Suara.com - Berdasarkan laporan baru kelompok hak asasi manusia, warga Tigray menjadi sasaran pembersihan etnis di zona Tigray Barat. Pemerkosaan dan pembunuhan merupakan "kejahatan perang," sebut laporan itu.
Penduduk Tigray di Etiopia menghadapi pembersihan etnis tanpa henti yang dilakukan oleh pasukan keamanan dari wilayah tetangga Amhara, demikian pernyataan Amnesty International dan Human Rights Watch.
Kedua kelompok hak asasi tersebut merinci bagaimana warga sipil Tigray di Zona Tigray Barat yang disengketakan di negara itu diduga dibunuh dan menjadi sasaran berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk pemerkosaan.
Rincian tersebut dikeluarkan dalam laporan bersama yang dirilis Rabu (06/04). Beberapa orang lainnya juga menghadapi penahanan massal, sebuah tindakan yang juga dengan pelanggaran lainnya dilaporkan oleh kelompok HAM itu, "sama dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.''
Baca Juga: Tigray Ikuti Etiopia Sepakati Gencatan Senjata Kemanusiaan
Laporan itu juga menuduh bahwa pejabat yang baru diangkat di Tigray Barat dan pasukan keamanan dari wilayah tetangga Amhara mendapat dukungan dan kemungkinan kerja sama dari pasukan federal Etiopia untuk melakukan dugaan kekejaman tersebut.
Laetitia Bader dari Human Rights Watch mengatakan kepada DW dalam sebuah wawancara telepon, "Laporan ini mengumpulkan pelanggaran selama 17 bulan terakhir di Zona Tigray Barat, yang berada di sepanjang daerah yang diperebutkan di perbatasan dengan Tigray dengan Sudan dan dengan Eritrea dan wilayah Amhara."
Lebih dari 400 orang, termasuk pengungsi Tigray di Sudan, diwawancarai oleh peneliti dari Amnesty International dan Human Rights Watch.
Penduduk Tigray dan Amhara yang menderita atau menyaksikan penganiayaan juga diwawancarai.
Para peneliti memiliki laporan medis dan forensik dilengkapi dengan dokumen pengadilan, citra satelit, dan bukti foto dan video yang menguatkan laporan pelanggaran berat. Bader menjelaskan bahwa para peneliti "melihat gelombang pertama kejahatan perang dilakukan, termasuk oleh pemerintah federal Etiopia."
Baca Juga: Direktur Jenderal WHO: Tidak Ada Tempat yang Paling Terancam di Bumi Selain Tigray Etiopia
Mereka kemudian "melihat berbagai macam pelanggaran, termasuk meluasnya kekerasan seksual, penahanan massal, kondisi penahanan yang mengancam jiwa, dan perampasan sarana kelangsungan hidup orang-orang," tambahnya.
Bagaimana 'pembersihan etnis' dilakukan?
Menurut kelompok HAM, di beberapa kota di seluruh Tigray Barat, ada sejumlah tanda peringatan yang dipajang untuk memerintahkan orang Tigray pergi, dan ada administrator yang ditunjuk secara lokal membahas dalam pertemuan terbuka bagaimana cara menyingkirkan orang Tigray.
Laporan tersebut mengutip keterangan seorang warga perempuan Tigray dari kota Baeker yang menggambarkan bagaimana anggota Fanos, milisi Amhara "terus mengatakan setiap malam, 'Kami akan membunuhmu ... Pergi dari daerah itu'."
Wanita Tigray lainnya mengatakan kepada peneliti bahwa saat dia diperkosa oleh pria, seorang anggota milisi mengatakan kepadanya: "Kalian orang Tigray harus menghilang dari tanah sebelah barat [Sungai Tekeze]. Kalian jahat dan kami sedang memurnikan darah kalian."
Laporan tersebut juga mengungkap ada pamflet yang memberikan ultimatum 24 jam atau 72 jam kepada warga Tigray untuk pergi atau dibunuh.
Seorang petani berusia 63 tahun dari desa Division mengatakan kepada kelompok hak asasi bahwa dia menyaksikan sekelompok pria menghancurkan rumahnya.
Salah satu pria mengatakan kepadanya: "Ini bukan tanah Anda. Anda tidak punya apa-apa untuk diklaim di sini." Penduduk Tigray yang tidak berhasil meninggalkan wilayah itu kemudian ditangkap untuk menghadapi penahanan jangka panjang dan pelecehan di fasilitas yang penuh sesak, kata laporan itu.
Amnesty International dan Human Rights Watch mengatakan mereka yakin ribuan warga Tigray masih ditahan dalam kondisi yang mengancam jiwa hingga hari ini.
Menurut laporan tersebut, milisi Amhara juga telah menangkap dan menahan penduduk lokal kota Adi Goshu.
Anggota Pasukan Khusus Amhara disebut telah mengumpulkan dan mengeksekusi sekitar 60 orang Tigray di tepi Sungai Tekeze.
Menurut keterangan saksi, beberapa orang yang selamat meyakini pembunuhan itu adalah serangan balas dendam setelah pasukan Amhara menderita kerugian besar selama pertempuran dengan pasukan Tigray malam sebelumnya.
"Ketika mereka menembaki kami, saya jatuh terlebih dahulu, dan kemudian saya melihat juga ketika yang lain di depan saya tertembak dan jatuh," kata seorang korban selamat berusia 74 tahun yang dikutip dalam laporan tersebut.
"Dan orang-orang di belakangku jatuh menimpaku ... Setelah itu, mereka berkata, 'Orang Tigray tidak mudah mati, tembak lagi'."
Siapa dalang di balik kampanye 'pembersihan etnis'?
Laporan tersebut secara khusus menyebutkan otoritas lokal di wilayah Amhara sebagai kekuatan utama yang mendorong dugaan kampanye pembersihan etnis di wilayah Tigray Barat.
"Laporan kami menemukan bahwa kampanye pembersihan etnis dipimpin oleh administrator pasukan pemerintah daerah Amhara dan pasukan pemerintah federal Etiopia," kata Bader.
Dia juga menjelaskan bahwa temuan mereka menemukan keterlibatan beberapa pasukan Eritrea dalam beberapa penangkapan massal warga sipil Tigray.
Amnesty International dan Human Rights Watch menyerukan pejabat tinggi yang memimpin kampanye pembersihan etnis untuk dibawa ke pengadilan dan dihukum karena melanggar hukum humaniter internasional.
Pejabat Etiopia membantah klaim itu Laporan itu juga mengatakan baik pasukan federal Etiopia dan otoritas Amhara telah membantah tuduhan pembersihan etnis di Tigray Barat. Human Rights Watch dan Amnesty International menyerukan kepada pemerintah federal Etiopia dan mitra internasional dan regionalnya untuk mengambil langkah nyata untuk melindungi semua komunitas di Tigray Barat.
"Pemerintah yang peduli perlu membantu mengakhiri kampanye pembersihan etnis, memastikan bahwa orang Tigray dapat kembali ke rumah dengan aman dan sukarela, dan melakukan upaya bersama untuk mendapatkan keadilan atas kejahatan keji ini," kata Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International, dalam sebuah pernyataan.
Pada 24 Maret lalu, pemerintah mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan. Kelompok hak asasi mengatakan terlepas dari keputusan itu, otoritas federal dan regional Etiopia harus mengizinkan bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, independen, dan berkelanjutan. (ha/pkp)