Suara.com - Bahan baku penting dari Ukraina dan Rusia menjadi semakin langka akibat perang. Pakar industri mobil minta Uni Eropa cari pasar baru dan meningkatkan produksi nikel di dalam negeri.
Sektor otomotif Jerman sudah menghadapi kelangkaan bahan-bahan penting sebelum invasi Rusia ke Ukraina.
Pandemi COVID-19 menyebabkan hambatan pasokan semikonduktor secara global. Lalu sejak perang di Ukraina dimulai pada 24 Februari, harga minyak, gas dan batu bara melonjak tajam.
Sekarang muncul kesulitan baru: kelangkaan bahan-bahan mentah penting seperti gas neon dan nikel.
Baca Juga: Imbas Invasi Rusia, Raja Nikel Cina Harus Lunasi Posisi Short 8 Miliar Dolar
Volkswagen (VW), produsen mobil terbesar di Eropa, mengatakan kepada DW, ini masalah serius yang bisa berlangsung untuk waktu lama.
Pengamat ekonomi juga mengingatkan pentingnya masalah ini segera ditangani.
"Tidak boleh ada yang meremehkan ancaman kekurangan pasokan bahan baku penting bagi produsen mobil dan pemasok mereka," kata pakar industri otomotif Stefan Bratzel dari Center of Automotive Management (CAM) kepada DW.
"Ini pada akhirnya mengarah pada kenaikan harga, bahkan masa tunggu yang lebih lama bagi pelanggan untuk mobil baru, dan akan memperlambat peningkatan elektromobilitas."
Gas neon dari Ukraina, nikel dari Rusia Ukraina adalah salah satu pemasok gas neon yang dibutuhkan untuk produksi semikonduktor, kata Asosiasi Industri Otomotif Jerman VDA kepada DW.
Baca Juga: Bangun Industri Nikel di Halmahera, PP Presisi Klaim 34 Persen Pekerja Dari Warga Lokal
Padahal saat ini industri masih menghadapi kelangkaan semikonduktor yang dibutuhkan di hampir semua industri.
"Bahan mentah ini akan menjadi lebih penting di masa depan," kata seorang juru bicara VDA.
Paladium dan nikel dari Rusia hingga saat ini diimpor dari Rusia. Paladium diperlukan untuk sistem kontrol emisi di mobil dengan mesin bensin.
"Dengan pangsa pasar global 38%, Rusia adalah pemasok terpenting kedua setelah Afrika Selatan dengan 39%," kata Michael Schmidt dari German Raw Materials Agency (DERA) kepada DW.
Sulit membayangkan bagaimana kemungkinan masalah pasokan paladium dari Rusia dapat dijembatani oleh negara-negara produsen lain, tambahnya.
Harga nikel belakangan bahkan melonjak lebih ekstrem lagi. Nikel terutama dibutuhkan dalam produksi baterai untuk mobil listrik.
"Dalam skala global, Rusia adalah produsen bijih nikel terbesar ketiga," kata Michael Szurlies dari Institut untuk Geosains dan Sumber Daya Alam BGR kepada DW.
"Kegagalan pengiriman jangka pendek (dari Rusia) umumnya sulit untuk dikompensasi."
Cina diuntungkan dari krisis
Produsen mobil listrik dan baterai di Cina, di sisi lain, bisa mendapatkan keuntungan dari sanksi ekonomi Barat terhadap Rusia, dengan menawarkan untuk membeli bahan baku dari Rusia dengan harga lebih rendah.
"Cina memiliki posisi yang kuat dalam rantai pasokan logam baterai, dan (perkembangan ini) akan semakin memperkuat posisi kompetitif globalnya, jika dapat membeli nikel Rusia dengan harga murah karena sanksi tersebut," kata analis GlobalData Daniel Clarke.
Analis GlobalData lainnya, Lil Read, menambahkan bahwa satu-satunya pilihan yang tersisa bagi produsen Barat adalah memperluas hubungan bisnis dengan negara-negara penghasil nikel lain seperti Indonesia atau Filipina.
Namun, ini bisa menimbulkan masalah lebih lanjut. Karena jarak geografis yang lebih jauh antara kedua negara produsen, emisi selama transportasi akan meningkat, dan jika bahan mentah diekstraksi lebih intensif di negara asal, masalah lingkungan akan meningkat.
Dengan latar belakang ini, Lil Read percaya kuncinya ada pada pengembangan teknologi baru untuk baterai.
"Laju inovasi baterai sangat menakjubkan selama beberapa dekade terakhir, tetapi inovasi tidak terjadi dalam semalam. Kami berharap baterai lithium-ion phosphate (LFP), yang tidak mengandung nikel atau kobalt, akan mendapatkan popularitas dan penerimaan dalam jangka menengah, jika konflik berlanjut." (hp/pkp)