sentral Damaikan Perang Rusia dan Ukraina di Momen G20
Sementara, pengamat hubungan internasional Aleksius Jemadu mengatakan, Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20, tetap harus menggelar acara itu tepat waktu, walaupun nantinya benar-benar diboikot oleh negara-negara Barat.
Baca juga:
- Perang di Ukraina: Mayoritas publik Indonesia kagumi Putin, pakar khawatir 'bangsa kita dicap hipokrit'
- Perang Ukraina: Didesak untuk dikeluarkan dari G20, Kremlin: 'Tak ada hal mengerikan yang akan terjadi', Indonesia tetap mengundang Putin
- Rusia serang Ukraina: Apakah orang-orang Rusia benar-benar mendukung invasi?
'Biden meminta Rusia dikeluarkan dari G20'
Ancaman Amerika Serikat untuk memboikot pertemuan G20 di Bali, kembali disuarakan, di tengah sikap Indonesia yang tidak menentang rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan itu.
Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen, Kamis (07/04), mengatakan pihaknya akan memboikot sejumlah pertemuan G20 di Bali jika ada pejabat Rusia yang hadir.
"Presiden Biden menjelaskan, dan saya tentu setuju dengannya, bahwa Rusia tidak bisa menjadi mitra bisnis seperti biasa di lembaga keuangan mana pun," kata Yellen dalam menanggapi sebuah pertanyaan, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Baca Juga: Jadi Jubir G20, Maudy Ayunda Sasar Kaum Milenial
"Dia meminta agar Rusia dikeluarkan dari G20, dan saya telah menjelaskan kepada rekan-rekan saya di Indonesia bahwa kami tidak akan berpartisipasi dalam sejumlah pertemuan jika Rusia ada di sana," lanjut Yellen.
Menlu Retno akan ke sejumlah negara Eropa
Menanggapi hal itu, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan, pihaknya terus melakukan komunikasi dengan negara-negara anggota G-20 dan mengharapkan agar semua menghadiri acara itu.
"Dengan tetap mengharapkan kehadiran seluruh anggota G20 dalam berbagai rangkaian pertemuan," kata Faizasyah dalam jumpa pers, Kamis (07/04) melalui zoom.
Pemerintah Indonesia, lanjutnya, baik Presiden, menteri atau pejabat di bawahnya, juga sudah melakukan komunikasi dengan negara anggota G20.
"Untuk mendapatkan pandangan secara komprehensif dan juga digunakan untuk menyampaikan perspektif Indonesia sebagai presidensi G20," jelasnya.
Teuku Faizasyah juga membenarkan, bahwa Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan melakukan kunjungan kerja ke sejumlah negara di Eropa.
Kunjungan ini disebutnya akan membahas pula berbagai isu terkini, termasuk G20 dan upaya meredakan ketegangan Rusia-Ukraina.
"Pastinya Menteri Luar Negeri akan tetap melakukan upaya-upaya untuk mencoba meredakan ketegangan dan mencari solusi damai antara pihak-pihak terkait," papar Faizasyah.
Indonesia tahun ini memimpin G20, dan memilih untuk tidak memihak dalam konflik Ukraina-Rusia, namun tanpa kehadiran pemimpin negara Barat dikhawatirkan pertemuan tersebut dianggap sulit menghasilkan solusi.
'Presiden Joko Widodo seharusnya turun langsung'
Para pengamat meminta agar pemerintah Indonesia melakukan lobi politik khusus untuk meyakinkan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, agar menghadiri pertemuan itu.
Politikus PDI Perjuangan yang juga anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, mengapresiasi rencana kunjungan Menlu Retno ke sejumlah negara Eropa.
Tetapi menurutnya Presiden Joko Widodo seharusnya yang turun tangan langsung.
"Inilah waktunya, 'bapak sebagai presidensi G20 dan Presiden Indonesia', dan pemimpin kita Bung Karno pernah [melakukannya], ayo pak [Jokowi) berangkat."
"Itu otomatis dua negara itu akan melakukan gencatan senjata, minimal dua jam, apalagi kita ada kepentingan mensukseskan agenda G20 di Bali.
"Makanya saya bilang ke Ibu Menlu [Retno Marsudi], agar dirinya [selama ke Eropa] membuka jalan agenda menuju ke sana [kehadiran Presiden Jokowi demi upaya perdamaian dan kesuksesan G20]," jelas Effendi.
Menurutnya, invasi Rusia ke Ukraina sudah merupakan 'agenda' antar pemimpin dunia. "Misalnya antara Jokowi dan Joe Biden, misalnya."
Lagipula, posisi Indonesia sebagai presidensi dan tuan rumah G20, menurutnya, seharusnya membuat Indonesia - setingkat presiden - lebih banyak mengambil peran belakangan ini.
"Kenapa kita berdiam diri? Saya tidak melihat ada peran kita. Dan Ibu Menlu bilang 'saya akan berkunjung ke sana [Eropa]', tapi saya bilang ini bukan level menteri.
"Bahkan level presiden belum tentu berhasil, tapi yang penting ikhtiar kita bisa menengahi konflik di sana," ujar Effendi.
'Kecil kemungkinan upaya lobi akan berhasil'
Sebaliknya, pengamat hubungan internasional yang juga Guru Besar Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Profesor Aleksius Jemadu, meragukan lobi-lobi yang dibangun pemerintah Indonesia, akan membuahkan hasil.
"Kecil sekali kemungkinannya, kalau Putin hadir, dan negara-negara Barat bisa diajak untuk berkompromi [untuk hadir di G20]," kata Aleksius kepada BBC News Indonesia, Kamis (07/04).
Hal itu didasarkan sikap terbaru Amerika Serikat dan sekutunya yang menganggap Rusia melakukan kejahatan perang dalam invasinya ke Ukraina.
"Saya tidak melihat bahwa Barat akan memaafkan itu hanya karena dilobi oleh Indonesia. Kecil sekali kemungkinannya [keberhasilan lobi] itu," tambahnya.
Di sisi lain, menurut Aleksius, Rusia melalui sosok Vladimir Putin dianggapnya tidak akan menyerah begitu saja di hadapan Barat.
Dalam kondisi seperti itu, Indonesia disebutnya menghadapi tantangan diplomatik yang "sangat sulit".
"Sulit menemukan kompromi tanpa memenuhi harapan dari dunia Barat bahwa seseorang [Putin] harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Ukraina."
Dihadapkan kenyataan seperti itu, dia mendorong pemerintah Indonesia untuk tetap bersikap netral.
"Indonesia itu harus mempertahankan itu [netralitas], karena kredibitas Indonesia ada di situ," kata Aleksius.
Dia juga meminta pertemuan G20 tidak perlu ditunda, walaupun nantinya diboikot negara-negara Barat.
"Saya berharap Indonesia mempertahankan dignity-nya, dengan sikap netralnya, dengan membawa suara bahwa 'saya bertindak sebagai presiden G20," ujarnya.
Aleksius mengakui, tanpa dihadiri negara-negara Barat, pertemuan G20 akan menjadi "cacat" dan "tidak sesuai harapan".
Namun demikian, dia menekankan, Indonesia harus tetap menggelar G20 dengan segala kenyataan seperti itu.
"Apa boleh buat, karena Indonesia harus menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, kalau upaya mendekati mereka tidak berhasil, ya, Indonesia harus bergerak dengan negara-negara yang ada."
Sejauh ini Moskow mengisyaratkan Presiden Putin akan hadir di Bali.
Sementara itu, diplomat China dikutip mengatakan, tidak ada kekuatan yang bisa membubarkan G20.
Jika tidak ada jalan tengah, sejumlah pihak mengatakan, KTT G20 besar kemungkinan untuk pertama kalinya tidak menghasilkan deklarasi bersama.