Bagaimana Dewan Keamanan PBB Bekerja dan Bisakah Mengakhiri Invasi Rusia?

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 07 April 2022 | 18:07 WIB
Bagaimana Dewan Keamanan PBB Bekerja dan Bisakah Mengakhiri Invasi Rusia?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tercipta dari kehancuran Perang Dunia Kedua untuk membawa negara-negara di seluruh dunia bersama-sama menyelesaikan masalah global.

Lalu Dewan Keamanan PBB, yang pertama kali bersidang pada 1946, merupakan elemen kunci untuk memastikan perdamaian dan keamanan di dunia.

Setelah invasi Rusia ke Ukraina, Presiden Volodymyr Zelensky berpidato jarak jauh dengan penuh semangat di depan Dewan Keamanan dengan berseru agar mereka "segera bertindak" demi menghentikan aksi militer Rusia. Tapi cara organisasi itu bekerja menyulitkannya untuk bertindak di tengah insiden-insiden internasional.

Ke-15 anggota dewan - terdiri dari lima negara anggota tetap dan sepuluh anggota tidak tetap- memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan sanksi atau mengizinkan penggunaan kekuatan untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional.

Baca Juga: Palestina Desak PBB Hentikan Aksi Israel di Yerusalem Timur

Namun seringkali keputusan-keputusan tegas tidak bisa diambil karena diveto oleh anggota-anggota tetap yang memiliki pandangan berbeda soal isu-isu global.

Jadi bagaimana cara kerja Dewan Keamanan PBB?

Baca juga:

Anggota tetap

Lima negara anggota tetap di Dewan Keamanan yakni AS, Inggris, China, Rusia, dan Prancis.

Mereka adalah kekuatan yang dominan setelah kekalahan Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia Kedua ketika dewan itu dibentuk.

Baca Juga: Bahas Pembunuhan di Bucha, Zelensky Desak PBB Bertindak atau Bubar

Komposisi itu tidak berubah sejak 1946, meskipun dewan tersebut menghadapi sejumlah perubahan geopolitik.

Posisi China pada awalnya dipegang oleh pemerintah nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-shek.

Setelah revolusi tahun 1949 pemerintahannya pindah ke Taiwan, tapi baru pada 1971 Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyerahkan kedudukan di DK PBB kepada Republik Rakyat China (RRC).

Adapun kursi Rusia awalnya diduduki Uni Soviet sampai negara itu bubar pada 1991.

Hak veto

Aspek terpenting yang dimiliki kelima anggota tetap ini adalah masing-masing dapat memveto setiap keputusan yang sedang dibahas oleh dewan.

Itu artinya jika salah satu dari mereka memberikan suara untuk menentang resolusi, resolusi itu tidak dapat disahkan. Namun, resolusi bisa disahkan jika anggota tetap memilih abstain (tidak memberikan suara) dalam proses pemungutan suara.

Pada tahun 2020, lebih dari 100 negara mendukung proposal Prancis-Meksiko untuk mengatur penggunaan hak veto.

Menurut proposal itu, lima anggota tetap Dewan Keamanan akan secara sukarela dan berkomitmen untuk menahan diri dalam menggunakan hak veto ketika "kekejaman massal" telah terjadi.

Sementara negara-negara lain, seperti Spanyol, telah menyerukan penghapusan hak veto secara bertahap.

Anggota tidak tetap

Sepuluh negara dipilih setiap dua tahun untuk menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Mereka dipilih oleh sesama negara anggota PBB di Majelis Umum.

Tujuannya untuk mencapai keseimbangan regional, dengan komposisi lima anggota dari Asia maupun Afrika, dua anggota dari Amerika Latin, satu Eropa Timur, dan dua anggota dari Eropa Barat atau dari kawasan lain .

Per April 2022, anggota tidak tetap DK PBB yakni India, Irlandia, Kenya, Meksiko, dan Norwegia. Mandat mereka akan berakhir pada 31 Desember tahun ini. Lalu ada Albania, Brasil, Gabon, Ghana, dan Uni Emirat Arab, dan keanggotaan mereka akan berakhir pada 2023.

Negara-negara bersaing ketat untuk masuk keanggotaan dewan itu, boleh jadi karena prestise yang melekat, atau kesempatan untuk mengangkat masalah yang menjadi kepentingan nasionalnya. Beberapa negara mengumumkan pencalonan mereka bertahun-tahun sebelumnya dan secara aktif mencari dukungan.

Setiap anggota Dewan Keamanan -tetap atau tidak tetap- memegang jabatan presiden dewan untuk periode satu bulan secara bergantian.

Perluasan keanggotaan

Tetapi negara-negara yang kekuatannya meningkat dalam 75 tahun terakhir telah mengritik komposisi Dewan Keamanan PBB, dengan mengatakan bahwa dewan itu tidak dapat lagi mewakili dunia yang multipolar.

Sebuah kelompok kerja reformasi yang dibentuk di bawah Majelis Umum PBB pada 1993 hanya membuat sedikit kemajuan pada persoalan ini, dengan kurangnya kesepakatan soal kandidat-kandidat potensial.

India, Jerman, Jepang dan Brasil -yang dikenal sebagai G4- dan Uni Afrika termasuk yang telah lama melobi untuk mendapat status anggota tetap yang selama ini didambakan.

Selama perdebatan di Majelis Umum PBB tahun lalu, para perwakilan G4 menyerukan untuk "memasukkan nyawa baru ke semua pembicaraan".

Mereka sepakat bahwa dewan "harus lebih mencerminkan realitas geopolitik kontemporer, dengan perwakilan yang lebih besar untuk Asia, Afrika dan Amerika Latin".

Apa yang disebut Posisi Afrika Bersama, menyerukan Dewan Keamanan agar "lebih representatif dan demokratis", dan diabadikan dalam dua deklarasi pada 2005: Konsensus Ezulwini dan Deklarasi Sirte.

Mendiang pemenang hadiah Novel dan mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, pernah memperingatkan kurangnya reformasi bisa melemahkan posisi dewan di dunia.

Mengambil tindakan

Dewan Keamanan sangat mementingkan pencegahan konflik bersenjata sejak awal. Tapi begitu perselisihan mengemuka, tujuan pertamanya adalah mencari solusi diplomatik.

Jika konflik terus berlanjut, Dewan Keamanan berupaya mencapai gencatan senjata dan mengerahkan pasukan penjaga perdamaian.

Dewan Keamanan bisa meminta PBB untuk menjatuhkan sanksi dan sebagai upaya akhir, dan dapat mengizinkan tindakan militer terhadap pihak agresor.

Semua negara anggota PBB harus mematuhi keputusan Dewan Keamanan.

Kritik

Dewan Keamanan pernah dikritik karena tidak mengambil tindakan hingga bencana terjadi - bahkan ketika bencana itu kemungkinan bisa diantisipasi, semisal genosida di Rwanda tahun 1994.

Lambannya proses pengambilan keputusan dan kekuatan hak veto membuat negara-negara dan sekutu-sekutunya terkadang memutuskan apa yang mereka klaim sebagai tindakan militer yang sah tanpa izin.

Operasi pengeboman NATO terhadap Yugoslavia pada 1999 dilakukan tanpa persetujuan dewan ini.

Negara-negara yang tergabung dalam NATO -terutama AS di bawah presiden Bill Clinton saat itu- mengklaim tindakan sepihak tersebut dibenarkan sebagai tindak lanjut genosida terhadap penduduk Albania di Kosovo oleh pasukan Yugoslavia.

Rusia menilai pengeboman tanpa izin Dewan Keamanan itu turut menyebabkan krisis.

Invasi AS dan Inggris ke Irak pada 2003 juga berlangsung tanpa persetujuan eksplisit Dewan Keamanan PBB.

Resolusi 1441, yang disahkan oleh dewan, menuntut agar Irak dilucuti persenjataannya dan harus bekerja sama dengan tim pengawas senjata. Tetapi beberapa anggota tetap, termasuk Prancis dan Rusia, tidak setuju dengan pernyataan AS dan Inggris bahwa resolusi itu mengizinkan operasi militer.

Dalam kasus lain, Dewan Keamanan mengambil tindakan yang lebih tegas.

Dari tahun 2006 hingga 2015, DK PBB memberlakukan serangkaian embargo senjata dan teknologi terhadap Iran terkait program nuklirnya.

Sejak 2006, dewan juga mengeluarkan puluhan resolusi terhadap Korea Utara, juga atas program senjata nuklirnya. Mereka menyasar penjualan senjata dan peralatan militer, membatasi kerjasama ilmiah dan menjatuhkan sanksi kepada individu yang terlibat dalam program nuklir Korea Utara.

Pada 2001, dewan mengesahkan zona larangan terbang di Libya yang secara tidak langsung menjatuhkan pemerintahan Gaddafi.

Namun sisa-sisa Perang Dingin terus berlanjut. Pada 2012, Rusia dan China memveto serangkaian resolusi Dewan Keamanan yang bertujuan untuk menekan rezim Suriah yang dikuasai Presiden Bashar al-Assad - sekutu utama Rusia di Timur Tengah.

Dan sekarang setiap resolusi yang diusulkan dan diajukan ke Dewan Keamanan terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina pasti akan diveto oleh Moskow.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI