Krisis Ekonomi Ancam Kekuasaan Dinasti Rajapaksa di Sri Lanka

Kamis, 07 April 2022 | 14:17 WIB
Krisis Ekonomi Ancam Kekuasaan Dinasti Rajapaksa di Sri Lanka
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Krisis Ekonomi yang membelit Sri Lanka menjadi ujian terbesar bagi kekuasaan klan Rajapaksa. Amarah warga akibat krisis ekonomi menyusutkan opsi terakhir bagi dinasti politik paling berpengaruh itu untuk tetap berkuasa.

Sampai tahun lalu, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, masih sibuk menyesaki kabinet pemerintahannya dengan anggota keluarga sendiri.

Kakak tertuanya, Mahinda, yang pernah menjabat sebagai presiden selama 10 tahun, dipilih sebagai perdana menteri.

Saudara kandungnya yang lain, Chamal, adalah menteri irigasi. Sementara putranya, Sasheendra Rajapaksa, menjabat sebagai menteri muda urusan pertanian.

Baca Juga: Ditinggal Menteri Sendiri, Presiden Sri Lanka Ajak Oposisi Berkuasa

Adapun Putra Mahinda, Namal, diangkat sebagai menteri pemuda dan olahraga di usia 34 tahun.

Sang presiden sampai-sampai mengamandemen konstitusi untuk memungkinkan kakaknya, Basil Rajapaksa, yang berkewarganegaraan ganda untuk menjabat menteri keuangan.

Dia ditugaskan mengelola utang negara demi menyelamatkan Sri Lanka dari kebangkrutan.

Namun atas desakan publik, Basil dipecat oleh Gotabaya, pada Senin (4/4), dan digantikan dengan menteri kehakiman, Ali Sabry, yang mengundurkan diri keesokan harinya, setelah hanya satu hari menjabat.

Sri Lanka di titik nadir

Baca Juga: Krisis Ekonomi Memburuk, Sejumlah Menteri Sri Lanka Mundur

Amarah semakin mendidih di jalan-jalan kota Sri Lanka, seiring kian langkanya bahan bakar dan barang kebutuhan pokok, termasuk obat-obatan.

Ratusan demonstran Kamis (31/3) lalu, berusaha merangsek masuk ke kediaman Presiden Gotabaya, namun digagalkan aparat kepolisian.

Sejak malam itu, pemerintah di ibukota "de jure" Sri Jayewardenepura Kotte menerbitkan larangan berkumpul dan memblokir situs media sosial.

Tentara juga dikerahkan ke kota-kota besar untuk mengamankan ruang publik. Tapi langkah tersebut gagal meredam protes yang terus menjalar.

Pada Senin (4/4), giliran rumah Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa di Tangalle yang diserbu demonstran.

Kota di distrik Hambantota itu dikenal sebagai kantung terbesar pendukung klan Rajapaksa.

Beberapa jam sebelumnya, ratusan pendemo mengepung Istana Kepresidenan dan Perdana Menteri di kota pelabuhan Kolombo.

Posisi Presiden Gotabaya kian terdesak ketika semua anggota kabinet, sebanyak 26 menteri, mengundurkan diri, Senin (4/4) kemarin.

Dia mencoba menyelamatkan kekuasaan dengan menawarkan oposisi untuk mengisi posisi yang kosong.

Namun tawaran itu bertepuk sebelah tangan. "Dia pasti sudah tidak waras untuk bisa berpikir bahwa anggota parlemen oposisi mau menyelamatkan pemerintahannya dari kehancuran,” kata Anura Dissanayake, anggota fraksi kiri dari Partai Fron Pembebasan Rakyat (JVP).

"Kami tidak akan bergabung dengan pemerintahan ini,” timpal Eran Wickramaratne dari partai oposisi terbesar, Samagi Jana Balawegaya (SJB) "Keluarga Rajapaksa harus mengundurkan diri,” katanya.

Klan Rajapaksa di persimpangan

Krisis ekonomi di Sri Lanka belakangan ini, diklaim sangat dipengaruhi oleh kebijakan Mahinda Rajapaksa saat menjabat presiden antara 2005 dan 2015.

Dia dianggap pahlawan oleh mayoritas Sinhala setelah menghancurkan pemberontakan Tamil tahun 2009, lewat taktik brutal yang mengakhiri perang saudara selama satu dekade.

Popularitas Mahinda mencuatkan klan Rajapaksa dari keluarga priayi di era kolonial menjadi dinasti politik paling berkuasa di Sri Lanka.

Di bawah kekuasaan Mahinda, Sri Lanka mendekat kepada Cina dan mengawali tradisi berutang ´ untuk membangun proyek infrastruktur raksasa, yang mendulang ragam tuduhan korupsi.

Paket pinjaman Cina sering dituduh menjerat negara miskin dalam jebakan utang, untuk membiayai proyek yang tidak menguntungkan.

Ketika 2017 silam Sri Lanka tidak mampu membayar utang untuk pelabuhan baru di Hambantota karena merugi, kepemilikan pelabuhan dialihkan kepada Cina selama 99 tahun.

Sejauh ini, Sri Lanka telah mengumpulkan utang luar negeri sebanyak USD 51 miliar yang tidak lagi mampu dibayar.

Sebab itu pula amarah demonstran banyak diarahkan kepada klan Rajapaksa, termasuk di antaranya Uskup Malcolm Ranjith, tokoh Katolik yang berpengaruh.

"Negeri ini terlalu berharga dengan rakyatnya yang cerdas. Tapi kecerdasan kita, kecerdasan rakyat, sudah dihina oleh tindak korupsi,” katanya dalam sebuah misa di Kolombo.

"Sebab itu kami menyerukan, tolonglah dengarkan tangisan rakyat dan segera letakkan jabatan.” rzn/as (ap,rtr,afp)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI