Pro Kontra Hukuman Mati Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati, Bisa Sembuhkan Luka Korban?

Farah Nabilla Suara.Com
Rabu, 06 April 2022 | 12:54 WIB
Pro Kontra Hukuman Mati Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati, Bisa Sembuhkan Luka Korban?
Terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak Herry Wirawan mendengarkan putusan majelis hakim saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022). ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Vonis hukuman mati bagi Herry Wirawan, pelaku pemerkosaan 13 santriwati menuai pro dan kontra. Vonis ini jauh lebih berat usai banding dari jaksa dikabulkan oleh hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Sebelumnya, Herry diputus dengan pidana penjara seumur hidup oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung.

Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat angkat bicara terkait kasus Herry Wirawan. Ia menilai keputusan hakim sudah dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

"Vonis mati (bagi) Herry Wirawan menjadi monitoring seluruh rakyat Indonesia. Sudah diputuskan vonisnya, dan menurut saya sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat," ujar Ridwan Kamil setelah memberikan ceramah Ramadan di Masjid Kampus UII, Selasa (5/4/2022).

Pernyataan ini tidak terlepas dari hasil survei bahwa masyarakat menginginkan vonis mati bagi Herry. Terlebih, Herry Wirawan melakukan aksi bejatnya tidak hanya ke satu korban, melainkan hingga 13 orang.

Baca Juga: Profil Herri Swantoro, Hakim yang Jatuhkan Hukuman Mati ke Herry Wirawan

Ridwan Kamil menyampaikan, pihaknya ikut memonitor kasus ini dan mengapresiasi keputusan hakim tinggi.

Hal senada turut disampaikan oleh pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho. Menurutnya, hukuman mati sudah memenuhi rasa keadilan.

Prof Hibnu mengungkap, ketentuan hukum untuk pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah dimuat dalam pasal 81 ayat (1) UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU, yaitu minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda paling banyak Rp 5 miliar.

Namun, ancaman hukuman dapat lebih berat apabila tindak pidana dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang memiliki hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, sesuai dengan ketentuan pasal 81 ayat (2). Dalam kasus tersebut, ancaman pidana dapat ditambah hingga sepertiga dari ancaman yang diatur dalam pasal 81 ayat (1).

Prof Hibnu menambahkan, vonis mati ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan. Ia pun berharap agar kasus kekerasan seksual seperti ini tidak terulang kembali.

Baca Juga: Komnas HAM Tak Setuju Herry Wirawan Pemerkosa 13 Santriwati Divonis Mati

"Saya sepakat itu (vonis hukuman mati) karena bisa memberikan efek jera atau mencegah adanya pelaku-pelaku lain maupun potensi-potensi seperti itu," ungkap Prof Hibnu.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak dan Indonesia (KPAI) Retno Listyarti turut menanggapi jalan akhir dari proses persidangan Herry Wirawan. Ia lebih menyorot tentang keadilan dari sisi korban.

"Saya lebih fokus ke korban, kalau pelaku dihukum mati, lalu korban dapat apa?" ujar Retno, Selasa (5/4/2022).

Retno menyampaikan hal terpenting dalam kasus ini yakni ganti rugi kepada para korban dan keluarganya atau restitusi. Hal ini karena korban, termasuk dengan bayi-bayi yang dilahirkan masih harus melanjutkan hidup ke depannya.

Ia pun menilai putusan Majelis Hakim yang memberikan hukuman ganti rugi senilai Rp 330 juta masih belum cukup untuk memenuhi kehidupan para korban beserta anak-anaknya.

Di sisi lain, Komnas HAM mengambil sikap kontra terhadap vonis mati bagi Herry Wirawan.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan, vonis mati telah dihapuskan dari sistem peradilan di berbagai negara lain. Pasalnya, vonis mati dianggap tidak terbukti memberikan efek jera dan melanggar HAM.

Ahmad mengungkapkan, tidak ada korelasi antara vonis hukuman mati dengan pengurangan jumlah kasus pidana yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa hukuman mati tidak serta merta menyebabkan efek jera dalam masyarakat.

Meskipun demikian, Komnas HAM tetap bersikap empati terhadap para korban karena mereka pihak utama yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar proses restitusi dan rehabilitasi lebih diperhatikan dalam kasus Herry Wirawan maupun kasus serupa lainnya.

Kontributor : Hayuning Ratri Hapsari

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI